Chereads / SEBATAS ASA / Chapter 33 - Melihat Arvin

Chapter 33 - Melihat Arvin

"Tidak sayang, aku tinggal di rumah Mama. Kenapa?" Tanya Arvin selidik.

"Tidak apa-apa, aku hanya bertanya saja. Aku piker kamu juga punya rumah di sini." Senyum Zemira menghiasi keindahan wajah gadis tersebut.

"Kalau pun aku punya rumah, itu adalah rumah masa depan kita sayang. Dan aku akan membuat sesuai keinginanmu."

"Benarkah?" Arvin mengangguk mantap. Dalam hati dirinya merutuki kebohongan yang baru saja dia ciptakan. "Maafkan aku sayang, aku terlalu takut jika nanti kamu mengetahui semuanya sebelum kita menikah. Kamu harus menjadi pengantin yang sebenarnya untukku, baru nanti aku akan jujur padamu. Tolong maafkan aku untuk sekarang mau pun nanti." Arvin bergumam dalam hati.

Kenikmatan sajian di depannya mampu mengalihkan pembicaraan yang membuat hati Arvin ketar ketir. Zemira ternyata mampu memakan makanan khas Indonesia. Adaptasi dari wanita itu sungguh luar biasa, dia bisa cepat menyesuaikan dengan lingkungan sekitar. Arvin tersenyum melihat bagaimana kekasihnya menyantap seafood di depannya dengan sangat lahap.

"Bagaimana sayang? Enak?" Tanya pria itu.

"Hem, ini sungguh enak sekali sayang. Rasanya aku ingin nambah lagi."

"Kalau begitu pesan saja semua yang kamu inginkan sayang!" pinta Arvin.

"Sepertinya, perutku yang tidak memungkinkan untuk pesan lebih banyak lagi, sayang! Mungkin besok aku akan datang lagi kemari dan memesan apa saja yang belum sempat ku makan sekarang." Arvin mencubit gemas pipi wanitanya.

"Kamu lucu deh, makan yang banyak biar gemuk!" Zemira menggeleng cepat.

"Tidak. Aku tidak ingin gemuk. Jika itu sampai terjadi, bisa-bisa kamu lari meninggalkanku!"

"Pikiranmu terlalu jauh, sayang.Aku tidak mungkin melakukan tindakan bodoh itu. Saat kita berjauhan saja, aku setia padamu. Apa lagi sekarang, aku bakal selalu ada di dekatmu!" senyum Zemira semakin lebar mendengarnya. Bagai angina segar yang langsung merasuki kalbunya.

Beberapa saat setelah menghabiskan semua hidangan yang diselingi dengan obrolan ringan, kini mereka kembali ke Apartemen. Zemira pun memasuki kamar yang sudah disediakan untuknya setelah Arvin mendaratkan kecupan singkat di bibir wanita itu sebagai ucapan selamat malam. Arvin merebahkan dirinya di sofa yang ada di ruang luar kamar. Tak berselang lama, dering ponsel Arvin menggema. Diliriknya gawai itu dan tertera nama Ansel.

"Ya!" jawabnya ketika panggilan sudah terhubung.

"Kamu benar-benar laki-laki brengsek Arvin!" teriak Ansel seketika.

"Apa maksud kamu?"

"Tidak usah pura-pura bodoh kamu Arvin. Jika kamu memang tidak menginginkan Alara, kamu bisa tinggalkan dia dan menikah dengan perempuan itu. Tidak perlu membuatnya sakit hati seperti ini." Arvin akhirnya mengerti maksud dari kemarahan sepupunya tersebut.

"Oh, jadi kamu melihat gadisku itu? Bagaimana? Lebih cantik dan lebih segalanya dari si gadis sampah itu 'kan?"

"Arviin!" Pekik Ansel tidak terima.

"Tidak perlu berteriak denganku, aku tidak tuli hanya untuk mendengar suaramu. Jadi kecilkan suaramu!"

"Aku sungguh tidak menyangka, kamu adalah lelaki pengecut yang tidak punya hati. Bukan Alara yang sampah, melainkan kamu yang sampah. Dasar tidak berguna," Maki Ansel lalu menutup panggilan sepihak.

Dibawah terangnya sinar bulan, malam ini terlihat juga mendung dibeberapa bagian langit. Alara masih setia mengamati keindahan langit malam seperti saat ini. Mata indahnya dimanjakan oleh kesempurnaan alam dengan jatah bulan yang memancarkan cahayanya. Sesekali dia menghela nafas mengingat kejadian dimana dirinya dan Ansel tak sengaja melihat Arvin bersama wanita cantik keluar dari salah satu Restauran ternama.

"Jadi kamu sudah pulang, Mas! Dan sama sekali tidak memberiku kabar tentang kedatanganmu kembali ke Indonesia. Apa sebenarnya keinginanmu, Mas! Dan wanita itu? Siapa dia? Ada hubungan apa antara kalian?" Alara masih memikirkan sikap dan perbuatan Arvin padanya akhir-akhir ini. Tidak, lebih tepatnya semenjak memutuskan untuk mengirim Erina pergi ke Yaman.

Kembali menelaah dari pertemuan pertamanya dengan pria yang langsung membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Memang diawal pertemuannya dengan pria tampang itu terlihat baik dan friendly kepadanya, namun ketika niat Erina diutarakan hal itu menjadikan pria yang sedari awal dikaguminya berubah dingin. Teringat kembali kala Arvin menemuinya di taman rumah sakit waktu itu. Dia berkata dengan singkat dan kaku, tidak seluwes saat mereka berkenalan.

"Apa yang membuatmu berubah, Mas! Jika dulu kamu memang tidak menyetujui pernikahan ini, tidak seharusnya kamu mengiyakan permintaan untuk merajut bahtera rumah tangga bersamaku. Apa mungkin dia adalah wanita yang kamu cintai? Jika iya, apa yang harus aku lakukan agar aku tetap bersamamu hingga nafas terakhirku. Selama ini aku selalu hidup sendiri, tidak ada orang yang tulus menyayangiku dan mencintaiku. Hanya kamu yang aku miliki, Mas! Aku tidak mungkin merepotkan Ibu Panti lagi jika kamu sampai membuangku. Tidak, aku harus bertahan apa pun itu. Aku tidak akan pernah menyerah."

Tok tok tok

Alara menoleh ke pintu yang ternyata sudah terbuka dan berdiri wanita paruh baya di tengahnya membawa secangkir teh hangat yang dicampur dengan jahe.

"Bibi!" seru Alara. Seiring dengan suara gadis itu, Bi Muna berjalan mendekat dan meletakkan cangkir itu di meja tak jauh dari tempat berdirinya Alara.

"Udara di luar sangat dingin Non, sebaiknya segera masuk. Dan ini teh jahe biar badan Non hangat." Alara tersenyum lalu duduk di kursi samping meja. "Terima kasih banyak, Bi." Alara mengambil gelas itu dan mulai menyesapnya.

"Maaf jika saya lancang, apa Non sedang ada masalah? Jika iya, Bibi mau kok Non jadi tempat curahan hati Non. Barangkali, dengan begitu Non bisa sedikit ringan beban pikirannya," tawar Bi Muna.

"Tidak ada kok, Bi! Aku baik-baik saja. Mungkin hanya sedikit rindu kepada Mas Arvin saja," terangnya kemudian.

"Maaf Non, Bibi tahu apa yang Non rasakan. Nona tidak bisa menutupui kegundahan hati Non dari saya, ceritalah Non! Bibi siap menjadi pendengar yang baik untuk Non." Mata Alara berkaca-kaca, kini Ia sudah tidak bisa menahan air mata yang sedari tadi disembunyikannya.

"Mas Arvin, Bi!"

"Kenapa dengan Tuan, Non?" Tanya Bi Muna.

"Dia sudah kembali Bi, tapi tidak memberitahuku. Aku kecewa, sangat kecewa. Bahkan dia bersama seroang perempuan cantik. Dan dengan mesranya mereka bergandengan tangan layaknya sepasang kekasih. Aku cemburu, Bi! Hiks hiks." Alara menangis menumpahkan apa yang sudah seharusnya tumpah.

Sebenarnya Ansel ingin sekali mendatangi sepasang sejoli yang tengah dimabuk asmara, tapi Alara menahannya. Walaupun perih, gadis itu ingin tahu sejauh mana Arvin bersikap seperti itu. Dia ingin Arvin mengatakan kejujuran dengan sendirinya tanpa ada paksaan dari orang lain. Mendengar keinginan dari Alara membuat Ansel hanya bisa memendam amarah. Tangannya mengepal kuat, ingin rasanya dia memuntahkan semuanya pada pria yang sudah mendapat julukan suami namun ebrtingkah bagai seorang yang masih bujang.

"Non harus sabar, ya! Mungkin Tuan punya alasan lain yang mengharuskan dirinya tidak bisa berkabar kepada Nona. Atau mungkin, Tuan sedang sibuk sehingga lupa mengabari Nona," ucap Bi Muna mencoba menenangkan.

"Lalu wanita itu?"

"Bisa jadi perempuan itu hanya sebatas teman atau merangkap sebagai relasi. Jadi Nona tenangin pikiran, jangan terlalu bersedih. Bibi takut Non sakit. Lebih baik sekarang kita masuk yuk, Non. Udara semakin dingin di luar!" Alara mengangguk dan mengekori Bi Muna masuk kedalam bilik kamarnya.

"Bibi kembali ke kamar ya, Non! Kalau Non punya beban, jangan ditanggung sendiri. Masih ada Bibi, Non tidak sendiri."

"Terima kasih banyak, Bi." Bi Muna mengangguk dan hendak pergi namun ditahan oleh Alara dengan menahan lengan Bi Muna.

"Bi, bolehkah aku tahu kehidupan Bibi? Pasti Bibi sudah memiliki anak dan hidup tidak sendirian sepertiku." Bi Muna tersenyum lalu duduk di kursi samping ranjang tepat di depan Alara duduk.

"Non pengen tahu?" Alara mengangguk antusias.

"Bibi meman sudah punya anak tiga, dan mereka sudah berkeluarga semua. Suami Bibi sudah meninggal sejak sepuluh tahun yang lalu. Dan anak-anak Bibi semua sudah menikah. Umur anak bontot Bibi sekisaran umur Non, dia pun ikut suaminya keluar pulau karena pekerjan menantu Bibi yang satu itu menjadi pekerja penggali emas di salah satu perusahaan dan kini menetap di Papua sana. Sedangkan yang lain ada yang tinggal di Jawa, dan satunya lagi hanya beda desa." Bi Muna menarik nafas dalam, sesak rasanya mengingat kembali kalau dia memiliki anak namun seperti orang yang hanya hidup sebatang kara.

"Anak-anak Bibi tidak ada yang pintar dengan Bibi, mereka seakan lupa jika masih ada orang tua sati yang hidup dan berharap dijenguk oleh anak-anaknya. Tapi sekali pun, mereka tidak pernah memberi kabar. Maka dari itu, Non! Bibi bekerja guna menghilangkan jenuh dan berusaha melupakan kesakitan ini. Rasa dimana kita dicampakkan oleh orang yang kita sayang, orang yang kita cintai." Air mata Bi Muna menggenang di pelupuk matanya.

"Nasib kita itu hampir sama, Non! Hanya dari segi ekonomi yang berbeda, namun pasalnya kita sama."

"Bibi bisa menganggapku sebagai anak , Bi!" seru Alara. "Iya Non, di sini ibu seperti menemukan teman seperjuangan." Alara mengangkat kedua sudut bibirnya.

"Baiklah, sekarang Bibi istirahat saja! Aku senang mala mini ditemani Bibi ngobrol. Oya Bi, bolehkah aku memanggil Bibi dengan sebutan Ibu?" tanya Alara hati-hati.

Dengan senang hati Bi Muna mempersilahkan keinginan Nona mudanya, dia pun sudah lama ingin merasakan kasih sayang seorang anak. Dia berharap suatu saat anak-anaknya, menyadari kesalahan masing-masing lalu berkumpul bersama.

"Kalau begitu Bibi pamit untuk istirahat Non. Nona juga langsung tidur, ya! Semoga mimpi Indah Non!"

Bi Muna bergerak menjauh dan perlahan menghilang dari balik pintu. Setelah mendengarkan semua cerita Bi Muna pun berpikir. "Wah ternyata Bi Muna benar-benar wanita wonder women. Di saat asyik dengan segala pemikiran yang ada, tiba-tiba sura gawai Alara berbunyi.

"Hallo, Mas!"