Chereads / SEBATAS ASA / Chapter 34 - Berbohong Lagi

Chapter 34 - Berbohong Lagi

"Hallo, Mas!"

"Alara!"

"Iya, Mas!"

"Maaf, aku belum bisa kembali ke Indonesia. Kamu tidak apa-apa kan?" Alara tersenyum getir. "Kamu bohong lagi, Mas," ucapnya dalam hati

"Iya, Mas. Tidak apa-apa."

"Baiklah. Aku tutup dulu, ya!" Tanpa mau menjawab, Alara segera mematikan panggilannya. .

Hampir saja Alara mengungkapkan jika dirinya telah melihat sang suami bersama wanita di sebuah restoran, namun suaranya tertahan di dalam kerongkongan saja. Nyalinya menciut, takut kalau-kalau Arvin akan marah. Memang sih, dia belum pernah melihat kemarahan Arvin. Dan belum tentu juga pria itu akan marah seandainya dia menyatakan apa yang barusan dia lihat. Namun Alara memang tidak memiliki cukup keberanian untuk hal itu.

Pikirannya menerawang dari beberapa minggu sikap Arvin padanya. Bagai kaset yang diputar, segalanya kembali hadir dalam isi kepalanya. "Ya, Tuhan! Bolehkah aku berharap mendapatkan ke indahan sejati dimasa depan? Kapan aku bisa bahagia layaknya mereka." Alara meraup wajahnya, mengambil gelas yang tadi sudah disediakan oleh Bi Muna.

Setelah merebahkan diri, dia mencoba untuk memejamkan mata. Harapan agar saat membuka mata hanya ada keindahan dan senyuman tanpa kesedihan lagi. Ingin sekali menghilangkan segala ingatan yang menyakitkan meskipun sejenak. "Kamu pasti bisa melewati ini semua Alara, Bissmillah Allah akan selalu membersamai hambanya yang taat." Mantra yang selalu dia ucapkan dan sukses membuat dirinya benar-benar bisa melewati segalanya dengan baik meskipun banyak sekali kesakitan yang dirasa.

Malam-malam seperti hari-hari sebelumnya, Alara melewati dengan perih. Pasalnya Alara sudah tiga kali memergoki suaminya bersama dengan wanita yang sama saat pertama kali dia melihat di malam kala itu. Siang ini pun Alara kembali mendapati Arvin menggandeng wanita asing itu dan memberi sebuah kursi di foodcourt sebuah mall, kedua pasangan itu pun tidak menyadari bila ada seseorang yang tengah menatapnya sendu.

Bercanda, saling mencubit mesra dan belaian lembut terlihat jelas. Mata Alara semakin memanas dimana Arvin mendaratkan ciumannya di pipi gadis itu. Bibir yang sama yang sudah mengambil ciuman pertamanya. Cairan bening tidak lagi mau menahan diri, butiran itu meronta keluar dan Alara tidak bisa lagi menahan lajunya. Semakin deras Alara mengeluarkan air matanya, pasalnya dengan mata kepala sendiri, dia melihat sang suami memanjakan wanita lain.

Sejenak Alara bisa menikmati pemandangan yang menyakitkan baginya, hingga akhirnya mata keduanya saling bertem. Arvin tanpa sengaja melihat istrinya yang duduk sendirian bersimbah air mata. Netra indah itu tertutup kabut, entah bagaimana perasaan Arvin sebenarnya. Namun saat melihat indera penglihatan Alara sendu dengan tangisan yang pilu, Arvin merasa sedikit bersalah. Niat hati ingin menghampiri wanita di seberang meja sana, tapi tidak mungkin dilakukan. Dia tidak ingin Zemira mengetahui semuanya sebelum dia berbicara empat mata kepada Alara.

Tak tahan pada situasi saat ini, Alara beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan sepasang kekasih di depannya. Bola mata Arvin tak lepas dari Alara, hingga tubuh gadis tersebut menghilang dari kerumunan beberapa pengunjung mall. Dadanya sedikit sesak, rasa bersalah muncul. Namun lagi-lagi, ego untuk balas dendam tak beralasannya mampu menghilangkan rasa bersalahnya. "Kamu tidak boleh goyah dan jangan ada kata bersalah untuk wanita itu Arvin. Ini semua keinginanmu, jadi jangan goyah. Pikirkan saja Zemira, wanita idaman dan menjadi cinta satu-satunya dihatimu. Mantapkan untuk balas dendam, sekarang pikirkan saja bagaimana caranya agar Alara menyetujui kamu menikahi Zemira secara resmi tidak hanya dalam agama namun juga dalam negara. Meskipun statusnya sebagai istri kedua. Tentu tanpa sepengetahuan Mamamu," Monolognya dalam hati.

Berkali-kali melihat kejadian serupa ternyata tak membuat Alara menjadi terbiasa, selalu rasa sakit yang mendera di hati Alara. Wanita itu segera memberhentikan taksinya menuju butik untuk bekerja seperti biasa. Sesampainya di butik, Alara segera menuju rooftop dan menikmati kesendiriannya dengan menangis. Meluapkan sedikit kekecewaannya terhadap Arvin dengan menangis. Alara memang tidak berhenti bekerja meskipun semua orang tau jika ALara sudah menjadi menantu pemilik butik ini.

Posisinya pun sudah berubah. Yang tadinya menjadi karyawan biasa, kini menjadi Manager Keuangan. Jabatan itu pun hanya sementara, setelah Alara mau menanda tangani surat-surat pengalihan atas namanya barulah dia akan menjadi pemilik sah Butik Erina. Wanita yang menjadi mertua Alara pun berharap jika gadis itu mau segera menanda tangani surat pengalihan kepemilikan.

Alara harus kuat, dia harus bertahan. Demi apapun dia tidak ingin kembali hidup sendiri, dia ingin seperti makhluk lainnya yang menginginkan hidup selayaknya manusia hidup penuh warna dengan adanya suami dan berharap akan adanya seorang anak dalam rumah tangganya. Bolehkah Ia berharap demikian? Salahkah dirinya jika menaruh suatu keinginan lebih dalam hubungannya bersama Arvin.

Dia pria pertama yang membuat Alara berani merasakan jatuh cinta, memberikan ciuman pertama dan segala ungkapan sayang. Semua itu dia curahkan begitu saja walau sebenarnya ada rasa malu ketika mengungkapkan perasaannya. Setiap perlakuan Arvin kepada Alara mampu membuat gadis itu yakin jika dia sudah menemukan pria tepat untuk membantunya menghilangkan rasa sepi yang selama ini menderanya. Tapi sekarang, pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam benak ALara. Apakah Arvin adalah pria tepat untuknya?

Sungguh hatinya bagai disayat sembilu, nyeri, perih bagai ditusuk-tusuk. "Aku harus bagaimana sekarang? Apakah aku benar-benar akan kehilangan cintaku? Tidak, aku harus mempertahankan rumah tanggaku yang baru seumur jagung. Aku tidak ingin menambah title pada diriku. Jangan sampai semua orang menganggap aku perempuan tidak benar karena tidak bisa mempertahankan rumah tanggaku." Kepalanya menengadah ke atas menatap langit biru dengan awan cerah.

"Tuhan, bantu aku untuk bisa kuat menghadapi segala kemungkinan terburuk dimasa depan. Dan bantu aku agar bisa menyelesaikannya dengan mudah. Restui aku untuk mempertahankan orang yang kucinta di dunia ini selain Engkau." Kedua tangannya meraup wajah mengaminkan setiap lantunan doa yang baru saja dia panjatkan.

"Baiklah. Mulai hari ini, aku harus memupuk banyak kesabaran tingkat dewa dalam hatiku. Ya, aku yakin aku bisa. Semangat Alara." Tangan kanan Alara mengepal kuat sejajar dengan dadanya. Alara kembali ke bawah guna bekerja. Ketika dirinya membuka pintu ruang kerjanya, ternyata disana sudah ada lelaki yang suka usil dan memberikan candaan garing selama beberapa pekan. Walaupun terbilang garing, namun cukup membuat Alara terhibur dan sejenak bisa melupakan siapa itu Arvin.

"Kakak sudah lama di sini?" Tanya Alara setelah menutup pintu ruangan.

"Dari mana saja kamu? Aku sudah lima belas menit duduk di sini dan kamu baru kembali."

"Kenapa? Begitu banget pertanyaannya." Menghempaskan diri di kursi kebesarannya, lalu membuka laptopnya meneliti detail laporan keungan kemarin.

"Kamu denger aku ngomong gak?" sentil Ansel di kening Alara.

"Astaga, Kak Ansel! Kenapa selalu keningku yang jadi korban? Aku tidak mau tahu, sekarang. Sini gentian aku jitak kening Kakak!" Seru Alara bangkit dari tempat Ia mendaratkan tubuhnya.

"Eits, gak bisa. Dosa tahu anak kecil melawan orang tua." Tangan Alara terhenti karena Ansel menahannya.

"Dasar curang, mau enaknya saja. Gantian dibalas, kata-kata keramatnya keluar." Ansel terkikik mendengar gerutuan Alara yang nampak kesal sekali.

"Sudah, jangan ngomel melulu. Sini, bagian mana yang belum kamu pahami?" Tanya ansel seraya menarik kursi mendekat kearah Alara dan menatap laptop yang tengah dipegang oleh gadis disampingnya. Selama Alara menjabat sebagai Manager Keuangan memang Ansel lah yang membantunya untuk memperlajari semua agar Alara itu mengerti.

Lulusan SMK dengan jurusan Akuntansi membuat Alara cukup pandai dalam memahami setiap hal yang diajarkan Ansel padanya. Alara tergolong gadis pintar, meskipun semasa sekolah dulu dia tidak pernah masuk dalam kategori tiga besar, tapi Alara masih masuk dalam sepuluh besar seluruh Angkatan di tahun kelulusannya. Ansel pun tidak perlu mengulang-ulang setiap menerangkan materinya. Satu kelebihan lain yang Arvin tidak ketahui dari istrinya, yaitu keuletan dalam bekerja dan kepandaian Alara.

Arvin selalu meremehkan gadis itu, semua isi kepalanya hanya dipenuhi dengan pikiran-pikiran buruk saja. Padahal sejatinya semua praduka Arvin tidak beralasan dan fikitf belaka. Dirinya hanya dipenuhi kebencian hingga menimbulkan rasa sakit yang menganga dan lama-lama melebar.

"Bagaimana? Sudah paham, atau masih ada yang perlu ditanyakan? Mumpung aku masih di sini." Alara menggeleng.

"Tidak, Kak. Terima kasih aku sudah memahami semua neraca keuangan ini." Layaknya sang kakak kandung, Ansel mengusap kepala Alara lembut.

"Baiklah, apa kamu sudah makan?" Alara mengernyitkan keningnya.

"Kakak belum makan? Ini sudah lewat jam makan siang, loh?"

"Tadi aku buru-buru datang kemari, hingga melewatkan jam makan siang. Ku pikir kamu menungguku dan kita akan makan bersama, tapi aku salah. Kamu malah sudah makan duluan dan tega membiarkan aku kelaparan di sini," ucap Ansel beralasan dengan memasang mimik wajah memelas.

"Aku rasa Kakak berani makan sendiri tanpa aku temani!" goda Alara.

"Huh, dasar tidak tahu terima kasih. Nyesel aku cepat-cepat datang kemari sampai mengorbankan perutku yang berteriak minta segera di isi karbohidrat. Tapi ternyata orang yang dibela-belain malah tega membuat cacingku semakin marah." Dengan memperlihatkan raut mukaa seolah-olah sedang menderita, Ansel mengusap pelan perutnya.

"Sabar, ya! Aku pasti akan mengisimu dengan makanan paling lezat yang pernah ada." Alara tersenyum geli melihat tingkah orang itu, kenapa bisa ada lelaki semenggemaskan seperti dia.

"Uh kasihan cacing-cacing di dalam perutmu itu Kak. Mereka pasti saling mengigit satu sama lain untuk menahan lapar." Alara berpura-pura simpati dengan menggeleng prihatin.

"Tanggung jawab kamu, ini kan ulah kamu!" Alara mendelik.

"Astaga, dia yang melewatkan makannya kenapa jadi aku yang disalahkan?"

"Sudah jangan banyak mikir. Ayo cepat, temani aku makan!" serunya seraya menarik tangan Alara yang belum siap hingga gadis itu sedikit terseok jalannya.

"Kakak!" Teriak Alara.

Menyadari jika dirinya sudah sedikit kasar pada wanita itu, Ansel pun melepaskan genggamannya. "Sorry," ujarnya nyengir.