Chereads / SEBATAS ASA / Chapter 31 - Kebahagiaan Arvin, Kesedihan Alara

Chapter 31 - Kebahagiaan Arvin, Kesedihan Alara

Zemira melemparkan tubuhnya masuk dalam pelukan sang kekasih. "Aku mau sayang, sangat mau!" serunya semakin mempererat pelukannya.

"Terima kasih sayang. Aku sangat mencintaimu, aku ingin segera memilikimu secara utuh. Aku takut nanti kamu direbut orang lain dariku. Aku…." Belum tuntas Arvin menyelesaikan kalimatnya, Zemira sudah lebih dahulu memotong ucapan lawan bicaranya itu.

"Hei hei, look at me! Apa kamu tidak percaya akan besarnya cintaku? Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu? Seberapa lama aku menunggu, pasti akan aku lakukan. Aku sangat mencintaimu sayang, aku pun tidak ingin kehilangan dirimu!" Zemira menatap lekat mata Elang di depannya. Di sana Zemira bisa melihat betapa besar rasa cinta berbalut kerinduan yang mendalam.

"Ya, aku percaya sayang. Kamu memang wanita istimewa."

"Kamu juga." Keduanya tertawa bahagia. Arvin bahkan lupa jika dirinya tidak lagi sendiri. Dia bertingkah seolah masih bujang tanpa ikatan dengan siapa pun.

"Sini jari manismu! Aku pasangkan cincinnya." Tanpa menunggu perintah dua kali, segera Zemira menyodorkan tangan kirinya untuk mempermudah Arvin melingkarkan benda bulat kecil yang sudah di siapkan.

"Cantik!" spontan Arvin melihat betapa pas cincin berlian itu di jari manis gadisnya. "Tidak kalah cantik dengan si pemilik jari," lanjutnya.

"Ish, kamu sekarang benar-benar pandai menggombal ya!"

"Yang penting hanya kamu satu-satunya yang aku gombalin tidak ada yang lain!" Zemira yang tersenyum malu semakin merona pipinya. Suasana yang romanti begitu mendukung keadaan keduanya.

Lama Arvin memandang Zemira penuh cinta dan damba. Apa lagi melihat bibir ranum milik Zemira yang sudah lama tidak dia nikmati, membuatnya rindu akan rasa memabukkan dari benda tersebut Arvin mendekatkan kepalanya. Perlahan namun pasti, hidungnya kini sudah menempal pada hidung lawan bicaranya. Zemira yang tadi tertawa pun mengikis senyuman itu dan mulai memejamkan mata saat menyadari jika pria di depannya sudah berbagi nafas bersama karena jaraknya yang sudah menempel hidung ketemu hidung.

Dengan kelembutan pari purna, Arvin mendaratkan bibirnya ke bibir Zemira. Arvin sangat lihai dalam memainkan lidah dan membuat lawannya hanyut dalam setiap permainan bibirnya. "Ehm." Sungguh luar biasa yang dirasakan oleh Zemira, hingga tanpa sadar dia melenguh. Mendengar suara merdu dari kekasihnya, Arvin tersadar dari kegiatan gilanya. Baginya gila karena mencium di depan khalayak umum. Walau pun di Negara tersebut, hal seperti itu sudah wajar. Namun tidak bagi Arvin, meskipun sudah lama hidup di tempat yang bebas akan hubungan terlarang, dia tetap menerapkan segala pesan serta nasehat dari Erina untuk bisa menjaga diri dan menghormati lawan jenis. Dia tidak akan terpengaruh oleh orang sekelilingnya yang bahkan bisa melakukan tindakan lebih jauh dari sekedar mencium.

"Aku bahagia sekali, terima kasih untuk segalanya sayang!" ucap Arvin setelah melepas pagutannya.

"Aku juga bahagia sayang." Sepasang muda mudi itu pun melanjutkan acara makan malam yang memang belum selesai.

Di pagi hari saat Alara bangun dari tidur, tubuhnya sedikit segar karena setelah sekian lama akhirnya Arvin mau melakukan tatap muka walaupun lewat benda pipih. Baginya tu sudah lebih dari cukup, setidaknya dia masih bisa melihat wajahnya dan mendengar suaranya. Dengan begitu saja sudah mengobati rasa rindu yang selama ini terpendam.

Seperti orang pada umumnya, Alara juga melakukan ritual pagi dengan mandi dan berpakaian rapi meskipun menggunakan gamis rumahan. Merasa sudah segar dan wangi, Alara baru keluar kamar. Kali ini dia tidak langsung menuju dapur seperti hari biasanya. Membantu Bi Muna memasak sarapan, dia ingin menikmati kesendiriannya di taman rumah depan. Dari balkon terlihat capung serta kupu-kupu berterbangan. Binatang itu seolah meledek Alara. Mereka saja bisa hidup bersama dan saling melengkapi, tapi kenapa Alara malah sendiri di rumah sebesar ini dan menanti seseorang yang tidak perduli padanya.

Sebuah kupu dengan warna campuran pada bagian sayapnya menarik Alara untuk mendekati hewan kecil nan indah itu. Mawar merah bersemu putih menjadi pilihan sang kupu untuk berpijak dan menyesap sarinya. Guna mengamati lebih dekat, Alara berjongkok dan fokus menatap bagaimana sang kupu-kupu menikmati hidup dan takdirnya. "Enak sekali pasti, ya!" ujar Alara pada hewan jenis serangga tersebut.

"Sepertinya, kamu menikmati hidupmu tanpa beban, ya! Andai saja aku diciptakan menjadi serangga cantik sepertimu? Mungkin saja aku tidak akan pernah mengalami rasanya tersiksa karena rindu." Alara menghela nafas, lalu tangannya mencoba menggiring kupu-kupu itu hinggap ditangannya. Jari telunjuk pun di dekatkan agar mempermudah sang kupu berpindah. Tentunya dengan gerakan perlahan agar tidak membuat hewan itu kaget dan terbang begitu saja. Kupu Sayang Burung Peri yang kini tengah memanjakan dirinya di kulit Alara yang lembut nan halus. Serangga itu berasal dari Papua, pulau yang terdapat di Indonesia bagian timur. Kombinasi warna yang terang juga gelap sungguh menyegarkan mata Alara.

"Kamu menggambarkan isi hatiku, wahai kupu-kupu." Satu tangan lainnya meraba sayapnya. Halus, itulah yang dirasakan Alara. "Jika hatiku memiliki warna, mungkin seperti warna sayapmu ini. Ada warna terang dan juga hitam. Warna hijau dan kuningmu ini kuanggap sebagai kebahagiaan. Dan warna hitam, ku anggap sebagai kesedihan. Bagaimana? Sudah pas kan dengan hatiku saat ini?" monolognya pada sang binatang seakan-akan paham dengan semua yang dia katakana.

"Apa yang kamu lakukan?" Alara menoleh, lalu memutar bola mata malas.

"Kenapa pagi sekali kesininya, sih!" gerutu Alara, tapi tidak menyangka Ansel malah mendengarnya.

"Kenapa? Kamu tidak suka saya datang kesini? Ingat. Selama Arvin belum kembali, kamu tetap dibawah pantauanku." Kesal Ansel, seolah dia dianggap pengganggu oleh wanita yang tengah berjongkok itu.

"Ah, kak Ansel! Suara baratonmu membuat temanku terbang, kan!" marah Alara setelah kupu-kupu di tangannya pergi begitu saja karena terkejut dengan teriakan Ansel.

"Teman? Memangnya siapa temanmu? Di sini tidak ada siapa-siapa!" Ansel celingukan mencari seseorang yang dimaksud, namun tidak menemukan apa pun kecuali bunga dan beberapa hewan yang masih asyik berterbangan. Menyadari itu, Ansel pun tertawa.

"Jadi kamu sudah mulai gila gara-gara Arvin, ya!" Ansel pun melanjutkan ketawa ledeknya. Alara menatap sebal dengan muka Ansel.

"Kakak mau apa lagi? Kenapa Kakak suka sekali mengganggu ketenanganku, hem? Hobi ya?" ucap Alara setelah menjatuhkan bobotnya pada kursi rotan yang memang disediakan di taman tersebut. Ansel turut duduk di sebelah Alara.

"Biasa, absen." Alara menghela nafas kasar.

"Memangnya aku guru, dan rumah ini tempat sekolah sampai mengharuskan Kakak datang setiap hari hanya untuk absen? Pagi-pagi pula! Memangnya kak Ansel tidak memiliki kegiatan lain apa? Ke kantor gitu?" Ansel menanggapinya hany dengan gelengan.

"Tidak." Singkat, jelas dan padat, al hasil membuat Alara kehilangan kata-kata lagi.

Suasana hening, hanya terdengar suara riuh burung berkicauan. "Alara!" gadis itu menoleh. "Apa kamu tidak bosen duduk diam di rumah terus?" wanita itu menggeleng.

"Aku bosan, jalan yuk."

"Malas, ah! Pengen di rumah aja."

"Ish, gak asyik."

"Bodo."

"Nyebelin."

"Baguslah."

"Apanya?"

"Aku nyebelin! Bukannya itu bagus?" ujar Alara.

"Kok bisa?" Tanya Ansel bingung.

"Berharap kamu tidak menggangguku lagi. Ah baiknya setiap hari aku buat Kakak sebel terus saja sama aku, ya! Biar Kakak sebel dan jarang menggangguku lagi."

Pletak

"Auw." Bebarengan suara yang memekik kesakitan Ansel reflek memegang kening Alara yang baru saja kena sentilan dari jari Ansel.

"Uh, maaf-maaf!" ucapnya menyesal.

"Sakit, ya?" Tanya pria itu.

"Sakitlah! Kenapa masih bertanya segala!" seru Alara kesal.

"Hehehe, habisnya ngeselin." Alara bergeming. Ansel melihat istri sepupunya ini masih mengelus-elus keningnya yang sedikit merah menandakan jika jitakkan yang dia layangkan memang cukup keras.

"Ikut Kakak, yuk!" ajaknya kemudian.

"Gak mau Kak… aku sedang malas keluar!" tolak Alara.

"Yakin gak mau?"

"Memangnya Kakak mau ngajak aku kemana?" Tanya Alara.

"Kemana saja yang pasti akan membuatmu bahagia." Jawaban ambigu bukanlah keinginan Alara.

"Jawab yang jelas, aku bukan dukun atau peramal yang bisa menebak isi kepala Kakak!" ujarnya ketus.

"Kalau mau, ikut saja! Nanti juga akan tahu sendiri." Alara bergeming. Dia benar-benar tidak bersemangat keluar rumah hari ini. Dia ingin menikmati hidup dengan ketenangan, menonton drama korea kesukaannya, membuat kue, juga berkebun. Mungkin kesibukan itu tidak akan membuat dirinya bosan di rumah.

"Alara!" Ansel menggoyangkan tubuhwanita yang diam tanpa kata, bahkan nafas pun tiddak terdengar oleh Ansel. Eh bukannya memang tidak terdengar, ya!

"Alara!" seru Ansel lebih keras. Bukannya menanggapi, Alara malah menutup daun telinganya rapat.

"Astaga ya Allah, beri aku kesabaran yang sanggaaaat lapang." Alara terkikik geli dengan keluhan lelaki itu.

"Apa sih Kak…, berisik tahu gak!"

" Ya sudahlah, kalau begitu aku pulang saja. Bibi…," panggil Ansel sebelum sambal berdiri.

"Ya, Tuan," sahut Bi Munah sembari berlari kecil.

"Maaf ya, Bi! Pagi ini aku absen Alfa dulu untuk sarapan makanan Bibi." Perempuan paruh baya itu mengembangkan senyumnya.dia piker ada hal penting atau keadaan darurat yang membuat pria berhidung mancung itu berteriak memanggilnya. Ternyata hanya ingin menyampaikan hal yang tidak penting sama sekali. Lucu memang, pria itu selalu bisa menguasai situasi dengan sangat baik.

Dia selalu bisa membaca keadaan sekitar, dan bersikap sesuai keadaan yang dibutuhkan. Sehingga orang-orang tidak akan pernah bosan berada di dekatnya kecuali Alara. Pria itu tulus dan memiliki sisi kebaikan yang patut diacungi jempol. Pria itu nyaris sempurna dalam bidang ilmu dan kepribadian. Tubuhnya pun tak kalah sempurnanya. Banyak orang mengira bahwa Ansel dengan Arvin layaknya saudara kandung, karena keduanya memiliki kesempurnaan yang sama.

"Kenapa Tuan absen?" Sang Bibi juga menanggapi candaan Ansel.

"Ya, gimana Bi? Sang tuan rumah saja sepertinya gak rela kalau aku mau ikut sarapan di sini." Lewat mata ekornya, Ia melihat Alara menatap tak suka ke arahnya.

"Yes, dia beneran marah. Aku yakin sebentar lagi dia akan mengajakku buat makan bersama," monolognya dalam hati penuh percaya diri.

"Ya sudah, ayo kita makan!"

"Hahaha berhasil kan!" tawanya dalam lubuk hatinya lagi.