Arvin sudah tiba di Bandara Soekarno Hatta bersama Zemira. Setelah malam dimana melamar kekasihnya, Arvin melamar kembali secara resmi kepada orang tua Zemira. Dan itu disambut dengan gembira. Mereka langsung menyetujui karena mengetahui karakter Arvin yang baik dan berbudi pekerti. Lagi pula, menjalin hubungan tanpa ikatan terlalu lama sangatlah tidak baik untuk keduanya. Jadi saat niat Arvin mempersunting Zemira, begitu disambut dengan kebahagiaan. Akhirnya sang putri akan menikah dengan seseorang yang selalu menjadi dambanya.
Ijin untuk memboyong Zemira ke Indonesia pun dengan mudah Arvin dapat dari kedua orang tua Zemira. Bayangan menikah dengan Resepsi yang luar biasa megah tentu menjadi impian setiap orang, karena hal sakral itu hanya akan terjadi sekali seumur hidup. Begitulah prinsip Zemira, dia tidak masalah jika nanti akan diadakan acara Resepsinya di Indonesia, makanya dia nurut saja ketika diajak pindah ke Indonesia dan menikah di sana.
"Kita langsung ke apartemenku, ya!" dengan senyum indahnya, Zemira mengangguk saja. Tangannya bergelayut manja di lengan sang kekasih.
Perjalanan cukup padat karena jam makan siang, Arvin sama sekali lupa akan istrinya yang sudah menanti kedatangannya sejak dua hari yang lalu. Kejadian dimana kata Erina bahwa Arvin telah kembali ke Indonesia terulang lagi. Sejak malam terakhir Arvin mau melakukan panggilan, sejak itu pula setelahnya sang suami tidak pernah lagi memberi kabar. Alara mengingat perkataan Arvin yang jika seminggu lagi dirinya akan kembali ke Indonesia, dan itu dijadikan patokan oleh Alara. Dia kembali mengambangi Bandara guna menanti seseorang yang sudah sepenuhnya merajai hati.
Sungguh tak dinyana, Alara kembali menelan pil kekecewaan akibat ucapan Arvin yang meleset kembali. Berjam-jam tubuh nya merasakan hawa dingin menusuk tulang demi menyambut kepulangan pria yang dia puja, namun semua tak sesuai ekspektasi. Lagi dan lagi, Arvin mengingkari ucapannya. Sedih? Pasti. Sedemikian sakit hingga Alara sudah tidak bisa mengeluarkan airmata. Satu hal membuat Alara sadar, Arvin bukan pria yang bisa dipegang ucapannya. Meskipun sebenarnya pria itu selalu menepati segala hal yang pernah keluar dari bibirnya kepada siapa saja, sedangkan Alara adalah pengecualian.
Arvin dan Zemira sudah sampai di tempat tujuan, Arvin menunjukkan kamar yang akan ditempati oleh Zemira. "Sayang, ini kamar kamu! Istirahatlah dulu, kamu pasti lelah karena perjalanan jauh!" suruhnya.
"Terima kasih, sayang."
"Oya, kamu ingin makan apa sayang! Biar aku minta bi Rani untuk membuatkannya untukmu." Zemira tampak berpikir. Setelah menimbang-nimbang makanan apa yang ingin dia makan, akhirnya dia memilih untuk mengajak Arvin makan di Restauran seafood. Sekaligus ingin menikmati udara Indonesia yang berbeda dengan Australia.
"Tidak perlu, sayang!" Zemira berjalan mendekat dan memeluk kekasihnya itu.
"Bagaimana kalau kita makan di luar saja!" tawarnya.
"Bolehkan…? Aku ingin makan kepiting saus padang yang selalu menjadi makanan favorit calon suamiku ini. Aku ingin mencobanya," ujarnya manja.
"Memangnya kamu tidak capek atau jetlag gitu?" selidik Arvin tidak mau wanitanya merasakan sakit.
"Ih tidak sayang, aku baik-baik saja. Makanya saking semangatnya aku ingin sekalian melihat indahnya kota Jakarta. Bolehkan?" rayunya kembali.
"Apa pun untukmu sayang. Asal kamu beneran tidak kenapa-kenapa. Aku hanya takut kamu memaksakan diri dan akhirnya sakit. Aku tidak mau hal itu sampai terjadi."
"Tenang saja sayang, aku baik-baik saja kok." Zemira berusaha meyakinkan.
"Ya sudah kalau begitu, setelah mandi kita berangkat." Seperti anak kecil, Zemira berjingkat kegirangan.
"Terima kasih sayang, kamu memang yang terbaik." Arvin hanya tersenyum lalu mengusap lembut pipi lawan bicaranya kemudian mengecup kening Zemira mesra. Setelahnya berlalu menuju kamar mandi yang ada di luar kamar, sedangkan Zemira pergi ke kamar mandi dalam kamar.
Tiga puluh menit kemudian, keduanya sudah sama-sama siap dengan busana seragam. Arvin sengaja membeli baju dengan warna yang serupa, agar setiap orang yang melihat pasangan muda itu tidak berani melirik gadis cantik yang sebentar lagi akan menjadi miliknya. Semua mata pria diluaran sana harus mellihat jika wanita secantik Zemira sudah ada seseorang pria tampan yang memiliki.
"Kamu cantik, sayang!"
"Kamu juga tampan, sayang!" keduanya tertawa lalu Arvin mengulurkan tangan untuk menggandeng Zemira, dan tentu saja disambut baik oleh perempuan disebelahnya.
Di lain tempat, Alara sedang berjalan-jalan santai menikmati malam kota Jakarta. Dari pada meratapi nasip menjadi istri tak dianggap, dia memilih mencoba melupakan sejenak sakit hati yang dia terima saat ini. "Apa aku tidak pantas untukmu, Mas! Seandainya dulu kamu terpaksa menikah denganku, alangkah lebih baik jika kamu tidak menuruti permintaan Mama. Dari pada kamu membuatku seperti orang bodoh." Alara menghembuskan nafas kasar.
Di depan dia melihat ada pedagang kaki lima yang memasang tenda dan menawarkan aneka makanan seafood. Seketika cacing dalam perut pun meronta minta diisi. "Wah sepertinya itu enak, jelas sekali karena ramai banget. Banyak pengunjung memakai roda empat untuk ikut menikmati masakan disana. Ah mending makanlah dari pada kelaparan di sini," monolog Alara sambal memegangi perut.
Perutnya berbunyi lagi, sedangkan saking banyaknya pengunjung membuat pesenan Alara terlambat diantar. "Haduh, kamu bisa diam tidak sih, ini kan masih antri! Sabar dong." Alara berbicara sendiri memberi perintah pada perutnya untuk berhenti protes agar segera diberi makan.
Lima belas menit masih juga belum kebagian makanan, menu yang sudah dipesan masih ketumpuk daftarnya di meja koki. Bahkan satu pun belum ada yang kepegang untuk memasak pesanannya. "Astaga, bisa-bisa aku mati kelaparan gara-gara menunggu kelamaan." Tidak tahan lagi, gadis itu memilih pergi, namun sebelum itu dia memastikan jika pesanannya memang belum sempat dibuat.
"Maaf, Mas! Apa makanan yang saya pesan tadi sudah mulai dimasak apa belum, ya! Jika belum, apakah saya bisa mencancelnya? Maaf, mendadak saya ada keperluan. Jadi saya harus pergi sekarang." Paparnya lembut.
"Atas nama siapa, Kak!"
"Alara." Sang kasir pun menyakan pada bagian kitchen dengan sedikit berteriak.
"Pesanan atas nama Alara sudah jadi belum?" teriaknya, karena kalau pelan sudah tentu tidak mendengar karena jarak yang sedikit jauh, belum lagi suara bising kendaraan serta pertempuran antara wajan dan spatula.
"Belum," jawab salah satu pekerja dapur.
"Oh belum, Kak! Kalau Kakak ingin dibatalin masih bisa kok!" ucap sang kasir pada Alara.
"Alhumdillah, syukurlah. Kalau begitu saya pergi permisi," pamit Alara santun.
Alara keluar dari tenda ramai itu, dia mengedarkan matanya mencari sesuatu yang bisa dimakan cepat karena perutnya memang tak lagi bisa diajak kompromi. "Huh, makan apa ya enaknya?" matanya menelisik tempat sekitar, mencari makanan yang mudah dibuat dan pastinya mengenyangkan. Tak jauh dari dirinya berdiri, ada tukang bakso sedang mangkal. Tapi sama saja, ada beberapa orang yang tengah mengantri namun beruntungnya tidak sebanyak di warung tenda seafood tadi.
Alara mengayunkan kaki menghampiri tukang bakso itu. Sesampainya di sana, dia segera memesan bakso yang kebetulan semua pelanggan sudah dilayani. Jadi saat sampai pada tempatnya, Alara bisa langsung memesan. Bisa dihitung dengan menitan, makanan berada dihadapannya. Dengan lahap Alara memakan bakso itu, saking laparnya dia pun makan tanpa melihat sekitar. Ia tidak sadar bila sedari tadi ada seseorang tengah memperhatikan tingkahnya yang lucu kala kelaparan.
"Kamu sangat menggemaskan sekali. Andai kamu istriku, kupastikan akan aku lahap dirimu dikamar setelah sampai rumah. Tapi sayang sungguh sayang." Pria itu terkekeh sendiri. Tangannya bersedekap di depan dada, menunggu gadis itu menyelesaikan makanannya terlebih dahulu baru nanti akan dia temui.
Alara melahap suapan terakhir, lalu mengambil gelas berisi teh manis hangat. Setelah kosong semua, gadis itu berniat pergi dari tempat itu. Saat hendak berdiri, seseorang dengan kasar duduk di sampingnya. "Astagfirullah," pekik Alara kaget setengah mati.
"Biasa saja kali! Mang, bakso satu, ya!" seru lelaki tanpa dosa.
"Astaga, Kak! Kamu ini sudah seperti hantu saja, datang tak dijemput pulang tak diantar."
"Memangnya aku ini jalangkung apa? Sembarangan saja kalau bicara." Protesnya.
"Lah, habisnya kamu memang seperti itu, kan? Tiba-tiba datang dan selalu menggunakan cara yang lebay. Bisa gak sih, sedikit kalem saja gitu? Biar jantung ini juga bisa awet tinggal ditempatnya!" Ansel bukannya merasa bersalah malah tertawa terbahak.
"Memangnya jantung kamu mau pindah kemana?"Tanya Ansel iseng.
"Kepo."
"Ish, kebiasaan tidak sopan kamu sama orang yang lebih tua." Ujar Ansel tidak suka.
"Oh, aku baru tahu kalau Kakak ternyata sudah tua."
"Mau aku jitak lagi?"
"Hahaha, ternyata orang tua itu sensitif, ya! Hahaha." Ansel malas menanggapi lagi. Bakso sudah terhidang di depan mata, ditambah cuka, sambal, kecap, setelah diaduk pria itu langsung melahap makanan berbentuk bulat dengan rakus. Alara bahkan sampai jijik melihatnya.
"Kakak belum makan, ya! Sampai segitunya melahap itu bakso!" sorot mata Alara menyiratkan keheranan.
"Kenapa? Bukannya kamu makan tadi seperti ini juga?"
Glek
Alara menelan salivanya susah payah. Jadi sedari tadi dia sudah ada di sini, dan mengamati gerak gerik gadis tersebut. Rasa malu muncul seketika, mengingat tadi Ia makan juga seperti sudah beberapa hari tidak makan. Sama persis dengan apa yang dilakukan oleh Ansel saat ini.
Jika Alara dan Ansel makan di pinggir jalan, Arvin dan Zemira makan di Restauran ternama. Arvin merangkul posesif pinggang Zemira, seolah olah wanita itu akan hilang saja bilang tidak di pegang erat.
Arvin menarik kursi untuk di duduki oleh tunangannya. Dan dia sendiri mendaratkan tubuh di kursi yang berhadapan dengan Zemira. "Kamu mau pesan apa, sayang?" Tanya Arvin.
Wanita itu membolak balikkan buku menu, bingung memilih makan apa. "Aku bingung, Yang! Lebih baik kamu saja yang pilih, aku ngikuti kamu saja." Arvin menurunkan pandangan menatap menu di tangannya. "Mbak, aku mau pesan dua kepiting asam manis dan udang saos padang satu. Nasi dua, jus alpokat dua. Cah brokoli satu, ya!" Arvin menyebutkan beberapa menu. Sesaat sesudah menyebutkan kembali orderan, sang pelayan pergi.
"Sayang, apa kamu punya rumah di sini?" pertanyaan Zemira membuat wajah Arvin berubah pias. Dia tidak ingin berbohong, tapi juga tidak ingin wanita itu mengetahui kebenarannya secepat ini.