Chereads / SEBATAS ASA / Chapter 20 - Ulang Tahun Sederhana

Chapter 20 - Ulang Tahun Sederhana

"Kamu ini bicara apa sih sayang? Mama tidak apa-apa kok, namanya juga pengantin baru. Mama maklum," balas Erina tersenyum menggoda.

Alara begitu polos untuk memahami maksud ucapan Erina, tapi tidak dengan Arvin. Dia menangkap arti dari perkataan Mamanya. Hatinya mencolos, amarah tanpa sebab tiba-tiba menguasai hatinya kembali. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan perkataan Erina, hanya saja Arvin sangat benci dengan kata pengantin baru dan menjurus ke urusan ranjang.

Arvin tidak akan pernah mau menyentuh wanita itu, haram baginya berbagi peluh keringat dan melakukan penyatuan mereka berdua. Dia hanya akan menyalurkan benihnya dirahim Zemira. Selamanya tidak akan mau dia bersentuhan seintim itu. "Sebaiknya kita segera bersiap, Ma! Apa banyak yang Mama undang untuk acara makan malam ini?" Arvin mengalihkan pembicaraan yang bisa membuatnya muntah antara sang Mama dengan istrinya.

"Tidak sayang, Mama hanya mengundang kamu dan juga Ansel. Jadi kita hanya berempat, yah khusus keluarga saja untuk tahun ini. Mama ingin menikmati memiliki menantu baru." Ujarnya. Arvin semakin muak melihat wajah Alara. "Apa sebenarnya istimewanya dirimu Alara? Kenapa Mamaku bisa begitu menyukaimu?" tanyanya dalam hati.

"Sayang, bisakah kamu buat makanan kesukaan Mama!" Alara tersenyum, "Tentu saja, Ma." Keduanya kompak menyebutkan satu menu favorit keduanya. "Soto Babat Semarang!" seru mereka, dan Arvin terperangah dibuatnya.

"Seakrab itukah Mama dan Alara? Bahkan perempuan itu tahu makanan favorit Mama dibandingkan aku yang anak kandungnya," lirih Arvin nyaris tidak terdengar oleh siapapun kecuali alat pendengarannya sendiri.

"Ayo, Mas!" Ajak Alara. Dia menuntun suaminya menuju taman belakang. Ternyata di sana pun sudah disiapkan segala alat bakar untuk barbeque. "Di sini sudah akan ada acara barbeque juga?" Erina mengangguk. "Lalu kenapa masih membuat Soto Babat juga, Ma? Belum lagi semua jenis makanan yang ada di meja? Sebanyak itu untuk siapa saja? Kan kata Mama hanya kita berempat yang makan?" Erina tersenyum, memang dia menyiapkan berbagai jenis makanan begitu banyak di meja makan. Tapi bukan untuk mereka, melainkan akan dikirim ke Panti Asuhan Suhada dimana Alara dibesarkan.

Setiap tahunnya, Erina selalu merayakan hari kelahirannya dengan makan bersama para anak yatim yang diundang langsung ke butik, tapi sekali lagi. Tahun ini berbeda, meski tetap memberikan santunan dan makanan seperti tahun-tahun sebelumnya. Yang membedakan adalah makanan itu dikirim ke panti begitu juga uang santunannya. Dikirim melalui transfer.

"Itu buat anak-anak panti, sayang!" ucap Erina mengelus surai rambut putranya. "Kita akan makan ikan dan udang yang dibakar. Sebentar lagi juga akan datang ikan beserta udangnya. Kamu merasakan masakan istrimu, dia benar-benar pandai sekali memasak," puji Erina untuk menantunya. Sedangkan yang dipuji hanya bisa tertunduk malu.

"Ya, aku sudah merasakan masakannya, Ma."

"Wah, Mama lupa. Pasti tadi pagi kamu sarapan yang di buat oleh istrimu itu kan?" Erina menggeleng-gelengkan kepala. "Maafkan Mama karena sudah pikun, mama lupa kalau Alara sudah menjadi istrimu," lanjut Erina setengah menggoda.

"Kalau masih lama, aku mau ke kamar dulu, Ma!" seru Arvin, pernyataan yang tidak memerlukan jawaban. Mantap, Arvin melangkahkan kaki meninggalkan ibu dan juga istrinya.

"Mama bahagia sekali Alara, karena akhirnya kamu menjadi menantu Mama. Sebenarnya sudah lama sekali Mama ingin menjodohkan kamu dengan Arvin. Tapi setiap Mama tanya kapan dia pulang ke Indonesia, Arvin selalu bilang bulan depan lanjut bulan depan lagi dan lagi. Hingga hari dimana saya drop itu, dan kamu menyelamatkan saya. Tindakanmu itu membuat saya semakin yakin memilih Alara menjadi menantu. Saya hanya ingin, Arvin tidak salah pilih dalam mencari pendamping hidup. Dan bagiku, kamu memang sangat cocok untuk putraku. Berjanjilah Alara, apa pun yang terjadi. Tolong jangan pernah tinggalkan Arvin. Saya mohon, berjanjilah." Tatapan memohon membuat Alara terkesiap, sebuah cinta yang begitu besar Alara lihat dimata tua sayu Erina.

Dia merasa tidak memiliki alasan untuk menolak keinginan mertuanya. Walau pun dalam sudut hatinya ada rasa kecewa atas apa yang terjadi pada putranya. Namun kemudian, gadis itu teringat ucapan suaminya jika lusa pria kekar tersebut sudah mulai pengobatan. "Alara berjanji, Ma! Apa pun yang terjadi dengan mas Arvin, Alara akan selalu berada di samping dan mendukungnya."

Netra Erina berkaca-kaca, segera dia merengkuh tubuh menantu yang sudah dianggap seperti putrinya sendiri. "Terima kasih banyak sayang, terima kasih." Berkali-kali perempuan anggun itu menghujani ciuman dikening sang menantu. Dia belum pernah sebahagia ini. Doanya saat ini, semoga Alara dan Arvin bisa selalu bersama hingga usia dimakan oleh waktu.

"Sudah, Ma! Jangan begini, Alara yang seharusnya berterima kasih. Karena Mama menjodohkan Alara dengan pria yang begitu baik dan penyayang, Alara bahagia Ma. Sekali lagi, terima kasih banyak Ma." Erina mengangguk-anggukan kepala.

"Kalau begitu saya kedapur dulu, Ma."

"Iya sayang." Seperginya Alara, Erina menikmati hembusan angin yang sangat menyejukkan hati dan pikirannya. Namun senyum itu lenyap kala teringat kejadian dimana Kevin berkunjung kekediamannya. "Apa yang harus aku lakukan untuk pria itu? Aku begitu takut saat bertemu lagi dengannya. Ya Allah, tolong bantu aku!" doanya kemudian.

***

Di sini, Ansel merasa jengkel. Sungguh, ingin rasanya dia mengumpat sang Tante karena seenaknya sendiri memberi perintah yang dia tidak mengerti sama sekali tapi tetap dilaksanakan. Dengan penuh rasa jijik, terpaksa pria tampan itu mencari apa yang sudah dipesan oleh Erina. "Astaga! Andai saja tante ini orang lain, ingin rasanya aku lempar dirimu ke Arab atau perlu ke kutub Selatan. Tidak anak tidak juga Mamanya, selalu menyusahkan aku. Beruntung aku sayang sama Tante, mau tidak mau menggunakan kelemahanku itu untuk memanfaatkanku," Keluh Ansel kesal.

Bagaimana tidak kesal jika seorang pria berbadan proporsional di suruh mencari beberapa jenis ikan dan seafood di sebuah pasar yang menjijikkan karena becek. Untuk pria sekelas Ansel, sangatlah tidak pas jika harus berdesak-desakkan bersama para ibu-ibu dan nelayan yang datang silih berganti untuk sekedar membeli atau mengirim ikan ke para pedagang.

"Ya Allah, Tante. Kenapa kamu begitu tega menyiksaku seperti ini?" teriaknya frustasi, tentu memancing beberapa orang untuk memperhatikan dirinya. Merasa jika semua orang mengamati tingkahnya barusan, Ansel menghela nafas panjang dan menganggukan kepala dengan sopan. Tidak ingin menjadi pusat perhatian, Ansel segera berlalu dari sana.

Diluar, dia merogoh sakunya mengambil benda pipih yang selalu ada dalam saku, lalu menekan tombol dial menghubungi anak buahnya. Pada panggilan pertama, langsung terdengar suara dari seberang. "Bisa kamu kesini sekarang?"

"..."

"Baiklah, aku tunggu cepat." Setelah mematikan gawainya. Ansel masuk kedalam mobil sembari menunggu kedatangan seseorang yang barusan dia hubungi.

Sepuluh menit kemudian, ada sebuah tangan mengetuk pintu kaca mobilnya. Melihat orang itu anak buahnya, Ansel turun dan segera memberi perintah untuk membelikan beberapa ekor ikan serta udang besar untuk barbeque. Bawahannya mengangguk mengerti dan segera mencari semuanya. Ternyata begitu mudah bagi pria jangkung dengan rambut sedikit keriting sudah kembali. Ansel sempat melongo dibuatnya. Pasalnya baru lima belas menit yang lalu anak buahnya itu memasuki area pasar ikan, ia sudah kembali membawa beberapa kantong plastik pasti berisi sesuai titahnya.

"Semua sudah beres, Pak?" terang si pria itu setelah barang yang dia beli masuk kedalam garasi tanpa ada yang tertinggal.

"Baik, terima kasih. Maaf karena sudah merepotkanmu seperti ini," ucap Ansel sedikit datar meskipun sungkan tapi tetap berwibawa. Di depan anak buahnya dia tidak ingin terlihat payah, biarlah hanya Erina dan Arvin saja yang mengetahui kelemahannya bila sudah dihadapkan dengan keluarga. Bukannya cemen atau bagaimana, hanya saja dia memang harus bersikap yang semestinya dengan berbagai orang. Dia harus bisa cepat menyesuaikan diri ketika berhadapan dengan lawan bicara.

"Sama-sama, Pak." Ansel pun segera memasuki bagian kemudi di mobilnya. Mobilnya langsung melaju dengan kecepatan lumayan kencang. Dia harus segera sampai dimana semua orang sudah menunggu. Membelah kota dijam orang akan keluar untuk malam mingguan membuatnya emosi. Entah kenapa hari ini merupakan hari yang sial untuknya. Tapi tidak dengan pertemuan tadi siang dengan sang kakak ipar.

Berkali-kali gawai Ansel berbunyi dan menampilkan nama Erina di layar itu. "Huft, pasti mau menanyakan ikannya. Beruntung aku masih berbaik hati karena mau saja disuruh buat membeli ikan."

Geram dengan suara panggilan yang semakin dibiarkan akan semakin nyaring, Ansel memasang headshet di telinga lalu menggeser tombol warna hijau. "Iya Tan!" Jawab Ansel kala panggilan itu sudah tersambung.

"Assalamualaikum anak nakal! Ucapkan Assalamualaikum saat masuk rumah dan mengangkat panggilan begitu, pun harus mengucapkan salam." Bukannya langsung pada inti kenapa dia menelepon, malah memberi ceramah dahulu untuk keponakannya.

"Iya iya Tante, maaf Ansel suka kelupaan," balas Ansel tidak mau di perpanjang.

"Kebiasaan emang kamu, selalu begitu. Sudahlah, mendingan kamu mondok saja."

"Apa? Please deh, Tante jangan bicara yang aneh-aneh. Mending Tante cepetan bilang ada apa?" Erina menghela nafas berat, selalu saja keponakannya ini membantah apa yang dia katakan.

"Kamu sudah sampai mana? Kenapa ikannya juga belum datang. Hari semakin larut, nanti Tante keburu ngantuk dan gak jadi makan ikan bakar," rajuk Erina layaknya anak kecil.

"Astaga Tan... Tan…, aku piker Tante mengkhawatirkan keponakan tertampanmu ini. Ternyata malah ikan yang Tante pikirkan. Apa Tante tidak membayangkan bagaimana susahnya pria ganteng seantero ini bersusah payah membelah kerumunan berbagai orang yang kebanyakan emak-emak?" sungut Ansel sudah tidak bisa menahan rasa kesalnya.

"Ha…ha…ha… justru harusnya kamu berterima kasih dong dengan Tante. Karena Tante, kamu jadi bisa tahu keadaan pasar seperti apa." ledek Erina.

"Kenapa tidak Tante menyuruh Arvin saja! Dia kan yang sudah menikah, akan lebih bagus jika dia saja yang belajar berbelanja di pasar tradisional. Jadi saat Alara sakit atau lagi sibuk, Arvin bisa menggantikan Alara untuk belanja kebutuhan dapur." Sungut Ansel yang pasti akan mendapat gelak tawa dari Tante kesayangannya.