Ansel benar-benar kesal dibuatnya. Setelah mengakhiri panggilannya, dia melempar gawainya ke kursi penumpang di sampingnya. Berbeda dengan Erina, setelah menutup panggilan wanita itu menyesap tehnya yang baru datang dan mengawasi para pelayan menata barang-barang untuk persiapan bakar-bakaran.
Berselang setengah jam Ansel datang, bersamaan dengan itu Alara juga tengah menyusul Ibu mertuanya yang sedang duduk manis menikmati tehnya.
"Ma!"
"Tante!"
Panggil Alara dan Ansel bersamaan dari arah berbeda. Alara menyipitkan matanya berusaha menyakinkan apa yang baru saja dilihat saat ini. Sedangkan Ansel masih sama menunjukkan muka kecutnya membawa serta tentengan plastik. Tak lama Ansel segera meletakkan barang bawaannya di dekat tungku. Alara masih melongo melihatnya.
"Itu, semua sudah sesuai perintah Tante," ujar Ansel emosi.
"Yang ikhlas dong, masak disuruh orang tua gak ikhlas begitu! Nanti kalau Tante keselek duri ikan bagaimana?" Tanyanya pura-pura tidak terima sama sikap keponakannya.
"Kalau Tante menyuruhku melakukan hal yang lain, aku tidak akan marah kecuali itu. Aku jijik jika harus masuk ke dalam pasar yang bau amis dan becek seperti itu. Ingat Tan, ini untuk pertama dan terakhir kalinya Tante memintaku ke tempat yang aku benci." Erina menahan tawa begitu pula Alara, namun Ansel tidak mau ambil pusing oleh ekspresi keduanya yang seperti meledek. Dia memilih untuk pergi dari hadapan keduanya dari pada emosi semakin memuncak.
"Sayang!" Panggil Erina terhadap menantunya. Alara menoleh lalu mendekati mertuanya.
"Ma, sotonya sudah siap!" Erina tersenyum, tak lama membangkitkan diri dari duduk santainya berjalan ke arah menantunya.
"Ayo! Mama ingin mencicipi sotonya dahulu sebelum nanti makan pakai ikan bakar favorit Arvin." Alara tersenyum, info penting yang dia dapat. Ternyata ikan bakar merupakan salah satu makanan kesukaan suaminya.
"Mari, Ma!"
Di ruang makan, ternyata Arvin dan Ansel sudah berada di sana. "Mas, mau aku ambilkan sotonya? Biar aku siapin semuanya di piring ya!" Tawar Alara.
"Tidak, aku akan makan dengan ikan bakar saja," tolak Arvin, Alara yang semula sudah memegang piring menjadi urung melanjutkan kegiatannya. Kembali diletakkan, Alara menoleh pada pria di depannya. Tatapan menyebalkan bagi Alara tapi menyenangkan bagi Ansel.
"Hai, kita ketemu lagi!" sapa Ansel. "Bagaimana? Masih tidak percaya jika aku juga masih anggota keluarga dari suamimu?" Lanjutnya. Erina pun penasaran dengan apa yang terjadi pada keduanya.
"Ada apa? Kenapa kamu bilang seperti itu, Sel?" Tanya Erina penasaran.
"Begini Tan. Tadi siang aku melihatnya duduk sendirian seperti orang hilang disebuah halte bus. Karena aku sudah tahu siapa dia, makanya aku mencoba berbaik hati untuk membantunya. Akan tetapi, dia malah marah-marah karena tidak mengenaliku. Sudah aku jelaskan juga jika aku ini sepupunya Arvin, tapi dia seolah tidak percaya. Dan tadi saat ditaman belakang, tercetak jelas sekali keterkejutannya saat melihat kehadiranku," jelas Ansel panjang lebar.
"Ooo jadi begitu." Netra Erina beralih ke gadis kesayangannya. "Memang iya sayang, Ansel ini anak dari adik Papanya Arvin. Dia tinggal di Indonesia sendirian, karena kedua orang tuanya lebih memilih menetap di Yaman." Alara tertunduk malu, namun kepalanya langsung terangkat saat Erina membenarkan perkataan Ansel.
"Iya, Ma!" hanya itu akhirnya keluar dari bibir Alara.
"Ya sudah. Sembari menunggu barbequenya jadi, Mama mau makan soto dulu tanpa nasi. Bisakah kamu menyiapkan di mangkuk, Nak?" Alara mengangguk. Dengan cekatan, Alara mengambil semua pelengkap soto dan segera memberikan kepada Erina.
Bau bakaran sudah tercium di Indera penciuman masing-masing. Setelah selesai dengan hidangan favorit Erina, ke empat manusia itu kembali ke taman belakang sambil ngobrol ringan. Ansel begitu pandai menguasai situasi, dia memberikan malam yang ceria terhadap keluarga Erina. Senyum pun tak hilang menghiasi wajah ayu Alara. Sesekali Ansel melirik kearah wanita itu, dia juga turut bahagia melihatnya.
"Kenapa aku sangat menyukai senyuman mu itu Alara? Apakah aku sudah jatuh cinta padamu? Tapi tidak boleh, kamu adalah istri dari saudaraku jadi aku akan mencoba untuk mengubur perasaan ini sebelum mengakar di hati. Tapi tetap saja, apa aku bisa menghilangkannya? Sedangkan hatiku selalu mengatakan untuk melindunginya dari kezoliman suaminya. Entah apa yang akan terjadi dimasa depan, aku harus siap dengan segala kemungkinan." Monolog Ansel pada dirinya sendiri tanpa ada orang yang mendengar, dan pandangan tidak bosan menghadap ke arah gadis itu selalu.
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, acara makan-makan juga berjalan tanpa hambatan dengan penuh canda tawa. Makanan yang dikirim ke panti Asuhan Suhada juga sudah jalan sejak sebelum adzan Ishak berkumandang. "Ma! Arvin dan Alara pulang dahulu. ya!" pamit Arvin. Kemudian beralih ke sepupunya.
"Sel, tolong malam ini kamu tidur di sini! Aku tidak ingin Mama merasa sendirian karena tadi ada orang di masa lalu hendak mengganggu Mama. Jadi aku titip Mama malam ini!" tutur Arvin.
"Beres, kamu tenang saja, bersamaku Tante aman."
"Aku percaya padamu." Arvin menepuk pundak Ansel.
"Alara pamit ya, Ma!" Alara menghampiri Erina, mengambil tangannya dan menciumnya dengan takzim. "Mama hati-hati ya di rumah! Jangan lupa selalu jaga kesehatan. Jika ada apa-apa segera hubungi aku atau mas Arvin ya, Ma!"
Erina menoel dagu gadis polos tersebut. "Iya bawel. Sudah, jangan mengkhawatirkan Mama. Cepat sana pulang dan jangan lupa segera beri Mama cucu yang imut perpaduan kalian berdua." Pipi Alara merona mendengar ucapan Mama mertuanya. Namun di menit berikutnya, rona di pipinya berangsur menghilang kala mengingat semua ucapan Arvin ketika di hotel. Dan sekarang saat sudah di rumah Arvin pun, pria itu memintanya tidur dikamar yang terpisah.
"Apakah mungkin mas Arvin mau menyentuhku kalau dia sudah sembuh?" pertanyaan itu tiba-tiba hadir di benaknya. "Semoga saja iya, bukankah aku sekarang istrinya? Dan sikap mas Arvin selama ini tidak menunjukkan ketidak sukaannya padaku, jadi aku yakin setelah sembuh akan menjadi suami idaman dimana semua orang pasti iri melihatku mempunyai suami sempurna. Suami yang bertanggung jawab dan pastinya sayang padaku. Ya Allah, tidak sabar rasanya aku menanti masa-masa itu?" Alara senyum-senyum sendiri membayangkan masa yang akan datang. Ketiga orang itu mengernyitkan keningnya melihat Alara sibuk dengan khayalannya.
"Kamu kenapa sayang?" Tanya Erina. Sedangkan yang ditanya gelagapan karena malu ketahuan melamun membayangkan hal yang tidak-tidak.
"Eh, ehm itu Ma, anu itu apa ehm, maaf." Alara tidak bisa menjawab hingga kata maaf terlontar.
"Tidak apa-apa sayang, jika kamu sedang ada masalah kamu bisa cerita ke Mama ya! Jangan sungkan. Anggap saja Mama ini sahabat kamu," ujar Erina menyisir kepala Alara yang tertutup jilba.
"Iya, Ma. Terima kasih Ma." Arvin bernapas lega, dia sempet berhenti bernafas mendengar ucapan Erina tadi.
"Sama-sama sayang. Sering kunjungi Mama, ya! Dan kabar baik secepatnya." Arvin sangat jengah sama keinginan Erina. Tidak mau berlama-lama, dia pun menarik tangan istrinya dan pergi dari kediaman Ibunya. Tanpa ada pamitan juga ke Ansel. Memang dasar Arvin angkuh.
Selama perjalanan, Alara terngiang kata-kata, ingin sekali dia membahas hal itu dengan Arvin. Namun sepertinya pria disebelahnya enggan membahas pembicaraan tadi, ada rasa kurang nyaman jika dilihat dari gerak tubuh suaminya bila menyangkut anak.
Mobil Range Rover Arvin kini sudah memasuki garasi rumahnya. Setelah mematikan mesin, lelaki jangkung itu melepas seatbelt yang melingkar kuat ditubuhnya. Tangannya sudah memegang handle pintu untuk membuka akan tetapi terhenti saat Alara menanyakan tentang lelaki yang ada di rumah Erina ketika dia baru saja datang. "Mas!" panggilnya. Dan yang dipanggil langsung menoleh kesamping.
"Iya, ada apa?"
"Ehm, aku…." Ucapan Alara menggantung ragu. Mungkin lebih baik dia menunggu suaminya bercerita tentang pria tua yang sudah membuat mertuanya menangis.
"Jika kamu ingin membahas masalah anak, maaf Alara aku malas." Arvin membuka pintu mobil begitu pula Alara. Langkahnya mencoba mengimbangi langkah besar Arvin. Mensejajarkan berdiri di sebelah lelaki tampan itu, Alara kembali bertanya.
"Mas, maaf aku hanya ingin tahu saja. Siapa lelaki tua yang sudah datang kerumah Mama?" Arvin menghempaskan bokongnya ke sofa, menghela nafas berat dan pandangannya beralih ke Alara.
"Dia masa lalu Mama, dulu mereka bersahabat. Namun hanya karena cinta, persahabatan mereka hancur. Dan pria bernama Kevin itu sudah terlanjur punya obsesi yang besar untuk memiliki Mama dalam hidupnya. Saat aku masih kecil, dia melakukan pelecehan terhadap Mama dan tak lama kemudian Papa datang lalu menolong Mama. Tapi siapa disangka, ternyata Kevin malah menusuk Papa. Beruntung saat sebelum Papa masuk ke dalam rumah, beliau menghubungi pihak berwajib terlebih dahulu karena merasa ada yang tidak beres. Dan benar, Kevin tengah menggagahi istrinya. Kala lengah, Kevin memanfaatkan situasi dengan menusuk pundak dan perut Papa." Arvin berhenti sejenak guna mengambil nafas. Karena meskipun hanya bercerita, nyatanya mampu mengungkap luka lama yang ingin sekali dia kubur.
"Saat Mama akan dibawa pria itu pergi, diwaktu yang sama pula polisi datang mengepung bajingan itu dan menggelandangnya ke kantor Polisi. Dia dijatuhi hukuman selama 20 tahun penjara dengan tuduhan 'percobaan membunuh dan melakukan pelecahan seksual. Allah memang masih sayang kepada kami, maka dari itu Allah mengirim Papa pulang kerumah dan menolong Mama sehingga Mama belum sampai terlalu jauh dijamah oleh bajingan itu. Aku tidak bisa membayangkan jika semua itu sampai terjadi, aku sangat yakin Mama pasti down." Alara mengangguk-angguk mengerti.
Pantas saja tadi suaminya begitu marah saat mendapati pria tersebut di rumah Erina, ternyata begitu cerita masa lalu sang mertua. Ingin juga dia mempertanyaan atas sikap Arvin yang terlihat santai kala Alara di pegang-pegang oleh Kevin. Apa mungkin dia tidak khawatir seandainya pria jahat tadi menyakiti dirinya. Alara mengingat saat Kevin berbicara menyangsikan kecintaan Arvin pada dirinya. Tapi lagi-lagi, dia tidak memiliki cukup keberanian untuk kembali melontarkan sebuah Tanya.
"Mungkin sebaiknya ku pendam sendiri saja, nanti kalau ada kesempatan berbicara lebih baik baru aku akan menanyakannya." Ujar Alara hatinya.