Bab 13 Memberi Tahu Kenyataan.
"Bro, lo kenapa sih sebenarnya? Kenapa muka lo kusut begitu?"
"Gue benci banget sama Alara!" Ansel sudah menduga, pasti karena Alara.
"Kenapa lagi? Kamu jangan membuat masalah Vin! Kamu yang sudah menyetujui pernikahan ini, aku minta jangan pernah kamu sakiti hati Alara. Kasihan dia sudah yatim piatu sejak kecil. Lagi pula jika kamu merawat seorang yatim piatu, itu ganjarannya besar bro. Allah pasti akan memberikan banyak kebaikan padamu dan juga dia. Aku berdoa semoga pernikahan kalian langgeng, lagi pula dia juga anaknya cantik kok. Yah, tidak malu-maluin juga saat ada pertemuan penting atau pesta lah. Sumpah bro dia itu cantik dan perfek menurutku." Jari jempol dua-duanya dicungkan tepat di depan mata Arvin.
"Sudah selesai nerocosnya?" kesal, Ansel pun membuang muka.
"Mau dia secantik apa pun, tetap saja aku tidak akan pernah suka dengannya. Mengerti? Dia bukan tipeku. Bagiku, hanya Zemira yang terlihat sempurna bukan yang lain."
"Saranku bro, mending kamu sudahi saja hubunganmu dengan wanita itu. Belum tentu dia menjadi yang terbaik bagimu meskipun menurutmu dia sangat sempurna," saran Ansel bijak.
"Itu sangat mustahil, Sel. Selamanya aku tidak akan bisa kehilangan dirinya. Aku ingin menikahinya. Tidak akan ada yang bisa mencegahku, bahkan Mama pun tidak akan pernah bisa."Arvin berucap penuh keyakinan.
"Tolong pikirkan lagi apa yang baru saja aku katakana Arvin, jangan sampai membuatmu menyesal." Geram dengan sikap Arvin, Ansel pun pergi meninggalkan sahabatnya yang masih dipenuhi amarah. Arvin memandang kepergian Ansel dengan angkuh.
"Akan aku pastikan jika aku dan Zemira bisa bersatu. Dan kalian, kamu maupun Mama. Apa lagi si perempuan sialan itu tidak ada yang bisa menghentikan aku dan dia menjadi kami." Sungut Arvin.
Ansel melajukan mobilnya dengan kencang, membelah kota Jakarta yang semakin macet hingga kendaraan roda empat itu berhenti di sebuah rumah demi melihat wanita impiannya. Ansel mengamati rumah besar itu, tak lama seorang wanita yang akhir-akhir ini mengisi otaknya keluar menggunakan gamis berwarna peach dengan kerudung berwarna putih. Sungguh innerbeautynya keluar sangat indah, Ansel menyunggingkan sebelah bibirnya. Entah apa yang dia rasa sebenarnya, ada sesuatu yang mendorong Ansel untuk melindungi perempuan itu. Karena tidak ingin menimbulkan kesalah pahaman dengan sang sepupu, Ansel mimilih jarak jauh dalam melindungi wanita tersebut.
Namun itu kemarin sebelum pertemuannya dengan Arvin hari ini. Akan tetapi setelah ungkapan yang baru saja dia dengar dari mulut Arvin, Ansel pun bertekad akan mendekati Alara berharap dia bisa menjadi tempat bersandarnya gadis itu saat luka mendatanginya.
"Alara, aku akan melindungimu. Walaupun tidak maksimal karena terhalang oleh status, tapi aku akan berusaha menjadi seorang sahabat yang patut di perhitungan untuk menjadi tempatmu bersandar dari semua masalah yang akan menimpamu nanti dimasa depan." Ansel masih memperhatikan gadis itu yang keluar dari gerbang yang menjulang tinggi dan berjalan kearah jalan raya.
Tanpa sepengetahuan Alara, Ansel mengikutinya yang kini tengah naik Metromini. "Sungguh sederhana sekali dirimu Alara, meskipun di rumah berjejer mobil sport yang tentu wanita manapun akan langsung memanfaatkan barang yang ada. Tapi tidak denganmu, sungguh kamu wanita berbeda. Aku semakin mengagumimu Alara. Ah, andai saja yang menikah denganmu itu aku bukannya Arvin! Sudah pasti hanya kebahagiaan yang akan aku berikan padamu. Sayangnya tidak." Ucap Ansel sepanjang perjalanan.
Setelah menempuh beberapa waktu beberapa menit, Alara turun dari Metromini. Sebuah papan nama bertuliskan Panti Asuhan Husada. Ansel mengerutkan keningnya. "Kenapa Alara pergi ke tempat seperti ini? Bukannya dia duduk diam di rumah menanti suaminya, tapi malah bepergian ke tempat dimana dia dibesarkan," Tanyanya pada diri sendiri.
Ansel masih setia menunggu kepulangan Alara keluar dari bangunan tersebut. Hampir dua jam pria itu menunggu, kini terlihat wanita itu keluar bersama seorang perempuan remaja dan juga ibu-ibu setengah baya. Senyumnya mekar indah di wajahnya, Ansel di buat terpesona oleh pemandangan yang baru saja tertangkap oleh indera penglihatannya.
"Cantik." Satu kata yang memang pantas dia sematkan untuk Alara. "Aku ini kenapa sih? Ingat Ansel, dia istri sepupumu sendiri, sahabatmu dan juga bosmu. Jadi jangan mimpi untuk memiliki wanita itu, cukup dengan kamu melindunginya dari jauh saja. Bersikaplah selayaknya jangan melewati batas," Gumam Ansel sendiri.
"Terima kasih sayang atas kunjungannya, Ibu senang karena kamu tidak melupakan kami meskipun kamu sudah menjadi orang terpandang. Titip salam pada ibu mertua dan suamimu ya! Ingat! Jadilah istri yang baik untuk suamimu. Jangan sampai suamimu merasa tidak nyaman berada di dekatmu, sekarang kamulah tempat dia pulang. Patuhi suamimu apa pun itu, jangan pernah membantah karena surga seorang istri itu ada pada suaminya." Alara mengangguk.
"Iya Bu, Alara akan selalu ingat semua pesan Ibu." Lestari selaku pengurus sekaligus yang membesarkan Alara di panti asuhan, mengelus penutup kepala anak asuhnya sayang.
"Ibu bangga sama kamu." Lestari mendaratkan bibirnya di kening Alara, mengecupkan dengan penuh kasih sayang layaknya seorang Ibu dan anak.
"Terima kasih banyak Ibu, semua ini berkat Ibu. Jika tidak ada Ibu entah akan seperti apa Alara sekarang ini." Keduanya berpelukan singkat. Lalu beralih pada Suci anak dari Ibu Lestari. "Kak Alara jangan lupa ya sering main kesini dan beri kabar pada kami!"
"Tentu adikku sayang," Ucap Alara sembari mencubit pipi gembulnya Suci gemas.
"Kalau begitu, Alara pergi sekarang ya! Assalamualaikum."
"Walaikum salam." Jawab sepasang Ibu dan anak itu. Masih melambaikan tangan sebelum berjalan menjauh menuju jalan raya untuk kembali pulang.
Ansel mengamati semua gerak gerik istri dari saudaranya itu. Melihat Alara duduk disebuah halte bus, Ansel berinisiatif untuk memberikan tumpangan. Dia merasa kasihan jika wanita secantik Alara harus berdesak-desakkan dengan bau keringat karena banyaknya orang dan tentu tidak ada Air Conditoner dalam metromini tersebut.
Alara sibuk dengan gawainya untuk mengurangi rasa bosan menunggu angkutan umum. Tiba-tiba terdengar seseorang memanggilnya. "Alara!" wanita itu mengangkat kepalanya dan mencari sumber suara. Dia menyipitkan mata, berusaha mengingat wajah di depannya. Namun hingga tiga menit tetap saja dia belum mengenali siapa yang sudah memanggilnya.
"Maaf, siapa ya! Apa anda memanggil saya barusan?" Tanyanya polos, sedangkan Ansel menepuk jidatnya.
"Apa kamu lupa siapa aku?" tanyanya menyelidik.
"Apa kita pernah bertemu?" Alara pun masih berusaha mengenali sosok pria tampan di depannya ini.
"Tentu saja kita pernah bertemu! Tapi mungkin kamu lupa, karena memang diriku selalu dilupakan." Ansel memasang wajah sendu, seolah-olah dia baru saja dizolimi.
"Eh maaf…maaf bukan begitu! Aku hanya bertanya saja kok karena jujur saja sedari tadi aku mencoba untuk mengingat tapi hasilnya nihil!" Ansel langsung tertawa mendengar penjelasan dari perempuan berjilbab segitiga itu.
"Bagaimana kamu bisa ingat aku jika di depanmu hanya terlihat Arvin seorang!"