Pov Arvin
Pagi ini aku terbangun dari kamar sebelah kamar Alara, aku sengaja memesan kamar di samping kamarnya karena aku tak sudi tidur dalam satu ranjang bersamanya. Setelah badanku segar dan beberapa kali semprotan minyak wangi menumbuhkan rasa percayaku diri lebih tinggi.
Ku buka handle pintu dimana gadis itu istirahat, sejenak terpaku kala melihat dia bersujud di atas sajadah. Sepintas ku dengar curahan hatinya kepada sang pencipta hingga doa terbaik untukku dia panjatkan. Terharu sih, namun lagi-lagi mensugesti diri sendiri untuk membencinya dan tetap melanjutkan rencana yang sudah aku susun dengan sangat baik.
Aku tidak ingin terkecoh olehnya, secuil pun dia tidak akan bisa membuatku tersentuh meskipun baru saja aku melakukannya. Menyadari kedatanganku, wanita itu menyambutku dengan senyuman. Pagi ini setelah sarapan aku berencana mengajaknya pulang dari hotel yang sudah membuatku jengah. Kami, tidak ada percakapan sama sekali selama menikmati sajian dari menu breakfast kami. Hingga akhirnya dia pun membersihkan peralatan makanan.
"Sok kerajinan banget sih, apa dia sedang mencari simpati dariku?" sorotan sengit ku berikan padanya yang tentunya dia tidak sadari.
"Bersiaplah, hari ini akan segera kembali kerumah kita." Untuk kedua kalinya ku awali percakapan setelah mengajak dirinya sarapan.
"Rumah kita?"
"Kenapa? Bukankah benar, rumahku menjadi rumah kita?" Ujarku kala melihat ada keraguan darinya.
"Eh, iya maaf mas," ucapnya kemudian.
Tak lama kami pun meninggalkan hotel dimana kami menginap sekaligus mengadakan resepsinya. Dalam hati aku mengutuk hotel itu dan berjanji selamanya tidak akan pernah menginjakkan kakiku di sini apa pun itu yang terjadi. Ya akan aku kenang selalu hari ini dan seterusnya yang dimulai dari hotel itu.
Entah kenapa perjalanan pulang ke rumah serasa begitu jauh, padahal jarak antara penginapan dengan rumahku hanya butuh 45 menit saja tapi kenapa seperti akan pergi ke luar kota yang membutuhkan waktu berjam-jam. Selain macet mobilku harus sering berhenti karena lampu merah.
Tak habis pikir dengan apa yang dilakukan penghuni bangku sebelahku, tanpa menoleh atau pun meminta ijin terlebih dahulu tiba-tiba dengan seenaknya keluar dari mobil. "Mau apa lagi sih dia?" gerutuku. Ternyata dia menghampiri sepasang lansia sedang menangis pilu. Dari jauh kulihat dia sedikit berbincang sebelum mengeluarkan uang ratusan.
Tatapan mataku masih tertuju pada gadis sholehah di sana, namun tak lama suara klakson berkali-kali membuyarkan fokusku sehingga mau tidak mau ku tarik pedal gas mobilku maju ke depan untuk menghindari rambu lalu lintas.
Di depan sini aku menunggunya. Jenuh karena sudah lima menit dia tak kunjung datang, setan dalam diri menghasut untuk meninggalkannya. Dan tentu saja aku menuruti bisikan jahat dari satu sisi diriku, ku lajukan kembali berniat mengabaikannya. Biarlah dia nanti tidak bisa pulang ke rumah, syukur-syukur kesasar dan hilang dari peradaban. Ah, pasti sesuatu banget bagi cowok keren sepertiku.
"Sok dermawan banget sih dia, duit aja nipis belagu banget pakai ngasih ke orang lain semuanya lagi. Huh, apa dia pikir karena aku sudah memberi kartu debit kepadanya ya makanya dia berani mengeluarkan isi dompet hingga kosong melompong," serasa ditampar kepalaku oleh hal tidak kasat mata aku pun kembali pada jalan kebaikan.
"Tunggu, bukankah itu bagus? Harusnya aku bangga dong memiliki istri dengan jiwa sosial yang tinggi pada sekitar, kepeduliannya pada orang lain memang patut diacungi jempol." Senyuman sedikit tersungging di bibir tipis ini.
Drrtt ddrrrtt ddrrtt
"Mama!" Huh, wanita yang menjadi tumpuan dan segala keluh kesahku menghubungiku. Pasti akan menanyakan menantu kesayangannya.
"Hallo Assalamualaikum, Ma."
"Walaikum salam, sayang bagaimana kalian sudah sampai rumah belum? Tolong mampir dulu kerumah mama bisa gak sayang?" gawat, kenapa mendadak wanita kesayanganku meminta kami untuk melipir ke rumahnya ya! Astaga rencanaku untuk meninggalkannya gagal membuatku harus kembali lagi ke tempat yang tadi guna menjemputnya.
"Memangnya ada apa, Ma? Kami kan pengantin baru Ma, jadi Arvin ingin sekali cepat sampai rumah dan ehem... ." Sengaja hanya deheman tanpa niat meneruskan kalimatnya, semoga saja mama berpikiran seperti dugaanku. Memang aku buat menggantung seolah-seolah kami akan berbulan madu saja di rumah dan tanpa gangguan.
"Oh baiklah Mama mengerti, Mama sudah semakin tua dan berpenyakitan. Tolong segera beri Mama boneka hidup ya biar buat mainan Mama, menemani Mama jika kamu tidak ada." Bisa ku tangkap pasti mama sudah menitikkan air mata, ah mamaku memang melankolis. Sedikit-sedikit menangis, sedikit-sedikit menuntut, namun semuanya tidak mengurangi rasa kasih sayangku untuknya yang teramat besar. Maka dari itu aku rela menuruti permintaan yang membuatku sakit karena harus jauh dari pujaan hati.
It's ok, itu tidak masalah. Sebagai baktiku pada orang tua jika aku disuruh masuk sumur pun akan ku lakukan apa lagi hanya untuk menikah. Walau pun menanggung sesak di dada, aku berusaha sebaik mungkin di depan Mama agar tidak kecewa.
"Doain saja Ma biar kami segera dipercaya untuk memberikan mama boneka hidup itu."
"Pasti sayang, permintaan itu akan selalu ada di setiap bait doa Mama." Sedih karena membohongi Mama seperti ini, tapi harus bagaimana lagi berbohong untuk kebaikan di halalkan bukan? Iya, kebaikan agar Mama tidak sakit hati mengetahui kebenarannya.
"Ya sudah kami sedang di jalan ma, nanti Arvin telfon kembali setelah sampai rumah!" ucapku untuk mengakhiri obrolan yang membosankan ini.
"Mama ingin bicara dengan Alara, tolong berikan padanya!" Aku kelabakan bagaimana mengelabuhi Mama lagi agar tidak memaksa untuk berbicara dengan gadis itu.
"Dia sedang tidur, Ma! Kayaknya masih kecapekan." Fix aku salah ngomong. Ya ampun, pasti mama berpikiran semalam kita sudah bermain kuda-kudaan. Ya Allah kenapa di saat seperti ini lidahku malah keseleo sih, huft ada-ada saja.
"Wah bagus banget kalau begitu, ya sudah Mama tidak akan mengganggu kalian sampai tiga hari kedepan. Jangan lupa kamu minum obat kuatya, biar bisa nambah terus dan membuat Alara cepet hamil deh. Ya Alla, Mama benar-benar sudah tidak sabar pengen gendong cucu apa lagi dari wanita sebaik Alara." Bisa ku dengar suara mama yang begitu bahagia. Mataku berkaca-kaca karenanya, sebesar itu rasa ingin menimang cucu dariku.
Iya Ma, Mama pasti akan segera menggendong cucu tapi bukan dari Alara melainkan wanita lain. Semoga Mama tidak kecewa atas tindakanku ini. Setelah 4 bulan aku akan mengurus semuanya, dan mengabulkan keinginan Mama untuk mendapatkan cucu dariku. Itu janjiku Ma! Dengan siapa pun ibunya nanti yang penting ada hasilnya, cucu.
Selesai bercakap-cakap hal tidak penting, ku putar balik arah mobil menuju lampu merah dimana Alara turun. Mudah-mudahan dia masih berada di dekat situ agar aku tidak kesulitan mencarinya. Dan dari jauh ku lihat gadis dengan tubuh tinggi berkisar 165 memakai jilbab pasmina dengan gamis berwarna kuning kunyit membuat sang empunya badan bertambah istimewa tengah berjalan gontai.
Jarak kami semakin dekat, ketika posisi mobilku di belakangnya, ku klakson sekencang mungkin untuk mengagetkannya. Siapa suruh tadi sudah membuatku kesal saja sama tingkahnya, spontan dia langsung berbalik mungkin penasaran dengan orang yang sudah mengagetkannya. Aku masih santai bertingkah tanpa rasa bersalah.
"Ayo masuk!" gadis yang pintar dia tidak ingin membuatku mengulang perintah lagi, secepat kilat dia pun sudah duduk kembali di bangku samping kemudiku.
Hai kak, jangan lupa untuk koment dan tambah cerita ini ke collection kakak-kakak semua ya. Biar aku semakin semangat menulisnya. Kalau mau memberiku Power stone juga tidak apa-apa hehehehe.