Keduanya memasuki rumah dimana nantinya akan menjadi tempat tinggal mereka. Alara menatap bangunan tersebut penuh kekaguman, berbeda sekali dengan semua tempat tinggal yang pernah dia pakai untuk melepaskan penatnya selama ini. "Ya Allah sungguh indah bangunan ini, tolak belakang sekali dengan bangunan yang menjadi tempat tinggalku selama ini," serunya, namun tentu saja hanya terucap dalam hati, mana punya keberanian dia bersuara di depan Arvin. Selain itu, untuk menjaga harga dirinya dan rasa noraknya.
"Maaf Alara sepertinya kita tidak bisa tidur sekamar, tidak apa-apa kan? Tolong ngertiin aku ya Ra!" Arvin memohon tapi tanpa sepengetahuan Alara, pria itu menyunggingkan sebelah sudut bibirnya tertawa sinis.
"Iya mas, tidak apa-apa kok. Alara tahu, jadi mas tidak perlu merasa tidak enak padaku." Suaminya mengangguk lalu menuntun gadis itu memperlihatkan kamar tepat berada di sisi kanan kamar Arvin.
"Ini kamar kamu, sedangkan yang di sebelah itu kamar aku. Jika kamu butuh sesuatu, kamu bisa panggil aku atau panggil bik Sum. Dia akan memenuhi semua perintahmu." Alara hanya mengangguk dan Arvin keluar menuju kamarnya sendiri. Di balik pintu Arvin tersenyum puas, pasalnya sejauh ini semua berjalan lancar.
"Baik, kita tunggu kamu bisa bertahan sejauh mana sayang?" masih terpampang jelas senyuman liciknya, dia begitu menikmati permainan ini tanpa dia tahu akibatnya nanti kedepan akan seperti apa.
Alara mulai membongkar isi ransel, menatanya ke dalam lemari yang sudah tersedia. Selesai dengan pekerjaannya Alara memilih untuk pergi kedapur berniat untuk membuat makan siang. Di dapur ternyata sudah ada bik Sum yang sibuk memotong sayuran. "Bi!" panggilnya.
"Eh non Alara, ada yang bisa Bibi bantu non? Non butuh apa? Biar nanti Bibi siapkan." Alara menggelengkan kepala seraya tersenyum manis.
"Alara cuma ingin masak untuk makan siangnya mas Arvin Bi!" bi Sum menolak dengan cepat.
"Sebaiknya Nona di sini saja, biar Bibi yang melakukannya karena ini sudah pekerjaan Bibi."
"Tidak Bi! Alara ingin mas Arvin merasakan masakan Alara Bi. Tolong ijinkan Lara bantu Bibi masak ya sekalian beri tahu Alara makanan apa saja yang di sukai oleh mas Arvin," ucap Alara semangat.
"Maaf, Non. Bibi tidak sepenuhnya tahu makanan favorit Tuan karena Bibi juga baru dua minggu di sini dan itu saja Tuan jarang pulang ke rumah. Jadi Bibi belum tahu apa-apa tentang Tuan Arvin," sesal bi Sum mengatakan yang sebenarnya.
"Yah...aku pikir bi Sum tahu, aku ingin berusaha menjadi istri yang baik buat mas Arvin, Bi. Siapa tahu dengan aku memasakkan untuknya bisa membuat mas Arvin ketagihan dan tidak jajan di luar. Bibi kan tahu sendiri makanan di luaran sana tidak higinis, yah meski pun di restauran tapi tetap saja kebersihan dan kesehatannya tidak akan pernah bisa menandingi masakan rumahan."
Bi Sum terperangah mendengarnya. Jika di tempat orang lain seorang gadis cantik hanya bisa merawat dirinya tanpa mau repot-repot berurusan dengan dapur bahkan seperti ada duri jika harus berkutat dengan semua bumbu dan sayur mayur, belum lagi daging, seafood, ayam dan sejenisnya pasti sudah membuat mual perutnya. Begitulah pikiran sempit sang Bibi mengenai orang kaya nan cantik.
"Wah beruntung sekali tuan Arvin mendapatkan istri seperti nona Alara. Sudah cantik, baik, rajin pula. Jarang loh Non ada orang kaya yang mau susah payah untuk bertempur di dapur dengan wajan dan spatula." Gadis itu semakin terkekeh.
"Bibi bisa saja, memangnya biasanya seperti apa orang kaya?"
"Ya seperti yang saya katakan tadi Non, kalau orang kaya itu paling anti sama yang kotor-kotor begini. Tinggal tunjuk, tinggal panggil, dan tinggal teriak aja semua sudah langsung tersedia tanpa perlu susah-susah membuatnya sendiri." Masih terangkatnya kedua sisi sudut bibir Alara, gadis itu menarik lengan bi Sum untuk segera memasak. Takut jika sampai suaminya turun terlebih dahulu sebelum masakannya selesai.
Dalam keadaan hening suara, namun rame dengan pertukaran nada antara spatula sama wajan, serta bunyi air mendidih Arvin sudah berada di belakang antara majikan baru dengan asistennya. Lamat Arvin mengamati setiap gerakan badan istri barunya itu, ternyata selain cantik dia jago masak tapi entah seperti apa rasanya tentu akan dia nilai setelah makan.
Menyadari Tuannya datang, bi Sum wanita tua renta itu hendak melontarkan sapaan tapi jari telunjuk kanan Arvin sudah bergerak tepat di depan bibir pria itu sendiri menandakan untuk diam. Tidak ingin mengganggu bosnya, bi Sum mengambil ancang-ancang akan pergi dan tentunya segera diberi jalan oleh pemuda tampan yang merangkap sang tuan rumah.
Masih setia sama tatapannya ke depan, tanpa sadar kedua tangannya melingkar ke perut Alara setelah tubuhnya dalam jarak dekat dengan gadis cantik itu. "Argh...," pekik Alara terkejut merasa ada tangan melingkar di perutnya.
"Shuuuutttt diamlah, aku ingin melihat kelihaianmu dalam memasak." Alara langsung membalikkan kepalanya mengadap ke belakang.
"Mas, astagfirullah Mas! Lara pikir siapa? Maaf tadi jika membuat bising telinga Mas," ujar Lara tak enak.
"Tidak apa, aku juga minta maaf karena sudah mengagetkanmu." kecupan kecil Arvin berikan kepada Lara yang membuat si gadis pastinya melayang. Jangan ditanya bagaimana perasaan Alara sekarang, sudah pasti sulit untuk dijabarkan.
"Mas! Lebih baik Mas duduk saja di kursi sana!" Gadis itu menunjuk meja makan. "Setelah selesai, segera kubawa ke ruang makan agar kita bisa segera makan malam.
"Baunya wangi sekali, aku jadi tidak sabar ingin mencicipinya. Andai saja aku tidak impoten mungkin saja nanti malam aku juga bisa mencicipimu." Blush....pipi Alara seketika berubah merah, dirinya salah tingkah dengan ucapan bar-bar dari suaminya. Arvin tersenyum devil mengetahui raut wajah Alara.
"Sudah ah Mas, cepetan duduk dulu sana, sebentar lagi selesai kok," tanpa menunggu perintah kesekian kalinya Arvin menurut, sudah lama tidak menghubungi kekasihnya pria itu segera meraih gawai dan berchat ria mungkin setelah drama makan dia akan segera menghubungi sang kekasih hati.
Sepuluh menit kemudian Alara datang membawa menu yang sudah matang ke meja dimana suaminya duduk dan fokus dengan benda pipihnya. "Ehem," Arvin mendongak lalu memperlihatkan deretan giginya yang rata, putih bersih. Selalu saja tingkah Arvin membuat Alara mati kutu dengan segala yang ada di tubuh suami perfectnya.
Tuhan memang maha adil, bertahun-tahun lamanya dia menderita tapi sekarang jauh dari sekedar impiannya. Dia mendapatkan kenikmatan luar biasa yaitu kehidupan yang lebih layak juga suami yang begitu sempurna.
Sempurna? Tidak, Arvin memiliki kekurangan. Siapa pun wanita yang mengetahui kekurangannya pasti akan menolak untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Mereka akan mencemooh dan menganggap pernikahan dengan penderita impoten hanya sebuah lelucon semata, tidak ada masa depan cerah atau pun impian setiap insan dalam mencari jannahnya lewat sebuah pernikahan.
Hai kak, yuk jangan lupa setiap membaca beri aku komentar nya agar bisa memperbaiki tulisanku, jangan lupa juga untuk menambahkan kedalam collection kalian ya agar saat update akan ada notif di hp kakak semua. terima kasih.