Pov Arvin
Aku sungguh puas melihat wajah cantiknya yang berubah pias mendengar kata-kataku. Ini baru awal mula, setelah malam ini berlalu akan aku buat dia mencintaiku lalu kuhempaskan dirimu bak sampah yang tidak perlu didaur ulang. Seringaian tercetak jelas dikedua sudut bibirku, tunggu saja permainanku.
Aku memang tidak terlalu percaya jika wanita yang sudah menyandang status sebagai istri Arvin Mahaprana adalah wanita yang selalu dielu-elukan kebaikannya oleh Mama. Meski pun aku tahu jika memang dia rela berkorban besar untuk kesehatan mama dan aku terima kasih untuk itu. Akan tetapi, aku bukan pria bodoh yang mudah percaya dengan perbuatan baik orang lain. Tanpa imbalan apa pun? Sungguh mustahil.
Hidup sangat keras, beberapa tahun hidup mandiri dan tinggal di Negara orang membuatku sedikit banyak mengetahui berbagai karakter dari setiap individu. Jadi jangan salahkan aku jika aku menaruh curiga padanya. Pesta meriah? Tentu saja semua ini keinginan Mama, sedikit pun tidak ada niat aku mengadakan resepsi semegah seperti saat ini. Ya, demi mama dan demi menebus kesalahanku karena lama meninggalkan Mama seorang diri sehingga membuatku tidak mengetahui penyakit yang tengah dideritanya selama ini.
"Jangan tegang begitu, maaf aku hanya bercanda." Wajah yang terlihat kaku berangsur santai, senyum yang sempat hilang mulai terlihat walau tipis. Sepertinya dia masih sedikit risih berada di sampingku setelah mendengar ucapanku tadi.
"Aku akan membahagiakanmu," lanjutku. Seketika tatapan kami berserobok mengunci rapat. Entah ada apa dengan dadaku? Aku merasa ada gelenyar aneh kala netra itu menatapku sendu.
"Hei jangan menangis, bukankah ini hari bahagia untukmu?" alih-alih menjawab pertanyaanku, kepalanya malah tertunduk dan bisa ku lihat setetes air mata lolos begitu saja.
"Yes, semoga saja itu air mata kesedihan dipermulaan," batinku dengan lirikan melecehkan.
"Terima kasih, Mas." Aku salah, ternyata air mata bahagia. Sial! Aku belum bisa membuatnya sedih, ok lah tunggu saja, aku akan buat kejutan untukmu atas sikapku.
Keluar dari kamar mandi, aku masih melihat Alara tidak lelah memantulkan dirinya dihadapan cermin. Entah, apa yang sedang dipikirkan olehnya? Apa mungkin dia membayangkan jika malam ini akan menjadi malam berkesan bagi kami? Oh sorry, mimpimu jangan terlalu tinggi Alara. Semua angan terindahmu akan hancur bersamaan dengan sikapku.
"Ehem." Aku berdehem mencoba mengalihkan perhatiannya, dan benar saja gadis bodoh itu menoleh ke arahku malu-malu. Astaga siapa yang dia pameri dengan muka berseri seperti itu, bahkan melihatnya saja aku muak. Ingin sekali pergi tanpa melihatnya namun tunggu, aku harus menahan rasa benci dan amarahku dalam kurun waktu yang cukup hingga saatnya tiba nanti.
"M...mas su...sudah selesai."
"Hem, cepatlah bersihkan dirimu." Setelah mengangguk, Alara memilih segera memasuki kamar mandi, tak lupa baju ganti yang sudah dia pegang sedari tadi.
Aku tahu dia sudah keluar dengan kimono panjang dan jilbab instannya berwarna senada, sengaja aku tidak melihatnya. Dari ekor mataku, bisa ku tangkap jika dia tengah bingung antara mendekat atau memilih menghindar. Hingga 10 menit berlalu ku biarkan dia dengan tubuhnya yang memaku di depan kamar mandi.
Lama-lama kasihan juga, ku lihat dia sudah gemetaran kala berdiri sejak tadi. Ingin sekali aku tertawa terbahak melihat tingkahnya namun ku tahan jangan sampai kelepasan agar semuanya berjalan lancar.
"Kenapa kamu berdiri di situ saja? Tidakkah kamu ingin duduk disebelahku?" Alara melangkah dan duduk tepat disisiku, ini saatnya kumulai beraksi.
"Ada yang ingin aku sampaikan padamu." Ku tatap intens sorot mata gadis di depanku yang juga menatapku.
"A...apa mas?"
"Tolong kamu jangan kecewa ya!" Dia mengangguk. Ku mulai wajah tampanku berdrama sesedih mungkin, biar bisa lebih meyakinkan lagi.
"Maafkan aku, sebenarnya aku memiliki penyakit. Apa kamu akan meninggalkanku jika kamu tahu penyakit apa yang ku derita selama ini?" Dengan mantap, dia pun menggelengkan kepalanya.
"Sebenarnya aku adalah pria impoten." Tepat dugaanku, wanita itu terkejut bukan main. Namun detik berikutnya dia berusaha tegar dan tersenyum. Mungkin saja maksud dia, supaya diri ini tidak sedih dan dia bisa menerimaku apa adanya. Seperti itu yang aku tangkap dari perubahan muka gadis sok polos itu.
"Maaf jika aku tidak bisa menafkahi batinmu, tapi aku akan bertanggung jawab penuh dengan menafkahi lahirmu." Ku ambil benda tipis berwarna gold dari dompet dan menyerahkannya. Tarik ulur bagai tali, dia agaknya ragu menerima kartu yang ku berikan. Bukan Arvin namanya kalau tidak bisa membuat lawan menerima semua permainanku.
"Mas tidak perlu begini, aku masih punya gaji tiap bulan dan itu cukup untuk kebutuhanku sehari-hari," ucapnya percaya diri. Tentu saja, sebenarnya aku pun tidak ikhlas memberikan kartu itu padanya. Akan tetapi, aku teringat dengan ucapan Mama bagaimana tugas suami terhadap istri. Salah satunya menafkahi lahir yaitu memberi kecukupan dia dari segi pangan dan pakaian. Jika itu aku langgar sudah tentu neraka jahanam jaminannya.
Baiklah untuk satu itu aku pun tidak masalah, tinggal aku transfer setiap bulannya sepuluh juta dan kurasa itu cukup untuk ukuran wanita sederhana sepertinya. Tapi jangan harap aku bisa menyentuhnya sehingga menghasilkan cucu bagi Mamaku, aku hanya akan memberi orang tuaku cucu tapi dari wanita yang sangat aku cintai. Akan aku tanggung dosa untuk tidak menafkahi batinnya walau neraka yang lain jaminannya.
"Tidak, kamu berhak mendapatkannya karena itu sudah menjadi hak kamu dan untuk hak yang lain sekali lagi maaf aku tidak bisa memenuhi. Sekarang apa kamu masih mau mendampingiku sampai tua nanti? Relakah kamu jika tidak memiliki anak? Dan apa kamu siap dengan semua gunjingan orang yang tidak menutup kemungkinan suatu saat pasti akan kamu terima?"
"Aku siap Mas, Mas kan suamiku sekarang. Baik suka mau pun duka, aku akan selalu ada bersamamu. Kita bisa mengadopsi anak jika itu yang mas khawatirkan, dan aku tidak akan pernah menuntun nafkah yang satu itu. "Munafik, batinku berteriak kata demi kata yang keluar dari bibirnya. Kenapa dia tidak langsung meminta pisah saja sih? Rasanya tidak tahan aku berlama-lama dalam jarak sedekat ini dengannya, sial.
"Baiklah, terima kasih atas pengertianmu. Kamu bisa meminta apa pun padaku dan berkeluh kesah denganku. Meski pun aku tidak akan meminta hakku, tapi sebisa mungkin aku akan memberi semua perhatianku untukmu."
"Terima kasih banyak, Mas."
"Oya, tolong kamu simpan semua ini. Jangan beri tahu Mama tentang penyakitku, aku tidak ingin Mama kecewa." Alara mengangguk.
"Sekarang kamu tidurlah dulu! Aku mau keluar sebentar karena ada kolega yang memintaku untuk menemaninya minum di bar hotel ini!" Aku segera beranjak dari tempat tidurku, menghilang karena tidak tahan melihat raut muka gadis yang kini sudah menjadi istriku.
Hai kakak semua, jika kakak menyukai ceritanya, ayo donk tambahkan buku ini kedalam rak buku kakak2 semua jadi saat aku update, akan ada notif pemberitahuan di hanphone kak. Ya ya ya, jangan lupa beri aku api juga ya peyuk sayang dari aku kaka semua