Chereads / SEBATAS ASA / Chapter 5 - Memulai Penyelidikan

Chapter 5 - Memulai Penyelidikan

"Saat sudah diperbolehkan pulang, aku ingin butik yang menghandle semua nanti kamu saja, ya! Termasuk yang menangani keluar masuknya uang butik. Ibu percayakan semua itu padamu." Alara tercengang, bagaimana bisa bosnya menyuruh dirinya untuk memegang semua yang ada di butik sekaligus masalah keuangan butik? Bisakah ini di sebut dengan keberuntungan atau sebuah harga ginjal?

Alara bergeming tanpa ingin menimpali ucapan bosnya, pikirannya langsung mengingat keinginan Erina untuk dia mau menikah dengan putra semata wayangnya. "Maaf bu Erina, bisakah saya minta sesuatu?" ucapnya ragu.

"Minta apa? Selama saya bisa memberikannya pasti akan saya serahkan untukmu."

"Bu Erina, saya mohon tolong batalkan niat Ibu untuk menjodohkan saya dengan putra Ibu?" Tatapan Erina kini berubah menjadi nanar.

"Kenapa? Apa kamu tidak menyukai putraku?"

"Bukan begitu Bu. Hanya saja kita harus memahami keadaan tuan Arvin. bisa saja tuan Arvin sudah memiliki gadis yang ingin dinikahi, mu..ng..kin." Alara merasa tidak mampu mengucapkannya, namun harus dia lakukan agar tidak ada kesalahan dimasa depan.

"Kamu tenang saja, putraku belum memiliki calon. Aku yakin dia pasti mau menuruti permintaan Mamanya karena dia sangat menyayangiku." Helaan nafas berat terdengar dari gadis itu, rasanya akan sulit memberi pengertian pada wanita dihadapannya ini.

***

Ansel memulai penyelidikan setelah mendapat titah dari sepupunya. Tidak ingin membuang waktu, hari ini pria blesteran Indonesia Yaman itu mendatangi beberapa teman kerja calon istri sahabatnya. Mereka justru bahagia dan dengan mudah memberi segala hal berkaitan dengan Alara tanpa menaruh curiga. Hingga tempat terakhir yang menjadi tujuan meraih informasi adalah disini, Rumah Sakit dimana Erina dirawat serta saksi akan pendonoran ginjal gadis itu.

Sungguh kerja yang bagus patut disematkan untuk Ansel. Sebuah penghargaan juga harus di berikan kepadanya, karena kurang dari 48 jam, Ansel sudah mendapat apa yang Arvin mau lengkap tanpa ada yang kurang. Kembali keduanya mengadakan temu janji disebuah cafe tempat mereka bertemu kemarin.

"Ini informasi yang kamu inginkan, semua lengkap tanpa ada yang tertinggal." Arvin menerima map coklat dan mulai membukanya. Berulang kali ia bolak balik kertas dimana bagian itu memberitahukan tentang fakta jika Alara telah mendonorkan ginjalnya demi menyelamatkan nyawa Erina, wanita yang begitu dia hormati dan cintai pertama kali.

"Aku tidak menyangka, di dunia ini ternyata masih saja ada sosok malaikat tak bersayap selain orang tua," Ujar Ansel dengan nada suara penuh kekaguman. "Dia bahkan mempertaruhkan dirinya sendiri demi orang lain tanpa meminta imbalan sama sekali," lanjutnya.

"Aku yakin ada udang dibalik batu," sangkal Arvin tidak suka.

"Jangan suudzon bro, coba untuk husnudzhon."

"Halah, lagumu sudah kayak orang yang pandai agama saja. Sok ceramah padahal sholat aja bisa di hitung dalam setahun," cela Arvin kesal.

"Aku kan hanya mengingatkan! Tapi memang benar lo bro, dia bisa masuk dalam acara Hot Spot dengan kategori lima manusia berhati malaikat." Arvin memutar bola matanya malas, mulutnya pun terkatup rapat tidak ingin lagi menimpali ucapan sepupunya walau dalam hati dia membenarkan setiap kata yang keluar dari bibir Ansel.

"Mungkinkah karena ini Mama meminta ku untuk menikahi gadis sederhana itu?" Tanyanya dalam hati, pikiran melayang mengingat pertemuannya dengan Alara. Sebenarnya dia gadis yang santun dan solehah, parasnya pun menarik dengan kulit khas orang Asia, bahkan bisa terbilang kecantikannya hampir sempurna. Sungguh sangat tepat dan sesuai selera Arvin. Mamanya memang pandai dalam segala hal bahkan sampai jodoh anaknya saja tidak pernah salah. Tapi sayang, hati seorang Arvin Mahaprana sudah terpaut oleh gadis keturunan Arab Turki. Sehingga begitu susah hatinya menerima kehadiran wanita lain karena Arvin tipe orang yang setia dan tidak mudah jatuh cinta.

"Woy, malah bengong. Bagaimana menurutmu? Sangat cocok 'kan bila bersanding denganmu? Bagiku Alara adalah kandidat terbaik yang dipilih oleh Mamamu untuk menjadi pendamping, aku sangat setuju dengan keputusan tante Erina."

"Aku tidak tahu, akan kupikirkan lagi nanti." Arvin menutup map yang di terimanya lalu menyimpan ke dalam tas ranselnya yang suka dibawa kemana-mana.

"Andai saja aku yang disuruh menikahi Alara, sudah tentu tanpa banyak berpikir pasti langsung aku setujui." Angan Ansel dan mendapat tatapan sinis dari sepupunya.

"Otak kamu itu hanya memikirkan wanita dan wanita saja, lebih baik kamu pilih satu yang terbaik lalu nikahi. Tobat sob sebelum terlambat. Jangan sampai nunggu sakit keras terus mati, baru akan menyesal kamu nanti!" seru Arvin menyadarkan.

"Aku akan menikah jika ada perempuan seperti Alara, ya paling tidak hampir mirip lah dengannya." Matanya bergerak-gerak seperti berfikir. "Apa Alara aku saja ya yang menikahinya, biar dia bahagia. Aku yakin bisa membuatnya menjadi wanita yang paling beruntung karena bisa hidup di dunia ini dengan pangeran tertampan sepertiku," ujar Ansel tanpa merasa berdosa.

"Mimpi saja sana!" Sebuah centilan mendarat indah di kening Ansel sebagai hadiah atas perkataannya dari Arvin. Arvin pun berdiri meninggalkan dirinya dengan imajinasi liarnya.

"Seandainya tawaran itu diberikan padaku, tentu saja aku langsung menerimanya tanpa banyak berpikir sepertimu Arvin." tatapannya nanar memandang punggung Arvin yang semakin menjauh dan hilang dibalik pintu cafe.

***

Alara sudah diperbolehkan pulang, sedangkan Erina masih harus istirahat untuk pemulihan beberapa hari lagi. Sebelum meninggalkan Rumah Sakit, dia menemui Erina terlebih dahulu. "Assalamualaikum bu Erina."

"Walaikum salam," ucap dua manusia barengan dan tentu membuat Alara terkejut, dia tidak tahu jika Arvin tengah berada di ruangan Erina. Dirinya belum siap untuk bertemu lagi dengan pemuda itu setelah pertemuan terakhirnya yang terkesan dingin serta ketara sekali menunjukkan rasa tidak suka pada dirinya.

"Masuklah Alara, duduklah di samping Ibu." menarik kursi yang berada sedikit jauh dari posisi berbaring Erina, Alara meletakkan tepat sejajar dengan tubuh wanita paruh baya itu disisi kiri, sedangkan Arvin memang sudah menggenggam tangan Erina pada sisi kanan.

"Bu, saya mau bilang jika saya akan pulang hari ini. Mungkin untuk beberapa hari ke depan saya tidak bisa datang berkunjung. Saya merasa sudah tidak diperlukan lagi disini karena sudah ada Tuan yang menemani Bu Erina jadi saya merasa tenang."

"Tidak apa-apa Alara, Ibu mengerti kamu memang butuh istirahat yang cukup agar kesehatanmu tidak menurun." Erina menggenggam tangan Alara juga Arvin lalu menyatukan kedua tangan tersebut di perutnya.

"Saya hanya ingin jawaban yang pasti dari kalian berdua, apakah kalian mau menikah demi saya?" Sesaat kedua manik mata Alara menatap takut-takut ke arah Arvin yang ternyata juga tengah menatapnya tajam.

"Arvin, Alara tolong jawab! Bersediakah kalian menikah demi saya?" Alara menundukkan pandangannya, lebih baik biar lelaki itu dulu yang menjawab dan dia akan mengikutinya saja.

"Ma, Arvin setuju." Alara mendongak memastikan apa yang dia dengar barusan.

"Kamu setuju nak?" Arvin menatap lekat netra Alara.

"Iya, Arvin setuju." Mulutnya mengatakan iya namun ucapan yang keluar terkesan seperti terpaksa menerima dirinya, lagi-lagi Alara lebih memilih menundukkan kepala tanpa berniat untuk menjawab.