Chereads / MARRIAGE BRINGS HATE: BALAS DENDAM ISTRI / Chapter 11 - CINTA YANG TIDAK PERNAH HILANG

Chapter 11 - CINTA YANG TIDAK PERNAH HILANG

Perbincangannya tadi bersama Jane membuat rasa lelah pria itu sedikit hilang sehingga kini David memutuskan untuk memanggil sopirnya untuk datang kemari.

Beberapa saat kemudian seseorang pun datang mengetuk pintu ruangannya membuat David langsung beranjak dari duduknya berjalan mendekati kaca.

"Masuk!"

Seorang pria dengan pakaian serba hitam sembari menunduk pun datang lalu mendekat ke arah David yang saat ini membelakanginya.

"Tuan muda memanggil saya?"

"Ya, tolong buatkan aku sesuatu untuk makan siang. Aku ingin kau yang memasaknya untukku."

Mendengar itu membuat sang sopir tersenyum. Ia menganggukkan kepala meskipun David tidak akan melihatnya sehingga dirinya kini kembali berbicara.

"Baiklah, saya akan kembali lagi nanti."

"Ya sudah, sekarang kau boleh pergi," ujar David lalu memutar tubuhnya ke belakang. Ia melihat seorang pria yang sudah lama menjadi sopir dan menemani dirinya baru saja berlalu pergi dari ruangannya tersebut.

David tersenyum. Padahal pria itu bisa saja memesan makanan yang mungkin lebih cepat untuk didapatkannya, akan tetapi ia lebih memilih untuk menunggu masakan dari sopirnya tersebut.

Masakan pekerjanya yang satu ini lebih enak daripada restoran mana pun, maka dari itu David menginginkan sopir tersebut untuk membuatkan makanan untuknya siang ini.

***

Seorang gadis sedang berada di dalam kamarnya. Ia baru saja selesai mandi lalu tidak sengaja dirinya melihat ponselnya yang berdering membuatnya yang mengetahui hal tersebut langsung menghela nafas sembari berjalan mendekati benda tipis itu.

"Ada apa kau menghubungiku?"

"Hey, kau sangat kasar sekali. Aku hanya ingin menanyakan kabarmu saja."

Gadis tersebut yang mendengarnya langsung menghela nafas sejenak sebelum akhirnya kembali berbicara.

"Baik, sudah kan?"

Seorang pria di seberang sana mendengus geli setelah mendengar jawaban dari seorang gadis tersebut.

"Kau tidak ingin menanyakan kabarku, Nona?" tanyanya dengan satu alis yang terangkat.

"Untuk apa?"

"Aku merindukanmu," ujarnya pelan. "Bahkan, kau tidak merindukanku."

"Aku memiliki nama, jangan memanggilku Nona!" Gadis itu menghela nafas beratnya tersebut. "Namaku, Nathalia."

"Tapi aku sudah terbiasa memanggilmu dengan sebutan seperti itu, bagaimana?"

Mendengar itu membuatnya yang mengetahui hal tersebut langsung menghela nafas sejenak sebelum akhirnya memijit pangkal hidungnya seketika.

"Terserah kau saja, aku sudah lelah memperingatkanmu."

"Baguslah, jadi sekarang aku bisa memanggilmu Nona tanpa harus mendengar kekesalanmu lagi."

"Tetap saja aku kesal terhadapmu!"

Seorang pria yang berada di seberang sana pun menyunggingkan kedua sudut bibirnya tersenyum.

"Nona, aku baru saja kembali dari rumah sakit."

"Sedang apa aku di sana?" tanyanya dengan kening yang berkerut. "Bukankah aku sudah mengatakan kepadamu untuk tidak menemuinya?"

"Apa salahnya jika aku menemui ibumu, hah? Aku peduli padamu dan ibumu, Nona."

"Tapi aku tidak butuh kepedulianmu itu."

Ini sudah terlalu biasa bagi seorang pria yang satu ini. Ia menghela nafas sejenak sebelum akhirnya dirinya menyunggingkan kedua sudut bibirnya tersenyum mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh gadis itu kepadanya.

"Aku merindukannya, Nona," ujar pria itu. "Maka dari itu aku datang menemuinya, dan seharusnya kita sudah menikah sekarang."

Gadis tersebut yang mendengarnya pun langsung menghela nafas sebelum akhirnya menundukkan kepala dengan kedua matanya yang berkaca-kaca.

"Maafkan aku," ujarnya pelan. "Ini semua salahku."

"Hey, kau tidak perlu meminta maaf seperti itu, Nona. Aku sama sekali tidak pernah merasa bahwa ini adalah kesalahanmu, karena bagaimanapun juga ini adalah takdir, kita hanya harus menunggu saat itu tiba saja."

"Tetapi aku tidak bisa menghilangkan rasa bersalahku ini sampai kapan pun."

Keadaan yang mengharuskan mereka tetap sepakat menunggu sosok yang begitu dicintainya sehingga kini Nathalia menghela nafas sejenak dengan satu tangannya yang menggaruk keningnya yang tidak gatal.

"Cukup, jangan sampai kau semakin berlarut, Nona. Aku menyukaimu, jadi kau tidak perlu meragukan perasaanku lagi, karena perasaanku terhadapmu tidak pernah hilang."

Meskipun sebenarnya pria itu tahu bahwa Natha masih merasa bersedih atas kejadian semua ini. Ia menahan gadis tersebut untuk tidak membalas dendam karena dirinya yang merasa khawatir akan terjadi sesuatu kepadanya jika seandainya Natha melakukan semuanya sendiri.

"Aku sama sekali tidak meragukanmu, tapi … aku merindukan ibuku."

Natha menundukkan kepalanya dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca, gadis itu sudah berusaha mati-matian untuk menahan tangisnya itu, akan tetapi tidak berhasil membuatnya yang mengetahui hal tersebut langsung menghela nafas seketika.

"Hey, kau menangis?" tanya seseorang di seberang sana. "Jangan bersedih atau aku akan menemui ke sana sekarang juga."

"Tidak, aku tak menangis sama sekali," ujar Natha yang kini kembali menghapus air matanya. "Kau lebih baik urus saja pekerjaanmu."

"Aku tahu kalau kau sedang berbohong, Nona Natha."

Suasana pun seketika hening dengan Natha yang saat ini langsung terdiam mematung di tempatnya setelah mendengar suara yang begitu familier masuk ke indera pendengarannya tersebut sehingga membuatnya yang mengetahui hal tersebut langsung menghela nafas seketika.

"Nona," panggil seseorang di belakang sana. Sedangkan Natha saat ini menundukkan kepala dengan kedua mata yang terpejam karena tidak mampu membendung kesedihannya lagi sehingga membuat pria tersebut yang melihat kedua pundak gadis itu bergertar pun langsung mendekat dan membawanya ke dalam pelukan.

"It's okay, Natha. Ibu pasti baik-baik saja, bersabarlah, dia pasti akan segera sadar."

"I miss her," gumam Natha dengan suara seraknya itu. "Aku merindukan semua tentangnya, dan aku … kesepian."

Pria tersebut yang mendengarnya pun langsung menghela nafas, bahkan pelukannya dipererat hanya untuk menenangkan seorang gadis yang bersamanya saat ini. Ia mengusap punggung Natha dengan penuh kasih sayang, dirinya benar-benar merasa khawatir dengan gadis yang satu ini.

"Kau tidak pergi ke sana lagi, kan?" tanyanya dengan kedua alis yang terangkat. "Jangan pergi ke sana sebelum aku yang menyuruhnya, Nona."

"Bisakah kau berhenti memanggilku Nona? Aku merasa tidak pantas, sebut saja namaku Natha."

Pria itu terkekeh kembali ketika ternyata gadis tersebut masih saja kesal terhadapnya. Ia menghela nafas sejenak sebelum Akhirnya dirinya menganggukkan kepala dan berkata, "Baiklah, Nona Natha."

Terdengar suara decakkan dari seseorang yang berada dalam pelukannya tersebut membuatnya yang mengetahui hal tersebut langsung terkekeh.

"Maksudku, Natha," lanjut pria itu.

Suasana kembali hening dengan kedua insan tersebut yang saat ini sedang menikmati pelukan nyaman yang diciptaka oleh satu sama lain sehingga tidak terasa kini sudah hamper malam.

"Natha," panggilnya tersenyum. "Kau ingin tidur?"

"Ya, aku sudah mulai mengantuk," jawab gadis itu. "Bisakah kau menemaniku sebelum kembali lagi ke rumahmu?"

Mendengar itu pria tersebut langsung menganggukkan kepalanya sehingga kini ia pun menggendong Natha dan dirinya bawa ke dalam kamar untuk dibaringkannya di atas tempat tidur layaknya pengantin. Sedangkan Natha yang diperlakukan seperti itu pun tersenyum memandang wajah pria yang berada di hadapannya saat ini dengan begitu tulus.

"Aku mecintaimu."

"Aku lebih."