"Apa katamu, dinner?!" tanya Diana yang mencondongkan wajahnya ke depan. Mendekatkan telinganya ke telinga Gibran.
"Modus ingin dekat-dekat iya kan?Bilang saja, aku wangi dan mempesona, iya kan?" Gibran terus bertanya dan menggoda Diana.
"Kamu ini benar-benar tidak nyambung ya!" Diana terlihat sangat kesal dengan semua perkataan Gibran.
"Aku tidak butuh pelantara untuk menyambung perkataaku. Aku hanya butuh. Aku dan kamu untuk menyambung menjadi satu." Gibran melihat ekspresi wajah Diana dari spion motornya.
"Bilang saja dalam hatimu kamu sangat bahagia kan?! Jarang-jarang lho ... aku mau membonceng gadis."
"Jika kamu tidak menyelamatkanku. Mana mungkin aku mau," jawab Diana. "Menolong dengan ikhlas itu tidak meminta imbalan sama sekali."
"Setelah menolong seseorang dan dalam hati ada uneg-uneg mending aku sampaikan saja. Keinginanku. Kamu biasa makan warung di pinggir jalan tidak?! Secara kamu kan adiknya pemilik perusahaan Gold Star. Nanti makan sembarangan, di pinggir jalan, sakit perut, 'kan jadi repot," ujar Gibran.
"Aku sama sekali tidak masalah makan, makanan pedagang kaki lima atau warung di pinggiran jalan."
"Oke. Ayo kita buktikan." Gibran menghentikan motornya, di warung mie ayam di pinggir jalan. Diana turun, Gibran juga turun. Diana terlihat kesusahan melepas helmnya.
"Modus kan ... biar dibantu?" Perkataan Gibran membuat Diana menolak bantuannya.
"Aku bisa sendiri!" Dia memalingkan wajahnya berusaha melepaskan. Gibran tersenyum menatapnya.
"Sudah ... nggak usah gengsi, sini aku bantu." Gibran mengarahkan dagu Diana ke hadapanya. Dia sedikit merunduk, kemudian Diana dengan perasaan yang aneh menaikkan wajah tidak berani menatap Gibran.
Tokkk!
"Ah ...!" teriak Diana merasakan sakit di tenggorokan nya. Karena ulah kejahilan Gibran yang menyentil leher Diana. Diana melirik kesal.
"Maaf ...." Gibran tersenyum, Diana dengan segera menarik kursi. Duduk dengan diam tanpa kata. Gibran mengamatinya saat memesan. Diana masih menyentuh lehernya. Gibran segara menghampiri Diana.
"Apa sakit banget?" Gibran menarik kursi di depan Diana.
"Sudah tahu pakai nanya!" jawab Diana sangat ketus.
"Aku kan sudah minta maaf. Baiklah ... aku yang nlaktir." Gibran menatapnya dengan menumpangkan wajah di atas kedua telapak tangannya, yang berada di meja.
"Jujur, aku tidak mengenal kamu. Kamu ini siapa sih?!"
"Aku orang satu kampus denganmu."
"Oh ... kamu cowok yang sok keren biasanya itu? Yang suka memakai earphone. Iya ... kan. Jujur aku baru mengamati wajahmu kali ini." Diana menatapnya kontak mata terjadi.
"Ah bohong kan kamu. Bilang saja kamu pura-pura lupa, bilang saja dari kejauhan. Hap."
Diana yang kesal menutup mulut Gibran dengan tahu Asin yang berada di meja. Gibran mengunyah nya sambil terus mengamati wajah Diana yang sangat cantik ketika terpancar cahaya lampu yang kuning. Diana merasa salah tingkah ketika pemuda itu tidak ada di mengamatinya.
'Kenapa dia menatapku seperti itu? Dasar cowok aneh. Kenapa aku tidak nyaman sekali, ada perasaan aneh di dalam hatiku,' batin Diana.
"Salah tingkah ya ... ya kan," ledek Gibran. Diana mengambil tahu kemudian memasukkan ke mulutnya.
"Wow ... Aku tidak menyangka loh." Gibran benar-benar tidak menyangka jika Diana mau makan, makanan jalanan.
Mata Diana tertuju kepada bocah kecil yang sedang membawa kotak makan. Dia berdiri, tatapan tajam yang terpaku, membuat Gibran menelusuri apa yang dilihatnya. Diana berlari sekuat tenaga dan Gibran menyusulnya.
Tinnn!
Tinnn!
Bunyi klakson mobil dari kedua arah berlawanan. Mata Gibran semakin terbelalak, langkah Gibran semakin panjang dan cepat.
"Diana ...!"
Bruggg!
Gibran berhasil menyahut tubuh Diana dan anak itu sampai mereka berguling. Napas mereka ngos-ngosan.
"Heh ... heh ... kamu gila?!" Gibran malah membaringkan tubuhnya ke tanah. Sambil mengeluarkan nafas cepat berurutan.
"Kamu tidak apa-apa kan Dek? Tidak ada yang luka 'kan?" Diana malah menunjukkan perhatian lebih kepada bocah kecil yang diselamatkan nya. Gibran yang terluka lenganya, sama sekali tidak direspon oleh Diana.
"Kamu lapar, makan yuk?!" Diana malah mengajak bocah kecil itu. Gibran semakin terkejut dan lemas.
"Yuk ... kita makan, sekalian saja satu desa kamu ajak." Gibran bangun tanpa bantuan. Diana menatapnya aneh.
"Bener kata Kakak itu. Aku tidak bisa makan kalau saudara-saudaraku belum makan," jawab bocah kecil itu.
"Kalau begitu Kakak akan memberikan makanan yang sangat banyak untuk kalian. Setuju kan Bran!"
"Sok akrab kamu. Memang kamu siapanya aku," jawab Gibran ketus. "Mengambil kesempatan untuk makan berdua, malah dia mengundang anak-anak jalanan. Nasib ... nasib," gumam Gibran.
"Berbagi itu indah. Banyak kesempatan untuk bersamaku. Bilang saja kalau kamu pengagum rahasia aku, ya ... kan! Buktinya saja langsung ajak aku dinner, mau mengantar aku pulang, meminta nomor ponselku. Iya kan ...?" ledek balik Diana yang lalu melihat jalanan sepi.
Dia menggandeng tangan Gibran dengan tangan kanannya dan menggandeng tangan bocah itu dengan tangan kirinya. Gibran tidak berhenti menatapnya ketika Diana terus menggandeng tangannya sampai ke warung seberang.
"Aku sadar, aku cantik banget 'kan? Sampai-sampai kamu tidak melepaskan pandanganmu," ledek Diana. Gibran membuang wajah ke arah lain dan tersenyum. Pemuda itu hanya menggaruk kepala belakangnya, memperlihatkan kalau dia salah tingkah.
"Adik teman-temannya ada berapa?" katanya Diana.
"Delapan belas," jawab bocah itu.
"Pak nanti membungkuskan 18 mie ayam untuk anak ini ya," pinta Diana.
"Asiap Neng."
"Gibran, mau besok dinner lagi?!" tanya Diana, Gibran menatapnya dengan wajah datar.
"Kalau tidak mau ya tidak papa!"
"Siapa bilang, aku mau kok. Aku ada kelas jam 10. Jam satu sudah kelar. Jadi kamu perlu dijemput di mana?" tanya Gibran sambil mengaduk makananya.
"Aku akan menunggumu di bawah pohon saman. 400 m dari arah kiri kampus. Oke," ujar Diana sambil memberi perhatian lebih kepada bocah kecil itu.
'Bagaimanapun dulu aku pernah hidup susah. Aku pernah menjadi anak jalanan. Dan semuanya tidak mudah,' kata Diana dalam hati. Air matanya berlinang dan Gibran melihat Diana menghapus bekas air mata itu.
"Kenapa nangis?! Jangan menangis, aku tidak bisa melihat wanita menangis." Suara Gibran terpecah, Diana heran dan merasa lucu dengan sikap Gibran.
"Hahaha. Dasar cengeng," ledek Diana.
"Biar!" Gibran lanjut makan, Diana meminta anak itu untuk makan mie ayam miliknya. Diana hanya makan tahu goreng.
Gibran yang melihat kesederhanaan Diana, mendatangkan rasa kagum kepada gadis itu.
"Woi! Makan, kamu tidak akan kenyang jika terus memandangi wajah cantikku ini," ucap Diana, Gibran tersenyum lalu makan.
"Kenapa tiba-tiba tadi minta bonceng?" tanya Gibran teringat saat keluar dari restoran. "Katamu aku rempong," imbuhnya.
"Ya maaf, tadi belum tahu situasi. Setelah faham ya adanya kamu lalu terpaksa deh. Tapi kesel juga saat kamu ninggalin aku, kejam tahu," protes Diana.
"Hahaha. Tapikan aku kembali dan itu hanya untukmu. Hehehe, aku bercanda, tuh datang cepat makan," kata Gibran. Diana tersenyum lalu makan, matanya terus tertuju kepada bocah jalanan itu.
Bersambung.