Menghabis kan waktu berdua namun tidak saling terbuka. Angin malam semakin berhembus dan Diana merasa dingin saat Gibran melajukan motornya walau dengan kecepatan sedang. Diana juga tidak memeluk Gibran. Diana menatap langit gelap berbintang. Ia menghela napas berat. Mungkin ia kesepian.
"Aku boleh bertanya? Apa beban yang kamu pikul hingga kamu terlihat sangat kacau," tanya Gibran.
"Aku hanya memikirkan kenapa banyak orang tidak suka kepadaku. Mereka membenciku tanpa aku tau apa alasan mereka," jawab Diana.
"Diana kebencian adalah jelmaan dan bisikan dari sisi hati yang digoda iblis. Jika orang sudah menanamkan rasa itu maka sangat sulit untuk membujuknya. Benci tak beralasan dan mereka tidak menyadari akan hal itu. Apa coba untungnya, mereka berniat menjatuhkanmu. Tidak perlu dipikirkan. Yang terpenting orang yang berada di sampingmu. Aku yakin mereka benci karena tidak mempunyai kemampuanmu," ujar Gibran serius dan masuk di akal.
"Tumben serius. Masa begitu? Aku tidak percaya," ucap Diana. Gibran ngerem mendadak Diana refleks memeluknya.
Deg!
Seakan waktu terhenti. Diana memukul bahu Gibran.
"Astagfirullah sakit tau. Badan babak belur aku, kamu hobbi banget pukul aku. Lihat nenek itu ... jika aku tetap melaju, pasti Nenek itu tertabrak." jelas Gibran kembali menancap gas, motor berjalan.
"Maaf ..." sesal Diana.
"Diana berhenti sebentar ya, kepalaku pusing," pinta Gibran yang terlihat tidak fokus di jalan.
"Yah. Ini sudah malam Gib ... pusing kenapa?" tanya Diana.
"Karena memikirkanmu," jawab cepat Gibran.
"Dasar." Diana merasa itu hanya gurauan Gibran. "Aku serius. Apa pusing banget?" lanjut Diana. Gibran melihat Diana dari spion dan tetap melajukan motornya pelan.
"Pusing mungkin butuh vitamin C biar segar," ujar Gibran.
"Ha? Apa hubungannya vitamin C sama pusing?" tanya Diana.
"Kalau dapat vitamin C pasti dapat energi."
"Ya sudah beli jeruk saja, atau beli buah yang banyak vitamin C nya," ujar Diana dengan polosnya.
'Astagfirullah, Astagfirullah, Astagfirullah. Gibran ... jangan mesum. Biarlah dia tidak faham. Padahal kan maksudku vitamin C, C nya itu ciuman. Gibran ... bukan muhrim,' batin pemuda itu menegur diri sendiri. Di dalam hatinya tidak henti membaca kalimat magfiroh. Jelas saja ia tidak dapat mengendalikan diri dikala sangat dekat dengan gadis yang didambanya selama ini.
"Bran, awalnya aku baper banget lo sama Rehan. Tapi ... cintaku harus berhenti di sini. Sangat sulit namun aku yakin, aku bisa stop. Ya, walaupun membutuhkan dorasi waktu yang panjang ... banget. Heh ... sebenarnya aku sangat lelah dengan semua kemampuanku. Kadang kepalaku juga sangat sakit. Aku kelelahan. Kurang tidur, kalau aku acuh dengan petunjuk yang datang aku merasa bersalah. Dari dulu kejadian seperti ini sudah sering aku alami. Pernah ada teman yang menyatakan suka, lalu aku melihat akan ada kecelakaan. Yang terlintas tidak jelas, hingga aku menyelamatkan anak dan dia ternyata yang mengalami kecelakaan mau itu, Ya Allah. Dari situlah ... aku sangat menyesalinya. Dari kedua Kakak ku yang tidak percaya sama kemampuanku, ya ... Kakak ku yang ada di rumah sakit," jelas Diana terus berbicara tidak henti. Gibran mengamatinya dari spion.
"Hayo ... ketahuan. Kamu lihatin aku kan?! Naksir kan?!" tanya Diana memergoki Gibran yang menatapnya.
"Tau banget."
"Ah, garing kamu," ujar Diana menepuk bahu Gibran.
"Diana aku siap menjadi ojekmu, tenang saja, aku akan mengantarmu kemana pun."
"Baiklah terima kasih. Bran, aku sekarang ini menyimpan rahasia, eh ... bagaimana .mengatakatannya ya?" Diana terlihat bingung.
"Bilang saja tapi jangan kamu buka dengan jelas," ujar Gibran.
"Misal nih, kamu tahu rahasia orang terdekat dan ternyata dia pembohong, dia berpura-pura dan hanya memamfaatkan orang yang terdekat kita. Tapi sebenarnya dia orang yang sangat baik. Apa kira-kira kamu akan mengatakan rahasia itu ke orang terdekatmu?" tanya Diana yang sedikit mendekatkan kepalanya. Maksud Diana adalah Kakak iparnya. Yaitu Fania.
"Menurutmu baiknya bagaimana? Kalau kamu tahu dia orang baik, dia pasti tidak tega hanya sekedar memanfaatkan, lama-lama dia akan tulus. Terkadang datang penyesalan dulu sih, biasanya. Saranku kalau dia, si pembohong orang baik, biarkan saja orang baik itu, dia pasti tidak tega melakukan kejahatan," ujar Gibran dengan pikiran dewasanya.
"Teman tuh, begini tidak bicara sesuka hati," ujar Diana.
"Diana. Kamu mengakuiku?"
"Ya iya."
"Sayangnya hanya teman. Hahaha."
"Mulai deh?! Berharap jadi pacar?!" tanya Diana.
"Lima puluh persen. Eh, dengar! Ikhlas dengan semua dan jangan mengeluh. Memang tidak mudah, namun aku yakin kamu pasti bisa menyelesaikan tugas dari isyarat dari Sang Pencipta, yang selalu muncul dan selalu menghantuimu." Gibran kembali serius.
"Aku akan mencoba. Semoga kamu tetap menjadi temanku. Kamu sudah tidak pusing? Ini laju montornya, kalah lo sama dokar itu," ujar Diana, Gibran ngegas, Diana refleks berpegangan.
"Hih! Kamu mau membunuhku?!" Diana masih syok, dia mengatur napasnya.
"Tadi bilang lambat, saat ngegas, aku disemprong, jangan rumit dong," ujar Gibran.
"Awas ...!" teriak Gibran melihat seorang gadis.
Tinnn!
"Gibran ...!" teriak Diana. Gibran terpaksa membanting setir.
Ngikkk!
Bruokkk!
"Ah ...." teriak Diana dan Gibran, keduanya jatuh di jalanan.
"Au sakit." Diana lemas dan tergeletak. Gibran segera membantunya berdiri.
Bugh!
"Au ... aku juga sakit. Lihat gadis itu," ujar Gibran menunjuk gadis yang tadi berdiri di tengah jalan. Diana memejamkan mata.
"Aku tidak mungkin minta kamu menemaniku. Kamu luka-luka, ini juga sudah malam."
"Kamu melihat apa? Luka ku tidak parah kok. Nanti kita jelaskan sama-sama dengan Kakakmu," bujuk Gibran.
Seorang gadis berlari lalu mendorong Gibran saat itu Gibran dan Diana berpelukan tanpa sengaja. Gibran segera melepas pelukan itu. Diana terdiam ia menelan ludah dan gugup, tidak berani melihat Gibran. Perhatian kedua insan ini tertuju kepada orang-orang berlarian mengejar gadis itu. Gibran mencegah salah satunya.
"Ada apa Mas?" tanya Gibran. Diana membersihkan lukanya.
"Gadis tadi membunuh seseorang." Ungkapnya dengan napas ngos-ngosan, lalu kembali berlari.
Diana berfikir dan tidak percaya, "Mana mungkin?"
"Pulang atau ikut campur?" tanya Gibran, Diana memandangnya.
"Ayo lihat korban, aku ingin lihat siapa yang dibunuh," ajak Diana. "Lagian itu rumahku," ujar Diana. Keduanya berlari. Sekrumpul orang berjejeran menayaksikan banyak darah dari kepala korban.
Seorang nenek histeris tanpa suara namun mengabrik-abrik botol, suara berisik itu membuat Diana menoleh dan mendekati nenek itu. "Ada apa? Katakan Nenek, Nek ...." pinta Diana.
"Dia bisu Diana," ungkap Gibran karena melihat gerak bibir dari Nenek itu. Orang-orang itu berhasil membawa gadis itu kembali.
Gadis itu babak belur, sang Nenek mendekati dan menangis, menarik orang yang membawa gadis itu, namun malah terlempar. Diana menahan tubuh renta itu. Gibran dan Diana saling menatap bingung.
Bersambung.