Satu ruangan bernuansa putih dengan lampu yang terang, menjadi tempat kebisuan antara Fania dan Alfito. Fania tidur di sofa. Alfito terus memandanginya penuh cinta.
Melihat istrinya lelah, datanglah inspirasi tak terduga. Pria itu bangun dengan sedikit meringis, karena perut yang terasa kaku. Dia meraih kertas dan pulpen.
Meluapkan segala perasaan, kecintaan terhadap istrinya dengan cara membuat karya seni. Jemarinya sangat lentur menggerakkan pulpen, coretan demi coretan membentuk desain keindahan.
"Keindahan yang aku gambar ini bukan hal yang seberapa, karena keindahan sejati adalah dirimu. Pendampingku. Kamu membuat aku berani mencintai, setelah trauma yang aku alami. Jangan tinggalkan aku Anaya. Oh ... Fania." Pria itu kembali lupa menyebut nama istrinya.
Sementara wanita yang tengah berbaring dengan memejamkan mata dan terlihat sangat pulas, ternyata dia mendengar semua perkataan Alfito.
'Dia sangat bucin Anaya. Huft ... kenapa aku tidak bisa tidur. Dari tadi aku berusaha memejamkan mataku. Hanya terpejam saja, namun bayangan menyakitkan kembali hadir. Terkadang aku bertanya, kenapa bukan aku yang mati? Kenapa harus kamu? Padahal aku selalu ingin bersama-sama dengan ibu.' Air mata Fania jatuh berlinang.
Berusaha menangis tanpa suara, namun terdengar dada sesak darinya membuat Alfito sangat memperhatikannya.
"Sayang ... apa kamu menangis? Fania ...." Alfito sampai duduk penasaran dengan istrinya. "Sayang ... kamu tidak menangis kan?" Alfito kembali menegaskan namun suaranya terpecah.
"Kamu cengeng banget sih. Aku hanya merasa dingin saja," jawab Fania, acuh sambil terus meringkuk tubuhnya.
"Tidurlah di sampingku agar hangat, apa perlu aku yang ke situ."
"Mas ... jangan aneh-aneh deh. Mas lagi sakit dan sekarang Mas harus ridur, aku lelah banget. Tolong biarkan aku tidur." Fania menjelaskan dan masih membelakangi suaminya.
'Lebay banget sih nih orang. Apa karena sayang dan cintanya sampai mendengar aku terisak pun dia ikutan menangis dan bingung? Aku terbiasa hidup keras, hanya dengan ibu dan tidak pernah merasakan cinta yang seperti ini. Ternyata ada cinta yang sampai membuat orang menjadi gila karena cinta itu. Mungkin aku memang belum merasakan, cinta yang dirasakan oleh Alfito. Ah ....' batin Fania heran dengan cintanya Alfito.
Fania memejamkan mata dan tiba-tiba tubuhnya terasa hangat. Dia sadar jika Alfito memberikan selimutnya. Fania membuka mata lalu duduk.
"Heh ... aku tidak papa. Jangan terlalu berlebihan." Fania menatap Alfito, tatapan Alfito membuatnya tidak sanggup untuk memandangi lebih lama.
Alfito menunduk sambil memegang perutnya.
"Tuh ... kan." Fania berdiri dan menuntun Alfito. Alfito kita sama sekali tidak berkedip. Dia menunjukkan cinta yang teramat besar kepada istrinya.
'Kamu salah mengira. Aku bukan orang yang kamu cintai Alfito. Ah ... aku merasa bersalah. Kamu adalah orang baik, tidak pantas disakiti dan tidak pantas dimanfaatkan. Ya Allah ....' ujar Fania dalam hati penuh kebimbangan.
"Tidurlah di sampingku," pinta Alfito menatapnya, kemudian menggunakan tangan Fania. Langkah keduanya terhenti.
"Mana cukup ...?" tanya Fania ragu.
'Dasar konyol? Permintaan macam apa itu. Ah ... Aku harus menyangkal dan beralasan apa lagi. Huh ....' umpat kesal Fania dalam hati.
"Kamu kok diam. Mau ya ... kita harus latihan." Alfito menaikkan dagu Fania ke arahnya.
'Eneg!' umpat Fania dalam hati dengan perasaan yang benar-benar muak.
"Ha?" Fania menatapnya kemudian menggaruk kepalanya.
'Harapanku dulu dinikahi oleh cowok yang tidak sebucin ini. Ini sangat keterlaluan,' protes Fania dalam hati.
"Kamu tidak mau ya? Ya sudah tidak apa-apa. Sana cepat tidur, aku bisa sendiri naik ke ranjangku. Kamu pasti lelah." Alfito benar-benar memberi perhatian, dia mengecup hangat kening istrinya.
Fania sangat terkejut. 'Kenapa detak jantung berhenti? Dasar Pria, hanya mengambil kesempatan dan keuntungan. Ah ... bodoh! Dia kan sekarang suamiku, walaupun aku pura-pura menjadi Anaya tapi dia menikahiku dengan nama Fania. Ah ....' pikir Fania dalam hati dan segera kembali ke sofa.
'Dalam hatiku sangat menginginkan kamu memilih tidur bersamaku. Aku pasrah. Aku kira kamu akan memilihku, tidur bersama di tempat yang sempit daripada tidur di sofa. Tapi ternyata kamu malah tidur di sofa,' keluh Alfito yang hanya bisa memandangi istrinya.
Melihat Fania tidur sangat lelap dia hanya mengamatinya.
***
Mentari pagi bersinar sangat terang. Fania bergerak bebas. Sambil mengumpulkan tenaga, dia bangun tiba-tiba matanya terbelalak.
"Ha ...? Kok aku? Kenapa aku bisa tidur di ranjangnya. Dan dia kemana?" tanya Fania kebingungan. Fania turun. "Allahu Akbar!" Fania hampir saja menginjak kaki Alfito.
Fania menutup mulutnya dan terkejut Alfito berbaring di atas sajadahnya. Mungkin dia tertidur setelah salat subuh. Fania meneguk salivanya.
"Kamu sudah bangun?" tanya Alfito bangun sambil mengucek matanya.
Fania duduk di depan suaminya. Memegang bahu suaminya. "Kamu yang memindah ku? Kamu yang memindah aku ke ranjang? Dan kamu tidur di bawah! Aku benci sama kamu. Kamu menambah kekhuwatiranku. Bagaimana kalau sakitnya tambah parah? Dan bagaimana bisa kamu membopongku. Ingat perut kamu sedang sakit. Tolong peduli kepada dirimu sendiri, jangan berlebihan dalam mencintai ku!" Fania mengatakannya dengan mata memerah.
"Aku tidak bisa tidur. Jadi aku memindah mu ke ranjang. Jangan menangis dan jangan khuwatir. Kenapa kamu menangis seperti ini aku bingung. Jangan menangis tulang rusukku." Alfito menaikkan wajah Fania, lalu menyeka pipi basah itu.
'Kamu tidak boleh keterlaluan dalam mencintaiku. Aku sudah tidak adil kepadamu. Tolong jangan seperti ini aku semakin sedih dan merasa bersalah. Sedang hatiku, sebentar saja hatiku sudah jera dan jenuh. Kamu terlalu berlebihan.' Fania menangis.
"Kita akan pulang aku sudah membaik. Lihatlah." Alfito meraih kertas lalu menunjukkan. "Semalaman aku tidak tidur, pikiranku terus hidup saat aku memandangmu. Kamu ispirasiku. Jangan pergi dariku, biar Allah yang memisahkan. Jangan ada niatan meninggalkanku sekalipun kamu merasa bosan. Tegur, nasehati, marahi, katakan apa yang perlu aku perbaiki. Asal kamu jangan jauh dariku."
Fania yang mendengar itu semua semakin merasa bersalah. Fania lalu melihat desain perhiasan dari suaminya. Sebuah kalung sederhana namun dipoles indahnya dibagian bandul.
"Sangat indah," puji Fania.
"Ayo pulang sayang," ajak Alfito. Fania masih memandangi gambaran sang suami.
'Dulu, untuk makan saja sangat susah. Kerja dari pagi sampai siang pernah tidak dapat apa pun. Hingga Ibu jual kalung. Tak seberapa uang habis. Aku dan Ibu sering kelaparan. Untuk mengganjal lapar makan daun singkong yang hanya direbus. Ibu ... aku tiba-tiba rindu. Rasanya sangat sesak. Semoga di sana Ibu bahagia.' Fania memejamkan mata, teringat makan bersama Ibu di dapur dengan daun singkong yang direbus, tanpa nasi tanpa sambal.
Fania teringat Ibunya tersenyum lalu menyentuh pipinya dan terlihat bersyukur walau hanya makan, makanan seperti itu.
"Fania apa kamu masih mengkhuwatirkanku?" tanya Alfito sambil memegang bahu istrinya. Memeluknya dan membelai lembut kepala yang tertutupi hijab itu.
'GR. Aku ingat Ibuku. Bukan khuwatir kepadamu,' batin Fania.
Bersambung.