Setelah berhasil menyembunyikan airmatanya, Fania segera mengambil kan baju untuk suaminya.
"Bisa kan pakai sendiri?" tanya Fania sambil menyodorkan baju warna biru langit.
"Tidak bisa," kata Alfito sangat manja.
"Ayolah kakak pertama. Jangan manja, kalau nanti whudlunya batal, karena tidak sengaja tersentuh, bagaimana."
"Aku hanya manja kepadamu wanitaku. Baiklah ... baiklah ... Tapi nanti malam apa hadiah untukku."
"Bos, Salat dulu jangan banyak berbicara. Berusahalah salat yang khusyuk jangan mengingat wajah ini." Fania mempertegas suaminya dan Alfito pun setuju.
Pria itu salat dengan sedikit kesakitan. Fania masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan dia berusaha menjernihkan pikirannya agar mendapat ide.
'Ayolah ... pikirkan, pikirkan. Bagaimana cara menolaknya tanpa dia curiga? Masa orang kesakitan mau nekat melakukannya? Lagian aku sedang datang tamu. Ya Allah ... emmm. Huh ... ya. Aku harus menanggung resiko karena omonganku sendiri. Aku yang menawarkan nanti malam. Jadi malam nanti aku harus siap.'
Pikirannya semakin kacau ketika dia membayangkan gerakan-gerakan Alfito saat berada di sampingnya tadi.
"Tidak ...!"
Heh ... heh ...
"Sayang ... kenapa?" tanya Alfito dari balik pintu kamar mandi.
"Oh ... kenapa khayalanku liar sekali. Apa aku ingin dia mesra kepadaku?" gumamnya yang lalu menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Sayang ... Anaya ... eh. Fania, sayang ... kamu tidak papakan? Ada apa?" tanya Alfito sangat cemas.
Ceklek!
Kreakkk!
"Ada bayangan tidak jelas," jawab Fania menatap malas.
"Ha ...? Hantu?" tanya Alfito menekan kedua lengan istrinya. Fania memutar bola matanya ke arah lain.
"Kamu dipikiranku!" ceplos Fania yang refleks. Gadis cantik ini segera menutup mulutnya. Senyum Alfito mengembang. "Mas, tidak dzikir ya? Mas meninggalkan Dzikir dan doa? Aku tidak suka. Itu adab dari kera, ceh ... aku marah!" Fania pergi dengan cepat.
"Sayang ... aku mencemaskanmu."
'Sepertinya alasanku kurang meyakinkan dan tidak menguatkan. Kenapa juga bibirku asal nyeplos, bodoh ... ah pokoknya ngambek saja. Biar dia tidak bertingkah mesum,' batin Fania yang lalu tersenyum miring.
Srettt!
Hal yang tidak terduga terjadi, Alfito menarik lengannya hingga dia berputar ke arah suaminya.
Brug!
"Ah ... sakit ...."
"Tuh kan. Sana tidur, aku lapar. Aku sudah keroncongan, jadi Mas lebih baik tidur, aku akan menyiapkan makanan."
"Sayang beri aku tenaga ...." Alfito kembali menunjuk bibirnya.
"Ampun ... Andai tadi Mas tadi, tidak mengkhawatirkanku dan lebih fokus ibadah, aku akan memberikan semuanya kepada Mas. Aku juga akan lebih cinta. Masa ibadah berapa menit saja tergoyah, sudah hampir 5 jam kita bersama. Waktu yang kita luangkan itu sangat banyak, dari pada waktu kita bersama dengan Sang Pencipta. Jadi walaupun ibadah singkat harus khusyuk."
"Aku bukan ahli ibadah, Aku akan belajar. Belajar menjadi imammu, Aku harap kamu sabar menghadapiku. Jadi Menurutmu aku harus banyak banyak meluangkan waktu bersama dengan sang Ilahi?" tanya Alfito menatap istrinya dengan menggenggam erat.
"Ya banyak mengaji, sering-sering berdoa, sering-sering mengingat mati. Agar Mas tidak terlalu takut jika kehilangan ku. Kita semua milik Allah dan akan kembali kepadanya dan kita harus benar-benar belajar melepaskan mulai dari sekarang."
"Maksud kamu apa? Kita baru memulainya dan kamu sekarang sudah membahas itu. Biarlah takdir dan doa berperang di sana. Aku akan terus meminta, agar Allah menyatukan kita. Aku akan berdoa setiap waktu dan akan ku jadikan itu dzikirku. Memang harus belajar ikhlas dari sekarang. Namun aku akan menguat semuanya dengan doa. Terserah kamu mau bilang, aku egois atau tidak. Itu bukti cintaku kepadamu."
Mendengar itu semua mata Fania memerah. Hidungnya merasakan sesuatu, dan air matanya hendak menetes.
'Yang kamu inginkan adalah Anaya, bukan aku,' batin Fania sangat pedih mengetahui betapa besar cinta Alfito kepada Anaya.
"Hai kenapa kamu menangis?" Alfito menghapus air mata istrinya. "Baiklah ... akan aku usahakan. Akan aku usahakan tidak meninggalkan dzikir dan doa setelah salat. Aku akan meluangkan waktu untuk mengaji. Tapi ajari aku, dan ... ajari aku salat-salat sunnah. Kamu bersedia kan?" tanya Alfito semakin menggenggam erat tangan istrinya.
"Kita belajar bersama," ujar Fania yang lalu melepaskan tangan Alfito. Hati Fania semakin teriris rasanya. "Aku ke dapur dulu." Fania pergi dengan hati yang sakit.
'Aku sangat jahat. Bagaimana bisa aku menipu orang yang sangat baik dan tulus. Oh hati, kuatlah bertahan. Ya Allah apa aku akan kuat menanggung segalanya? Apa aku akan kuat jika terus berbohong. Betapa munafiq aku ini? Fania ... apa lebih baik kamu berpura-pura cinta selamanya? Anggap saja dirimu Anaya?' batin Fania meronta.
'Bagaimana jika aku sakit dalam setiap kebohongan yang aku perbuat? Aku pasti akan menderita. Aku akan semakin merasa bersalah. Apa ku biarkan aku hancur? Apa aku pura-pura bahagia? Ya, dalam hidupku aku sudah sering berpura-pura bahagia walau hati sering merintih dan menangis. Biar aku saja yang menananggung rasa sakit ini. Tapi ... kalau pada akhirnya Alfito tahu, kalau aku bukan Anaya? Bagaimana? Kenapa aku mencemaskan itu, bukankah inginku, dia menceraikanku? Ah ... mending ngisi perut saja,' batinnya yang sedikit bingung.
"Mbak, kalau tidak ingin ditinggalkan, jangan meninggalkan. Kalau tidak ingin disakiti, jangan menyakiti. Mas Alfito itu tulus, sangat tulus. Jangan menyesali tindakan yang Mbak perbuat sendiri." Diana tiba-tiba berkata seperti itu.
"Kamu bicara sama aku? Apa maksudnya?" tanya Fania yang lalu mengambil segelas air minum untuk menutupi kegugupannya. Tangan Fania yang lemas, ia segera melepas gelas di atas meja agar tidak jatuh.
"Mbak pembohong, tapi baik dan korban. Aku akan menjaga rahasia Mbak, jika Mbak tidak jahat kepada Mas Alfito, Mbak boleh memanfaatkannya, tapi jangan meninggalkannya. Jika Mas Alfito yang mau meninggalkan Mbak, barulah silahkan pergi, jangan hanya memanfaatkan tapi berkorbanlah. Setidaknya terimalah pernikahan suci kalian." Diana mendekatkan bibirnya ke telinga Fania. "Mbak bukan Anaya, Anaya meninggal dunia dan Mbak saudara kembarnya. Nama Mbak, asli Fania 'kan? Mbak menikahi Mas Al untuk keamanan dan untuk menjembloskan depkolektor ke penjara kan?" bisik Diana lalu pergi dari dapur.
Seketika Fania lemas, lututnya tidak sanggup lagi menahan tubuh untuk berdiri, membuat dia duduk di lantai. Dia syok atas segela kebenaran yang dikatakan Diana.
'Aku pembohong, namun juga korban. Aku bukan orang baik. Yang ada aku orang munafiq.' Fania terisak. 'Ibu ... andaikan yang pergi bersama Ibu, aku ... Fania ... kenapa kamu menyalahkan yang membuat takdir,' kerenteknya dalam hati.
Fania segera beristigfar.
"Ya Allah. Sayang ... apa ada yang sakit?" Alfito terkejut melihat istrinya menangis di bawah meja makan.
'Apa aku semakin jahat? Dengan tangisan ini, aku bisa lolos dari hasratnya. Ini kesempatan untuk menghindarinya. Tapi ... aku semakin menumpuk dosa,' batin Fania.
Wajah Alfito kebingungan dan cemas, dia segera menyandarkan kepala istrinya di dadanya.
Bersambung.