Chereads / Cintai Aku! Istriku. / Chapter 23 - Khayalan Yang Tidak-tidak

Chapter 23 - Khayalan Yang Tidak-tidak

"Tentang rasaku yang sederhana namun juga rumit. Hatiku seakan sedih melihat belahan jiwaku menangis. Bagi resahmu dan upayaku menghadirkan senyum di wajahmu. Manik tajam itu terus tertuju tanpa berkedip karena terpana oleh sang pemikat."

Diana mengatakan segalanya ketika kakaknya memang terpikat kepada istrinya. Fania yang sadar, segera menyenggol lengan suaminya yang terus memandanginya.

"Kata banyak orang cinta itu buta tapi mengapa, orang jatuh cinta bisa memandang keindahannya. Kata banyak orang cinta itu menyakitkan tapi mengapa banyak yang bertahan juga. Mas harus siap, menanggung resiko mencintai seseorang."

Diana pergi setelah mengatakan itu dan melirik tajam ke Fania. Menyiratkan sebuah makna.

"Ah ... bocil. Kamu juga suatu saat nanti akan menanggung resiko ketika kamu jatuh cinta. Jadi stop dari kata puitis, Makanlah biar kenyang karena kata-kata tidak akan membuatmu kenyang. Siapa tahu kalau kamu makan, ide jadi lancar. Sepertinya Mas malam ini juga kan lembur."

Diana menghentikan langkahnya di tengah tangga, dia menoleh. "Kalau aku benar jatuh cinta, Apakah Mas setuju, kalau aku berpacaran? Apa aku boleh berpacaran?" tanya Diana menghadap kepada kakaknya.

"Lebih baik menikah tidak usah pacaran. Jika laki-laki itu benar mencintaimu suruh dia datang kerumah, untuk melamarmu! Jika belum siap kemari, jadilah teman saja. Ingat, cari laki-laki yang mandiri, mengajakmu makan hasil keringatnya bukan hasil minta dari kedua orang tua. Mas akan senang jika kamu menikah dengan laki-laki sederhana namun mandiri," tegas Alfito kepada sang adik, Diana tersenyum lalu pergi dari ruang makan.

'Diana tidak henti menyindirku. Niat jahat ku adalah memanfaatkan dan pergi setelah aku berhasil mendapatkan inginku,' ujar Fania dalam hati kemudian menghela napas panjang.

"Hai ... kok malah melamun, ayo makan. Perkataan Diana itu memang unik, maklumlah dia handal merangkai kata," ucap Alfito sambil mengangkat sendok yang sudah berisi makanan.

Niat Alfito menyuapi istri tercinta.

Fania duduk lalu mengambil sendok sendiri dan makan sendiri, tidak ingin disuapi oleh Alfito.

'Sungguh, dirimu tidak bisa aku tebak sayang. Aku harus menjaga perasaanku dan menjaga Inginku yang terburu-buru. Aku melihat ketidaksiapan mu, okelah ... mungkin aku harus bersabar. Yang terpenting aku tahu kamu setia,' batin Alfito mulai merasakan dinginya sang istri.

Alfito tidak makan banyak, dia segera berdiri dan berjalan, kembali ke kamar.

"Kok cuma dikit makannya? Apa tidak enak?" tanya Fania karena dia memang memperhatikan suaminya. Alfi itu menghentikan langkahnya lalu menoleh. Alfito tersenyum ternyata istrinya masih menunjukkan perhatian. Fania selalu menghindar dari kontak mata diantara mereka.

"Sudah azan, habis salat harus memperbaiki desain. Kamu yang banyak makannya."

"Pasti ... aku habiskan, karena ini sangat enak," ujar Fania menunjukkan kepribadian yang sebenarnya. Alfito tertawa kecil, berjalan pelan dan memegang perutnya.

Fania menghela napas panjang. 'Terima kasih ya Allah, Engkau sudah memberi kenikmatan yang luar biasa, ampuni hamba yang belum mensyukuri semuanya. Walaupun hanya nasi goreng ini sudah sangat enak. Dibandingkan ketika aku makan bersama ibu, ibu ... aku merindukan. Tolong beri aku isyarah, agar aku bisa menunjukkan kepada ayah kalau Ibu tidak bersalah. Ya Allah ... berilah petunjuk kebenaran. Hiks, aku banyak meminta dan aku juga banyak berbohong. Heh ....' Fania mengambil tisu.

"Ibu ...." gumamnya.

"Non, nangis?" tanya wanita paruh baya yang melintasi Fania. "Biasa non ... kalau awal pernikahan memang seperti ini. Rindu kepada orang tua itu jelas. Tapi saya yakin. Bos Alfito itu sangat baik, dia kepada kami peduli, apalagi sama istrinya, pasti dia sangat menyayangi non."

Fania berusaha tersenyum. "Dia sangat baik. Emmm. Bi, berapa kali saya datang ke rumah ini?" tanya Fania sambil menggaruk kepalanya. "Maaf saya lupa. Apa saya sering kemari? Apa Mas Alfito pernah ajak wanita lain kemari?" tanya Fania lagi sambil menepuk kursi di sampingnya, dia ingin mendapat informasi.

"Non, Bos itu tidak pernah membawa siapa pun ke rumah ini. Nona satu-satunya wanita yang membuat Bos berani mencintai. Bos, sangat takut disakiti. Wajarlah masalalunya, yang membuat Bos acuh terhadap wanita. Hanya Nona yang sangat disayangi oleh Bos."

"Maaf Bi, lupa ... kok aku mudah lupa ya sekarang? Terima kasih ya Bi, kan aku makin yakin, kalau Mas sangat sayang sama aku." Fania tersenyum lalu kembali makan.

"Pokok, Non sangat beruntung." Asisten rumah tangga itu tersenyum dan meninggalkan Fania. Tiba-tiba mata Fania terbuka lebar, dia teringat ekspresi wajah Alfito yang pergi dan menyisahkan makanannya.

'Kenapa ekspresinya dan perhatiannya berubah ketika aku menolak dia menyuapiku. Aduh ... apa dia mulai sadar kalau aku bukan Anaya. Huft ... Aku harus memberi perhatian lebih. Jelas sekali tadi aku melihat ekspresi yang lain. Anaya, Sebenarnya kamu itu kalau sedang bersama Alfito, manja tidak sih? Kalian pacaran berapa tahun? Ih, makin gila kan' aku. Aku tanya sama arwah? Tiba-tiba merinding, kalau arwah Anaya benar-benar hadir dan menghantuiku untuk mencintai Alfito. Hua ... serem amat hidupku. Apa Lebih baik aku tanya kepada Diana? Siapa tahu aku bisa mengorek informasi tentang bagaimana cara Anaya? Lebih baik aku tanya sama ayah dulu. Ya, Tapi selama ini aku tidak bisa bersikap manja. Aku sendiri sih kalau ada orang bermanja-manja. Ihhh. Heh ....'

Fania merasa frustasi dengan perangkap kehidupannya. Berusaha menjadi Anaya bukanlah keinginannya. Fania segera membersihkan piring.

"Nona, biar Bibi yang cuci piringnya."

"Bibi salat saja. Aku sedang datang bulan." Fania melanjutkan pekerjaannya.

"Wah ... kira-kira sudah malam pertama belum ya? Tendangannya Bos sudah gol belum ya?" tanya ART. Fania mengerutkan kening. ART segera pergi dengan senyum-senyum sendiri.

Fania tersenyum miring dan tugasnya selesai. Wanita cantik ini terlihat bingung dan gugup.

'Apa aku harus ke kamar?' tanyanya dalam hati setelah mondar mandir tidak jelas.

Fania mengeluarkan napas berat dan memutuskan untuk masuk ke kamar. Kamar terlihat kosong, dia bisa bernapas lega namun hatinya tetap bertanya-tanya di mana sang suami. Fania duduk dan melihat semua desain perhiasan.

Dia melihat kertas yang bergambar genggaman tangan.

[Nama Anaya atau Fania sama saja, aku tetap mencintaimu. Cinta dariku, Alfito.] Fania menelan salivanya, jantungnya berdebar.

[Hal yang paling menakutkan adalah melepasmu, walau aku tidak ingin. Jangan meninggalkanku, katakan saja apa yang perlu aku perbaiki agar kita tetap bersama.]

"Yang perlu memperbaiki adalah aku. Maafkan aku," gumam Fania yang lalu meletakkan kertas itu. Fania melihat ranjang yang luas.

Khayalan yang tidak-tidak kembali hadir, bayangan tentang agresifnya sang suami.

Pleak!

Dia menampar pipinya agar khayalannya tidak berkeliaran.

"Au ... kok, pikiranmu mesum sih. Fania? Ah ... pusing."

Fania lalu memejamkan mata karena sangat lelah

Bersambung.