'Dia kira rambutku ini mainan? Bagaimana bisa aku tidur Jika dia terus memainkan rambutku,' umpat Fania yang semakin sebal dengan tingkah Alfito.
Srettt!
Alfito menarik pinggang ramping Fania kearahnya.
'Katanya tidak macam-macam lalu ini apa? Hih ....' katanya lagi dalam hati. "Perutku sakit ...." kata Fania pelan yang lalu tidur miring membelakangi suaminya.
"Maaf." Alfito melepas pelukannya. Fania membuka matanya ketika tidak menghadap suaminya, dia berfikir sejenak. Pelan-pelan dia menoleh ke suaminya yang ternyata juga sama membelakanginya.
Dengan perasaan ragu Fania terpaksa memeluk suaminya dari belakang. "Saat ini aku adalah dokter mu, walaupun aku tidak bisa merawatmu seperti dokter pada umumnya. Tapi katamu, aku selalu membuatmu nyaman. Jadi ... tidurlah dalam pelukanku seperti ini."
Fania semakin mendekapnya, kepura-puraannya berhasil membuat Alfito tersenyum bahagia. Alfito meraih tangan istrinya lalu mencium punggung tangan itu berkali-kali, membiarkan tangan istrinya digenggamnya sangat erat dan ditempelkannya punggung tangan itu ke bibirnya.
Hembusan napas hangat dan yang mulai teratur menandakan kalau Alfito sudah terlelap. Fania terus memandangi suaminya dari belakang. Dia ingin segera membebaskan tangannya dari genggaman erat sang suami.
"Teruslah memelukku," ujar Alfito pelan dan genggamanya mengendur.
'Sadar atau tidak sadar, dia tetap bucin. Baru kali ini aku melihat pria bisa cinta segila ini. Ah ....' Fania berusaha memejamkan matanya dan terus memeluk Alfito dari belakang walau sangat terpaksa.
Merasa sudah tidak tahan, dia menarik tangannya dengan sangat hati-hati namun hal itu membuat Alfito berbalik badan dan refleks memeluknya.
'Ah ... semakin sesak rasanya. Huh ... Fania, kamu harus bersyukur karena dia tidak agresif dan menghargai kamu,' batin Fania yang terus berusaha rileks.
"Kamu tidak bisa tidur?" tanya Alfito yang mungkin terganggu karena istrinya terus bergerak, walau pelan. Alfito mengangkat sebagian tubuhnya di atas Fania. Keduanya saling menatap, dengan cepat Fania mengalihkan tatapannya. Alfito menghela napas.
"Maaf."
Tidak bisa tertahan lagi hasratnya, Alfito menahan rasa sakitnya lalu mendaratkan bibirnya ke bibir Fania. Fania yang terkejut menutup rapat dan sama sekali tidak membuka mulutnya. Alfito tidak memperdulikan Fania.
Rasa tak karuan benar-benar menyerang Fania yang tidak bisa menikmati kehangatan dari Alfito. Dengan sangat halus dan pelan Alfito terus membasahi bibir Fania. Dia sangat teramat menikmati ciuman itu. Rasa rindu dan ingin yang tetahan harus segera dilepaskan olehnya.
'Gila. Aku harus berbuat apa. Katanya tadi tidak mau macam-macam, kenapa sekarang sangat buas. Serasa dia akan menghabiskan bibirku. Ah ... apa aku harus mendorongnya? Pria ini ... kamu mau ngapain?' tanya Fania dalam hati yang segera ingin mendorong Alfito.
Gerakan Alfito yang seakan menguasai tubuhnya, membuat dia semakin sulit untuk berkutik. Gerakan tangan yang lincah mulai menyentuh area terlarang. Dengan sangat sigap Fania menampik tangan suaminya yang mulai berkelana.
Alfito melepas ciumannya karena membutuhkan oksigen. "Sakit ...?"
"Sudah tahu nanya. Panas," jawab Fania kesal dan segera mengelap bibirnya yang basah.
"Sudah tidur ...! Nanti nyeri lagi perutnya," ujar Fania sambil menatap sinis.
Tatapan Alfito semakin gemas terhadap istrinya. "Tatapan itu ... seperti kamu ingin melahap ku," kata Fania membuat Alfito tertawa. Alfito membelai hangat kepala istrinya.
'Dia mau ngapain lagi sih ...? Kok, makin menyeramkan gini ... hih ... ah ....' Fania benar-benar menunjukkan kebenciannya.
Namun, seorang pria yang memang sudah menjadi seorang suami. Dia berhak melakukan apa pun kepada istrinya, karena seutuhnya sang istri adalah miliknya. Tanpa meminta izin pun seorang laki-laki berhak.
Alfito mengangkat kepala istrinya untuk berbantal lengan kekarnya, kemudian dia menarik sarungnya, membuat Fania semakin syok dan bingung.
"Mau ngapain?" tanya Fania yang segera menghentikan tindakan sang suami, sebelum sarung itu terangkat ke atas melewati batas.
Alfito tidak mempedulikan pertanyaan Fania, dia menunjukkan kalau dia laki-laki yang kuat. Semakin mendekatkan tubuh Fania.
"Stop ...! Jangan sekarang ... tolong ... aku mohon Mas. Mas ... maaf aku belum siap. Mas!"
Teriakan Fania histeris, dengan nafas tersengal-sengal dia terbangun. Ya, ternyata semua hanyalah mimpi belaka. Sangking takutnya sampai semua masuk ke dalam mimpinya. Fania mengeluarkan nafas memburu. Seperti habis berlari yang sangat jauh.
"Sayang ...." Alfito membuka pintu mandi. Fania terkejut dengan panggilan itu, wajahnya menunjukkan ketakutan. Merasa trauma dengan mimpinya.
"Kamu kenapa? Mimpi buruk?" tanya Alfito yang mendekati Fania tanpa baju membuat Fania yang lemas hanya menggelengkan kepala dengan pelan, dia lalu memijat keningnya.
'Alhamdulillah ... ternyata tadi hanya mimpi. Kenapa otakmu mesum sih, Fania. Alhamdulillah ....' batinnya yang lalu memukul dahinya pelan.
'Dia benar-benar belum siap, hingga terbawa mimpi. Aku menghargaimu sayang ....' batin Alfito yang lalu memakai baju.
"Sayang ... teman bisnis, akan datang ke rumah, kamu tidak keberatankan untuk menemui mereka?" tanya Alfito sambil membalik kertas-kertas desainnya.
"Ha ...? Emmm. Aku pakai baju apa? Apa nanti aku tidak akan membuat malu, fasionku sangat kampungan," ujar Fania yang masih mengumpulkan kesadaran.
"Pakai baju apa pun kamu cantik. Biarlah orang lain menilai kamu karena penampilanmu, biarkan hanya aku yang menilai hatimu yang baik dan tulus. Yang mengenali kamu dengan baik, aku. Terima kasih, jika mau turun."
"Apa Mas mau memilihkan?" tanya Fania yang lalu bangun dari ranjang. Alfito tersenyum, tatapan Alfito yang terbuai namun tidak berani bertindak. Dia sangat menjaga hati sang istri.
"Ehekm. Apa menurut Mas. Pastasnya seorang suami ketika mengajak bercinta ... harus minta izin. Walau seorang istri, ibarat pakaian dan ladang sang suami. Emmm. Maksudku ... tanpa minta izin dari sang istri, suami sangat berhak atas istrinya."
"Jika yang lain tidak meminta izin. Aku akan meminta izinmu. Wanitaku berambut mie," kata Alfito yang lalu menarik rambut kriting Fania.
"Mie?"
"Hehehe. Kan ku sayang kamu ... ku jaga, ku hormati. Semoga semua menjadi keberkahan dalam pernikahan suci ini. Ehekm. Ini pertemuan santai, jadi pakai baju ... ini saja," ujar Alfito yang memilihkan baju warna coklat muda dengan bawahan coklat pekat.
"Tapi ... kamu kalau tidak setuju terserah kamu," kata Alfito yang lalu mengecup kening sang istri. Fania terpaku setelah mendapat ciuman singkat itu.
Alfito lalu membuka tirai, cahaya sinar pagi menerobos masuk. Fania seketika melihat jam. Ya ... dia tidur dan bangun kesiangan.
"Kenapa aku tidurnya lelap sekali. Kalau ada mertua gawat nih," gumamnya yang kebingungan. Dia bingung mau berbuat apa.
"Sesekali tidak papa bangun siang. Kan, memang sedang tidak salat. Aku tidak tega banguninnya, kamu kelihatan sangat lelah," ujar Alfito. Fania menyesal karena baru kali ini tidur sangat lama dan memimpikan sesuatu yang konyol.
"Aku ... malu sama Bibi," kata Fania pelan. Alfito lalu tertawa.
"Pasti faham, kan kita pengantin baru." Goda Alfito yang mencolek pinggang istrinya. Fania mengembangkan senyum palsu.
Bersambung.