Chereads / Cintai Aku! Istriku. / Chapter 22 - Memandanginya

Chapter 22 - Memandanginya

Tangan besar itu mendekap kepalanya, memeluk dan menenangkan sang wanitanya.

"Syuttt ... jangan menangis." Suaranya pun terpecah. Dari kejauhan seorang adik melihat, betapa cintanya sang kakak kepada wanitanya.

Tangisan sang wanita sekali saja membuat dia sangat rapuh dan tidak berdaya. Fania menangis dipelukan suaminya. Dia hanya pasrah ketika suaminya memberi dukungan moral, tanpa tahu sakit apa yang sebenarnya dirasakan oleh Fania.

'Kamu membuatku terlindung dan kamu pula yang membuat aku menangis, karena kesalahanku sendiri, aku semakin terjerat dosa. Sangat nyaman. Jika hati tengah terluka dan bisa berada di pelukan seseorang seperti ini, dulu ... Ketika aku menangis aku hanya bersujud dan memasrahkan segalanya kepadaNya. Aku tidak berani berkata apa pun kepada manusia, masalah keuangan terutama kepada Ibu. Aku ingin mengatakannya ... Alfito. Aku bukan Anaya, dan aku tidak memiliki perasaan apa pun kepadamu. Inginku mengeluarkan segalanya yang ada di dalam hatiku. Andaikan aku bisa mengatakannya, dan kini aku menanggung akibat yang aku buat sendiri. Ya, aku harus melanjutkan kebohongan ini terus-menerus. Aku tidak tahu, siksa apa yang menantiku di sana. Semoga saja, aku bisa menghirup wangi surga walaupun aku tidak berada di surga nanti. Semoga Allah masih mengampuniku. Aamiin.' batin Fania yang lalu mengusap air mata dari pipinya.

"Hiks, Kenapa Mas ikut-ikut menangis?" tanya Fania yang lalu mendorong dada Alfito perlahan. Alfito menatapnya, tatapan yang penuh arti dan berkaca-kaca.

"Aku sangat takut membuatmu terluka. Katakan segalanya jika aku melakukan kesalahan."

'Kenapa cintamu seperti ini Mas? Kamu terlalu alay terlalu berlebihan,' batin Fania.

Telapak tangan yang besar itu menghangatkan pipi Fania, ibu jarinya mengusap perlahan bekas air mata. Alfito sangat menunjukkan betapa besar cintanya kepada wanita di hadapannya.

"Seharusnya Mas membuat aku tertawa." Fania memukul pelan dada suaminya. 'Serasa jadi artis,' kata Fania dalam hati.

"Ahg ...." Alfito meringis kesakitan setelah terduduk di lantai, karena dorongan sang istri.

"Apa sakit sekali?" Fania hendak menyentuh perut Alfito yang tertutup oleh kaos namun tidak jadi. Fania memilih berdiri dan mengulurkan tangannya.

"Ayo ...."

"Bolehkah aku tahu kamu menangis karena apa?" tanya Alfito dari bawah dan memandangi wajah istrinya.

"Tadi ada perasaan yang tidak enak. Ulu hati nyeri dan aku hanya ingin menangis. Aku sudah baik-baik saja. Ayolah berdiri."

Fania tidak berbohong atas perasaannya yang kalut. Dia berusaha pasrah jika Alfito melakukan sesuatu tindakan yang harus dilakukan suami kepada istrinya.

'Apa yang kamu sembunyikan dariku? Memilihmu dan mencintaimu adalah resiko ku. Karena dicintai olehmu dan bisa memilikimu adalah anugerah terindah. Dengan segenap upaya aku Aku sama sekali tidak ingin menyakitimu, jikalau kamu menyakitiku. Kuterima semampu ragaku. Senyumanmu adalah harapanku, bahagiamu adalah inginku. Jadi tolong jangan menangis lagi.' Alfito menerima uluran tangan istrinya.

Bergaya lemah dan hampir jatuh, Fania menahan tubuh suaminya yang menubruknya, itulah cara Alfito agar bisa memeluk istrinya. Fania yang risih segera tersenyum palsu, lalu meninggalkan suaminya dan menyibukkan diri di dapur, Alfito duduk di meja makan.

'Kenapa setelah mengucapkan ikrar Suci, aku merasa, rasamu berkurang untukku. Aku tak bisa memahami dirimu dan hanya bisa mendoakan agar kamu tetap mencintaiku selamanya. Kenapa aku tidak melihat sosok Anaya? Tetapi aku tetap mencintaimu Anaya? Aku tidak peduli namamu diganti oleh Fania. Untuk saat ini menyentuhmu terasa asing, Kamu adalah keindahan yang belum bisa aku nikmati. Ternyata setelah menikah pun, aku belum mengenalmu sangat dalam. Hanya harapanku, aku bisa melindungimu dan kita akan bersama sampai maut memisahkan, bahkan jika dihendaki olehNya, cinta ini sampai ke surga,' kata Alfito sambil terus memandangi wajah cantik istrinya yang sibuk memasak.

'Tidak bisakah dia tidak menatapku seperti itu? Memangnya aku televisi yang harus dilihat setiap saat. Ya Allah ini sungguh tidak nyaman. Cintanya itu terlalu keterlaluan. Beh ... risih. Ah ... Astagfirullah astagfirullah,' batin Fania yang sadar diperhatikan oleh suaminya.

ART datang, Fania mulai mengikuti arahan ART, karena dia belum handal memasak.

Pleak-pleak!

Diana membuyarkan pandangan Alfito. Fania ketika memandang Diana yang sedang menarik kursi duduk di samping kakaknya.

"Ehekm. Cinta tak pernah menyiksa, ia hanya menguji rasa. Bila cinta tak bisa memiliki secara fisik, Biarkanlah doa yang menyatukan cinta dalam diam. Ketika aku jatuh cinta kepadamu, maka pada saat itulah aku membiarkan hatiku tersakiti olehmu. Beginikah perasaan Mas kepada mbak Fania?"

Lagi dan lagi, Diana membuat perasaan Fania tidak tenang.

"Apa sih kamu bocah ...." Alfito meremehkan adiknya.

"Bocahnya Mas ini sudah bisa cari uang. Menjadi penulis yang kreatif dan juga bisa memotivasi diri sendiri serta orang lain, kata-katanya juga harus puitis, itu tadi cuplikan dari novel ku."

"Anak yang baru lulus SMA itu Fokus sama belajar, jangan cinta-cintaan. Menulis novel kan bisa ... fantasi, fiksi ilmiah."

"Mas ku yang ganteng sedunia. Kalau nulis fiksi dan fantasi itu sedikit mikir walaupun alurnya bisa kesana kemari. Kalau Roman Kan seperti kehidupan sehari-hari ya walaupun juga mikir, agar tidak menyesatkan penjahit pembaca itu susah lo. Aku harus benar-benar hati-hati, agar yang kutulis itu bisa manfaat, tidak mempengaruhi ke sesuatu hal buruk atau tidak. Aku takut, sangat takut imbas dari membaca novel ku itu bagaimana ke mereka. Ah ... Mas koreksi dong kata-kata ini manfaat enggak." Diana memberikan laptopnya yang sudah banyak tulisan rapi di dalamnya.

"Aku paling males membaca. Bacakan saja, aku mendengarkan dan nanti akan menilainya." Alfito malah menyandarkan kepalanya di meja dan memejamkan mata.

Diana meniupnya. "Dasar tidak sopan."

"Mas, Mas ... heh ... Aku sendiri berusaha tidak dendam kepada Ibu. Jujur saja dalam novel aku menuliskan, Kita harus menghormati seorang ibu dan lain-lain. Bagaimana kita harus berbakti. Apakah aku juga harus berbakti kepada ibu yang sudah mengecewakan kita? Hatiku sulit menerima kenyataan. Ingin teriak rasanya. Terkadang malu sendiri, tapi aku yakin ada hikmahnya tersendiri dilahirkan oleh wanita yang tidak baik akhlaknya. Ah ... tiba-tiba baper."

"Diana jangan lagi menyesali hal itu. Kita berbakti sewajarnya sebagai seorang anak saja, kita beri kebutuhan dan jangan beri uang. Kalau kita beli uang pasti sama ibu digunakan untuk sesuatu yang haram. Lebih baik kita belikan sembako secukupnya saja. Takutnya kalau banyak-banyak dijual dan uangnya untuk kesenangan pribadi. Terima kasih kamu sudah menjadi adik yang pintar. Terima kasih juga kamu sudah tidak bandel. Heh ... ternyata adikku sudah mulai berfikir dewasa itu keren."

Mendengar perbincangan Alfito dan Diana. Fania baru faham kenapa suaminya yang kaya raya tidak membantu keuangan ibu kandungnya.

'Oh. Mungkin sikap itu yang membuat Anaya jatuh cinta, he ... cukup dewasa. Tapi kenapa kalau sama aku kekanak-kanakan banget?' batin Fania yang lalu meletakkan masakan yang dibuat ART.

Bersambung.