Mentari beranjak, seorang pemuda mengetuk pintu ruang inap Alfito. "Sudah siap pulang Mas?" tanya pemuda tampan di tengah pintu. Mengalihkan pandangan Fania kepadanya.
Ya, dia adalah Dayyan yang tidak lain adalah adik ipar dari Fania.
'Kenapa bukan dia yang jadi pacar Anaya. Kalau dia ... sepertinya aku mudah jatuh cintanya. Fania apa-apaan kamu ini?' batin wanita itu sadar, jika dia tidak boleh menyimpan rasa kepada Dayan. Dia segera mengalihkan pandangannya.
"Aku yang membawa barangnya Mas. Sekalian pamit mau ke pondok setelah mengantar barang ke rumah." Dayan mengemas barang Alfito.
"Oke ... hati-hati." Alfito berjalan sambil memegang perutnya. Dengan wajah terpaksa, Fania menggandengnya. Raut wajah datar dengan merunduk. Mereka berjalan pelan bersama.
Tangan Alfito meraih tangan Fania yang berada di lengan kanannya. Tindakan itu membuat Fania memandangnya.
"Terima kasih," bisik alvito kepada istrinya. Sangat berat mengembangkan senyum di bibirnya, dengan perasaan yang teramat terpaksa Fania tersenyum.
'Buat hamba betah dengan kepura-puraan ini semua. Rasanya sudah tidak tahan. Huft ... Anaya maaf,' batin Fania merasa sangat bersalah.
Dia tahu kalau pria yang kini sudah menjadi suaminya adalah sosok pria yang baik. Namun hatinya tetap tidak tersentuh.
***
Kemewahan dan kekayaan yang dimiliki Alfito sangatlah luar biasa. Alfito meraih ponselnya, dia menfoto dan mengabadikan saat berjalan pelan bersama istrinya.
'Ihh ... lebaynya ....' Fania merasa semua adalah hal konyol.
"Alfito ...." Panggil wanita paruh baya ketika Alfito hendak masuk mobil. Fania dan Alfito menoleh.
"Alfito kasihani Ibu. Ibu sama sekali tidak punya uang sekarang," rengek wanita paruh baya itu.
"Sayang kamu masuk mobil ya," pinta Alfito kepada Fania. Fania masuk dan terlihat tidak ingin tahu apa yang dibicarakan Alfito dan Ibunya itu.
Alfito mendekat kepada ibunya. "Aku tidak akan memberikan uang, kalau uang itu, hanya untuk selingkuhan ibu dan untuk judi. Sangat merugikan memberi uang, itu tidak dimanfaatkan dengan baik. Lebih baik aku memberi ke panti asuhan daripada kepada Ibu. Jika Ibu butuh uang, Aku tidak akan memberikannya. Kirim saja alamat rumah Ibu, aku akan membeli sembako, untuk makan ibu sehari-hari. Oh ya. Aku akan mengirimnya seminggu sekali dan tidak terlalu banyak, jika aku mengirim banyak-banyak. Bisa-bisa Ibu menjualnya, dan uangnya untuk judi. Jadi Ibu tidak usah takut soal makanan, aku jamin Ibu tidak akan kelapan. Apakah Ibu ingat? Kami bertiga kelapan bertahun-tahun, makan dengan deraian air mata dan berusaha tersenyum, Ibu pasti tidak mengingatnya. He ... sayang sekali, Ibu membuang waktu untuk orang yang tidak pantas dipertahankan."
Alfito mengatakannya dengan sangat pelan. Lihat Alfito tidak memberikan uang, Fania terlihat semakin tidak suka. Namun dia segera mengacuhkan pikiran itu. Karena dia belum mengenal Alfito lebih dalam. Tidak lama Alfito masuk mobil, dan meninggalkan ibunya sendiri.
'Nih orang, tidak ada akhlak sebagai anak atau bagaimana? Masa ibunya tidak diantar juga. Ah ... entahlah. Emang itu urusanku?' komentar Fania dalam hati.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang.
Fania menyandarkan punggungnya di jok mobil. Dia memejamkan mata, selalu dihantui dengan kejadian tragis di mana ibunya dan Anaya meninggal.
'Semua terjadi begitu cepat. Apakah kehidupan mewah ini akan bisa membuatku bahagia? Walaupun aku berhasil memenjarakan pria tua bangka itu, Apakah hatiku puas? Dan bagaimana kalau aku menyakiti Alfito? Kata ayah aku tidak boleh meminta cerai. Aku tidak ingin Ayah semakin benci kepadaku. Andai kau tahu ayah, sangat perih luka di hati ini. Ibu tidak pernah mengajariku sesuatu hal yang merugikan ku, walaupun kami kelaparan. Ibu selalu melindungi kehormatan ku. Semoga di dalam lubuk hati ayah, ayah bisa memaafkan ibu.' Harapan Fania dalam hati.
Pipinya terasa hangat tersentuh oleh suaminya. "Kamu kenapa menangis? Tenang saja, Aku akan segera menyuruh orang untuk mencari pembunuh dari ibu dan adikmu. Jangan sedih, melihatmu menangis hatiku teriris Iris."
Mendengar perhatian yang diberikan Alfito ada sedikit rasa nyaman, namun kalimat terakhir Alfito membuat Fania ingin mual.
Sentuhan lembut dari Alfito membuat Fania menatapnya. "Kamu percaya kan kepadaku. Oke ...." Pria itu lalu menyandarkan kepala Fania ke bahu jenjangnya. "Boleh aku tahu? Sejak aku jatuh cinta kepadamu, sama sekali tidak tahu kalau kamu masih memiliki ibu dan saudara. Apa kamu mau menceritakannya?" pinta Alfito.
"Sangat menyedihkan, tidak pantas untuk diceritakan."
"Baiklah ... aku akan jujur. Dengarkan aku baik-baik. Aku tidak ingin ada rahasia diantara kita, terlebih lagi rahasia tentang hubungan kita. Aku dan kedua adikku menjalani kisah yang teramat panjang, hingga sampai di titik ini. Kelaparan bertahun-tahun kami rasakan. Orang tua sibuk sendiri-sendiri, ibu dengan selingkuhannya. Dan ayah yang tidak bisa bekerja hanya melampiaskan kemarahannya dengan meminum, minuman keras. Kami bertiga sering makan, makanan sisa dari bertetangga." Alfito menelan salivanya sejenak, dan semakin erat menggenggam tangan Fania.
"Heh ... ya Allah. Heh ... Kami bertiga hidup gelandangan, di sebuah pasar. Tanpa punya pakaian ganti, bisa makan saja sudah bersyukur. Orang lain mengasihani kami, namun tidak dengan bapak dan ibu kami. Mereka tidak peduli kami tidur kedinginan. Ya Allah ... Kehidupan dan masa lalu adalah pembelajaran. Tidak harus dilupakan."
Fania yang mendengarnya, balik menghapus air mata suaminya. Alfito tersenyum lalu menahan tangan Fania di pipinya.
"Aku tidak menyangka jika kehidupan masa lalu, Mas sangat pahit."
"Kehidupan pahit itu membuat kami mengerti sebuah pelajaran penting, sebaiknya kehidupan kita harus mensyukuri dan menghadapinya. Cobaan itu ada dimana-mana, walaupun sudah bergelimang harta, tetap saja masih ada cobaan. Karena Allah menguji kesabaran kita, melihat hati kita. Ya ... seperti itu. Tolong dampingi aku terus Anaya."
Awalnya mendengar semua itu hati Fania tersentuh. Namun, kembali lagi Alfito menyebut nama Anaya, membuat Fania sadar posisinya di mana.
'Susah payah aku berusaha menerima semua ini. Tetap saja, aku Fania bukan Anaya,' batin Fania yang lalu menghadap lurus ke depan dengan wajah acuh.
"Oh ... maaf, aku lupa lagi. Wajar saja, setiap malam nama Anaya aku sebut dalam doaku. Ya Allah jadikan dia jodohku. Kata-kata itu aku jadikan dzikir. Itu karena aku sangat mencintaimu," bisik Alfito membuat Fania semakin tidak nyaman.
'Nyatanya, yang Allah berikan bukan Anaya tapi Fania. Ya Allah ... maaf, hamba tidak bisa menjadi bayang-bayang Anaya. Hamba tidak akan bisa menjadi Anaya,' batin Fania.
"Sayang ... kok diam sih. Baiklah ... maaf, Fania." Alfito menyandarkan dahinya ke kepala Fania.
"Sangat sulit memang, karena belum terbiasa. Malu sama supir ah," ujar Fania menghindar dari sandaran Alfito.
"Pak supir juga pernah muda sayang," kilahnya. Fania yang risih hanya pasrah.
Bersambung.