Di dalam rumah megah terlihat seorang gadis tertidur di atas sajadahnya setelah salat dhuhur, Diana terbangun karena ada suara yang memanggilnya.
Tok!
Tok!
Tok!
"Daina ..." suara itu milik Dayyan. Diana bergegas melepas mukena tanpa melipatnya, mengambil jilbab, bercermin sebentar, berjalan cepat lalu membuka pintu.
"Ya, Mas."
"Ada Gibran," ujar Dayyan singkat sambil memasukkan koper Alfito.
'Tadi mimpi indah, kok rasanya galau begini ya,' gumamnya.
"Pagi-pagi sudah di sini saja," ujar Diana acuh. Gibran menunjukkan ponselnya.
"Ha? Aku telepon kamu sebanyak itu? Ah masa sih? Horor nih." Diana tidak percaya, namun nyatanya dia menghubungi nomer Gibran sampai sebelas kali.
"Horor kenapa, itu hanya ponsel dan panggilan banyak darimu." Gibran akan mengintip tapi tak jadi.
"Bayanganmu di dalam sini." Ceplos Diana, Gibran menjenggung kepalanya, mereka tertawa.
"Tunggu ada hal penting, duduk." Diana memerintah, Gibran terpaksa duduk dan memainkan ponselnya, ia memutar lagu Roman picisan Once.
Diana datang ke teras dengan membawa dua mangkuk bakso, lalu menyodorkan ke Gibran. "Makan sebelum jadi ojol ku," ujar Diana.
"Bagaimana novel kamu?" tanya Gibran yang fokus pada hpnya, Diana duduk mereka berjarak 2 meter.
"Kok kamu tahu. Aku sedang proses bikin cerita fantasi. Apadaya ku, aku terlalu sibuk. Sibuk dengan fikiran aneh. Aku makan dulu nanti aku cerita, tolong dong berikan motifasi, kata-kata gitu lho." Diana mulai makan. "Bismillah."
"Aku bukan penyair dan bukan perangkai kata, aku hanya pendosa yang ingin lurus di jalanNya, aku hanya teman berbagi cerita dan bukan cinta. Ha ha ha..., itu konyol." Ceplosnya di sambung dengat tertawa tak henti.
"Itu keren lagi dong, eh kok bisa aku menelpon kamu sebanyak itu, ya?" kata Diana heran, sambil mengunyah makanannya.
"Bilang saja rindu, gak usah pura-pura. Jika kita berilmu maka amalkanlah ilmu mu dengan tindakan, jika berilmu tanpa tindakan maka ilmu yang masuk di otak dan raga hanya sia-sia tiada guna. Makanya aku bersi keras untuk membenahi motor kongkor itu, dengan susah payah tapi aku yakin akan berhasil, jangan pesimis itu katamu," kata bijak dari Gibran, Diana tersenyum. "Ciye ... terpesona ya?" ledek pemuda tampan itu.
"Aku tak menyangka kamu puitis, soal cinta dong," titah Diana. Gibran menoleh ke Diana mereka saling menatap lalu tertawa tak henti.
"Ha ha ha wajahmu konyol." ejek Gibran lalu kembali pada ponselnya dan memutar lagu Goliat Cinta Monyet.
"Kamu lebih konyol," sahut Diana. "Au sakit, sakit banget." Diana memegang dadanya, Gibran berdiri dan mendekat.
"Kamu kenapa? Apa perlu di carikan obat?" Gibran panik, Diana lemas.
"Tolong carikan jarum dan benang." Pintanya aneh, Gibran nyengir lalu tertawa hebat, ia lalu menahan tawa.
"Untuk apa? Sakit kok mintanya aneh?" tanya Gibran mengerutkan kening.
"Untuk menjahit hati ku yang robek, aku sudah rindu ...." terang Diana lalu tertawa, Gibran juga ikut tertawa mereka tertawa dengan puas.
"Aduh..., semakin majnun nih, orang, aku pulang ah. Tuh, makan baksonya." Gibran akan pergi. Diana melihat bayangan putih di jembatan.
"Gibran ...!" Diana teriak, Gibran menoleh dan berlari ke Diana .'Apa lagi ini, aku akan membuktikannya, dan Gibran akan jadi saksi keanehanku ini.'
Otak Diana berjalan dengan cepat. "60 detik x 17 menit= 1.020, berarti 17 menit lagi, ada apa?" Ia meletakkan mangkuknya, menutup pintu dengan keras lalu berlari sekuat tenaga. Mereka berpaspasan Diana menarik lengan baju Gibran.
"Ayo ikit aku," Diana ingin mengetes kemampuannya. Gibran ikut berlari tampa tau kenapa.
"Kita akan kemana?" tanya Gibran karena penasaran mereka tetap berlari.
"Udahlah ikut saja, 'Tapi akan terjadi apa nanti? ya Allah...,' Kejembatan." Lanjutnya setelah membatin.
Setelah berlarian mereka sampai, menukuk tubuh seperti rukuk, sambil membuang napas yang tergesa-gesa.
"Tiada orang di jembatan," gumamnya, Diana melihat ke matahari. " Masih ada waktu 7 menit." Lanjutnya, Gibran yang masih ngos-ngosan bingung melihat Diana
"Na ada apa? Kenapa kemari?" tanya Gibran berdiri dan mengamati tempat itu.
"Aku juga tidak tau," ceplos Diana dengan mata yang fokus ke semua tempat, dia juga ragu atas dirinya.
"Apa! lalu kenapa kemari?" Gibran mulai kesal, Diana menatapnya.
"Kita duduk, aku ingin cerita," pinta Diana, yang duduk melepos di pinggir jalan. Gibran mengikuti.
'Nih orang aneh banget sih untuk, Gibran kamu sahabatnya.' Batin Gibran, yang mulai malas.
"Ada gambaran yang muncul dengan angka detik." Cuplikan Indana yang menatap kosong. Gibran menoleh dan melihat Diana dengan wajah resah, Gibran setia mendengarkan.
"Aku tadi melihat akan ada sesuatu di jembatan itu, tapi belum jelas apa. Dan kemarin saat aku di halte aku melihat kecelakaan hebat, tapi juga tidak tau siapa, dan itu mungkin akan terjadi 3 hari lebih 180 menit lebih tepat 3 hari lebih 3 jam. Jika Allah STW menghendaki, aku masih membuktikan bayang yang hadir tanpa di undang ini, dan ini sangat membuat gelisah, aku benci ini. Kamu percaya?" Diana menoleh ke Gibran.
"Aku percaya, karena kau gadis mesin waktu, aku ada di samping mu, setiap saat kau butuh aku bersamamu, walaupun seperti misi konyol, tapi aku yakin ini akan seru dan jadi pengalaman hidupku. Dengar Diana jika kau di beri kelebihan, berarti Allah mempunyai rencana yang belum kamu ketahui. Kelebihanmu harus di syukuri dan jangan pedulikan omongan orang yang tak berguna. Mereka bicara sesuka hati tanpa mengaca pada diri sendiri." Gibran berkata-kata seperti kakak, dan sahabat.
"Tapi aku aneh Gibran," sahut Dian yang mengigit bibirnya dan terlihat dia resah dan cemas.
"Aku juga aneh. Tapi ini kenyataan yang tak bisa di tolak, kelebihan dan kekurangan harus kita syukuri, ah, malah seperti guru aku." Giban menyesalkan diri lalu tertawa. Mata mereka membulat ketika mendengar suara bayi.
"Kau dengar?" tanya pelan Diana.
"Suara bayi." Mereka lalu berdiri dan mencari asal suara itu. Gibran juga berdiri, mereka berlari mencari kesana kemari, membungkuk membuka kardus bekas.
"Di mana?" Gibran masih berusaha sambil mendengar asal angin membawa suara itu.
"Bran, di sungai!" teriak Diana, Gibran langsung menceburkan diri dan menarik bayi dalam keranjang yang mulai basah. Indana mengangkat dari sungai. Lalu meletakkan dan ia menarik tangan Gibran.
"Tidak perlu." Gibran menolak uluran tangan Diana. Diana tersenyum dan merasa di hargai, mereka memulai persahabatan tanpa tersentuh kulit, saling bersentuhan lewat kain. Gibran sudah terbebas dari Air.
Datang Pria berkumis tipis dan menangis.
"Ya Allah, maaf ya dek, Istri saya gila jadi membuang anaknya, biar saya bawa pulang. Tolong percaya sama saya." Pria itu memeluk bayinya dengan penuh kehangatan. Awalnya Gibran dan Diana tak percaya tapi mereka melihat wanita frustasi dari kejauhan dan mereka melihat ketulusan Pria itu.
Diana tidak mendengar batin buruk dari pria itu. Keduanya bingung mereka saling mengangguk dan setuju bayi itu di bawa bapaknya.
"Tapi jika di serahkan, sewaktu-waktu istri bapak membuangnya lagi," tegur Gibran yang masih kasihan pada bayi itu.
"Saya akan menitipkan kepada budenya, terima kasih ya." Pria itu membungkus bayinya dengan baju luarnya lalu pergi dengan langkah cepat.
"Alhamdulillah ..." ucap Gibran lega.
"Atas izin Allah kita menyelamatkan bayi. Huh sangat melelahkan." Mereka berjalan pulang, dan Adzan Asar memanggil.
"terima kasih Bran," ucap Diana, Gibran hanya menaikan alis dan tersenyum dengan dua jari di depan bibir, mereka berpisah, Gibran naik motor dan berlalu.
Bersambung.