Langkah cepat dari keduanya mengikuti beberapa orang di depannya. Yang membawa paksa gadis itu tanpa ampun. Segerombol orang itu membawa gadis ke Kantor Polisi.
"Apa nenek itu saksi? Hanya dia yang membela gadis itu," ujar Gibran, Diana berfikir.
"Pasti! Tapi dia tidak bisa membuktikan karena tidak bisa bicara. Tapi melihat pakaian gadis itu robek-robek saat dia mendorongmu. Aku merasa aneh dengan itu," ucap Diana, keduanya semakin berjalan cepat.
"Bagaimana kalau Nenek itu kita suruh menulis menulis? Siapa tahu dia tahu kejadiaannya." Gibran bertanya, Diana menghentikan langkah. Gibran menoleh.
"Ih ... Kamu jenius," ucap Diana gemes lalu mengacak-acak rambut Gibran. Saat itu, ada kebahagiaan tersendiri namun juga takut, takut jika Diana memiliki perasaan lebih kepada Gibran.
'Diana ... kenapa kamu ini, baru mengenalnya beberapa jam, kenapa jantungmu tidak karuan begini. Ingat kamu sakit, kamu tidak boleh memiliki perasaan lebih. Kenapa di saat seperti ini kepalaku pusing sekali, sakit,' batin Diana. Diana memejamkan mata.
Gejala yang dialami Diana adalah kangker otak. Sering juga disebut tumor otak, penyakit ini merupakan kondisi yang ditandai dengan tumbuhnya sel-sel abnormal di dalam atau di sekitar otak. Sel-sel abnormal itu tumbuh tak wajar dan tidak terkendali. Namun, tumor di dalam otak ini tidak selalu berubah menjadi tumor ganas atau kanker. Jika kondisi Diana ini menunjukan jika ia sudah stadium empat.
Gibran berlalu dan menarik Nenek itu untuk menepi, Nenek itu menangis dan maksudnya juga ingin menjelaskan, namun ia tidak bisa. Diana masih memegang tangannya yang selalu bergemetar, Diana menelan ludah.
'Ya Allah kuatkan hamba jangan sampai dia tau kalau aku sedang sakit. Aamiin,' batinnya mengangkat kedua tangan lalu mengusap wajah.
"Huh ..." membuang napas agar rileks.
"Di," panggil Gibran dari kejauhan. Diana berlari. Mereka duduk di depan kantor polisi.
"Nek, tolong tuliskan bagaimana kejadian tadi?" pinta Gibran, Diana habis dari toko kecil untuk membeli buku dan pulpen.
"Ha ha." Nenek itu hanya menggerakkan tangan.
"Apa Nenek tidak bisa menulis?" tanya Diana duduk di bawah, Nenek itu mengangguk. Gibran dan Diana menghela napas payah. Keduanya berfikir.
"Oke. Jika yang saya katakan benar, Nenek mengangguk ya," pinta Diana, Gibran tidak berhenti memandang gadis manis itu.
"Apa gadis itu akan diperkosa?" tanya Diana. Nenek itu mengangguk. "Apa karena akan membela diri, jadi gadis itu memukul pria itu dengan besi sampai kepalanya berdarah?" tanya Diana lagi. Nenek itu menggelengkan kepala, Gibran dan Diana saling menatap bingung. "Nek, beri petunjuk," pinta Diana.
Saat itu Gibran sangat terpesona, namun ia mengendalikan diri. Nenek itu berdiri mengajak masuk.
'Diana fokus, tidak mungkin juga kamu suka sama Gibran. Gadis impian Gibran juga pastinya yang seksi, seperti ayam potong. Yang berisi dan waw lekuk tubuhnya. Stop. Ini hanya kekaguman biasa.' batin gadis itu menegur diri sendiri.
"Mungkin saja Nenek akan memberi petunjuk," ucap Gibran tiba-tiba penuh keyakinan, saat Nenek itu mengajak paksa kedua insan muda itu.
"Ayo masuk," ajak Gibran berdiri, mereka berjalan cepat kedalam kantor. Saat itu gadis yang masih seusia Diana menangis.
Warga desa bersi kukuh akan mempenjarakan gadis itu.
"Saya keberatan Pak Polisi, dia korban, dia hanya membela diri," jelas Diana.
"Tau apa kamu anak muda. Dia sudah menggoda ketua RT sampai membunuhnya!" ujar salah satunya. Indana sangat terkejut.
"Pak saya mohon maaf. Sekarang begini, saksi mata."
"Hallah! Jangan didengar Pak." salah satunya menyahut dan menarik Diana. Diana sampai akan terjatuh, untung saja Gibran sigap nenahan tubuhnya, kepala Diana sangat sakit saat itu, matanya menatap Gibran,
'Allah mengirimku padanya, dan dialah kekuatan besarku. Diana kamu tahan sebentar lagi,' batin gadis itu. Diana yang canggung segera berdiri. Gibran melepaskan bahunya.
"Pak, Nenek ini saksi matanya," ucapan Gibran ngotot tapi tidak meyakinkan. Walau ia bersuara lantang tidak ada yang membelanya.
"Dia bisu ...." ujar lelaki yang tadi mendorong Diana.
"Tap." Gibran baru akan berbicara.
"Tapi dia orang tuanya Pak RT, Ibu kandungnya," ungkap salah satu warga, semua tercengang.
Nenek itu menujuk gadis itu dan melambaikan tangan yang berarti tidak. Sangat mengejutkan lagi saat nenek itu menarik pria yang mendorong Diana tadi. Dan menunjuk pria itu, dan meragakan gerakan memukul. Dan menujuk gadis itu, lalu menunjuk pria itu.
"Apa dia yang memukul Pak RT?" tanya Gibran, Nenek itu mengangguk. Pria itu akan melarikan diri namun empat warga menahanya. "Dia yang akan menodai gadis itu?" tanya Gibran lebih lanjut. Nenek itu membenarkan.
"Jadi maksud Nenek ketika Pak RT akan menyelamatkan gadis dari pria itu. Pak RT di pukul?" tanya Polisi Nenek itu mengangguk.
"Jadi sudah jelas ya Pak. Kami pamit," ujar Gibran yang melihat Diana kesakitan, Gibran menarik lengannya lalu keluar.
"Aku merasa kamu tidak sehat. Sebenarnya kamu kenapa?" tanya Gibran setah berada di luar kantor.
"Ya karena jatuh dari motor," ujar Diana.
"O ... kalau itu sih aku juga. Ayo," ajak Gibran.
'Maafkan aku telah berbohong. Aku tidak ingin kamu tau. Sudah lama aku menyembunyikan kangker ini dari keluargaku. Aku hanya ingin melihat Kakak-kakakku bahagia sebelum aku pergi. Ya ... walaupun aku tidak tau umurku dan harapan hidupku, masih panjang atau tinggal sebentar. Aku ingin menyatukan Mas Alfito dan Mbak Fania kalau bisa. Aku ingin Mbak Fania tahu kalau Mas Alfito sangat mencintainya. Mas Alfito tidak mempedulikan dia Fania atau Anaya.' Batin Diana.
'Aku merasa kamu menyembuyikan rahasia besar,' batin Gibran lalu berjalan merunduk.
Brug!
Ia menabrak sahabatnya. "Dari tadi kamu melamun ya? Ada masalah ya? Kamu tidak mau berbagi? Dasar, maukah kamu bercanda," ajak Diana, Gibran tersenyum.
Keduanya berjalan bersama di jalan setapak.
"Bercanda apa?" tanya Gibran, Diana tertawa.
"Bunga apa yang tidak harum?" tanya Diana.
"Ya bunga bangkai," jawab cepat Gibran
"Aku memang tidak bisa ngelucu. Ceh," keluh Diana. Gibran tertawa mendengar Diana menyerah.
"Mesin apa yang berjalan?" tanya Gibran. Diana tertawa. "Teruslah tertawa Diana." ucap Gibran pelan, Diana berhenti tertawa lalu menatap pemuda tampan itu.
'Diana jangan pingsan,' batinnya berusaha membuka mata. Saat pemuda di depannya terlihat semakin samar, karena pandangannya yang buram.
"Berjanjilah kamu tidak akan pergi jauh dariku," pinta Diana.
"Memang apa alasannya? Apa akan ada rindu? Ah ... Pasti rindu ya?" tanya Gibran sambil meledek, keduanya kembali berjalan. Diana menguatkan diri.
"Ya jelaslah ... sangat rindu." ceplos Diana yang lalu mengangkat wajah kelangit.
"Gibran, tolong jangan berfikiran kalau aku hanya memanfaatkanmu," ucapan Diana, membuat Gibran menghentikan langkah dan menatap dengan manik tajamnya.
"Ciye ... terhenti melangkah. Aku pamit pulang ya. Tuh rumahku, besok kita ketemu lagi." Diana berjalan cepat ke rumah megahnya. Gibran hanya tersenyum lalu kembali ke motornya yang sedikit lecet.
Bersambung