Malam semakin dingin, angin berhembus syahdu. Kedua insan masih berada di tempat duduknya. Mengamati Diana yang sangat memperhatikan bocah jalanan itu.
"Terima kasih Kak." bocah itu pergi dengan membawa bungkusan yang diberikan oleh Diana. Diana terus menatap, hingga tak terlihat lagi dari pandangannya.
"Aku tidak menyangka kamu sangat peduli," ujar Gibran. Diana tidak berkata, dia hanya tersenyum kemudian makan.
'Kehidupanku dulu sangat parah, hingga pada akhirnya Mas Alfito menemukan titik kesuksesan. Belajar sabar dan terus ikhtiar tidak putus asa walaupun banyak rintangan. Masa pahit pelajaran di masa depan,' batin Diana yang kemudian menaikkan wajahnya untuk menahan tangis.
"Ngapain tadi pagi di rumah sakit?" tanya Gibran memecah keheningan.
"Oh ... jadi tadi pagi kamu. Pantas saja aku merasa mengenali tapi lupa."
"Kamu ini benar-benar tidak mengenal aku? Aku kan yang terkeren sekampus?" Gibran bertanya dengan nada kepedeannya.
"Huekkk." Diana mual mendengar semua perkataan Gibran. Gibran tertawa lepas.
"Hahaha. Bilang saja, makin cinta ya 'kan," ujar Gibran yang terus memandangi gadis cantik itu. Diam-diam Diana melirik. "Pandang saja, nggak usah ngelirik nanggung tahu." Gibran memergoki Diana. Gadis itu seketika tertipu dan menutupi wajahnya dengan tangan.
"Bagaimana kamu tahu soal Rehan?"
"Semua mahasiswi tahu, kalau dia sangat mudah mendapatkan gadis manapun. Walau tampan aku dan ganteng aku." Gibran belum selesai mengatakan Diana bergumam dengan menggerakkan bibirnya.
"Hahaha. Kamu pasti mengumpatkan di dalam hati. Aku tidak mudah mendapatkan gadis atau jatuh cinta kepada gadis. Jujur saja aku tertarik, sama kamu." Pengakuan Gibran membuat Diana terbelalak. "Jangan pede dulu aku tertarik untuk."
"Bukan untuk jadi pacar 'kan?" sahut Diana, Gibran tertawa tidak henti. Diana melihat Gibran yang tertawa puas dia sangat kesal.
"Hahaha. Aku tahu kelebihanmu. Banyak teman-teman yang mengatakan kamu memiliki kelebihan bisa ... melihat sesuatu yang akan terjadi kepada orang-orang terdekatmu. Jadi aku tertarik untuk menjadi temanmu. Aku yakin, kamu sulitkan mempunyai teman yang sejati. Jadi bagaimana? Apa kamu menerima tawaranku? Tidak ya tidak apa-apa, cuma kalau ada aku kan, aku bisa membantu."
"Emmm."
"Diana. Mataku menantikanmu dengan terjaga semalaman, tapi tidak ada kabar darimu. Dari kejauhan aku memandangmu, mengamatimu, memperhatikanmu, sayangnya selama ini aku tidak berani untuk meminta nomor ponsel mu. Ingatan-ingatan tentangmu berulang kali datang. Kali ini yang aku harapkan, kita menjadi teman yang nantinya untuk menikah."
Semua ucapan Gibran, mendatangkan perasaan sangat aneh di dalam hati Diana. Kedua mata saling bertemu dan memiliki arti masing-masing, seakan waktu terhenti. Diana melihat keseriusan di mata Gibran namun dia juga faham akan sikap Gibran mudah bercanda.
"Jangan mudah percaya jika laki-laki mengatakan hal seperti itu. Ah ... kamu ini, sepertinya mudah terpesona ya." Ternyata semua cuma drama Gibran, itulah cara dia menasehati Diana agar tidak mudah terbujuk rayu.
'Hih ... laki-laki ini! Kenapa juga, rasanya di dalam hati berguncang tidak karuan. Huft ... Diana. Kamu kan sudah memahami keusilannya. Tapi perkataan dia membuat aku berdebar-debar. Hih ....' keluh Diana.
"Kenapa diam? Berharap beneran?" tanya Gibran, meledek Diana yang terlihat salah tingkah.
"Males punya temen kayak kamu. Kamu mudah PHP. Nanti kalau kamu punya pacar. Pacarmu nuduh aku pelakor. Hi ... nggak ah," tolak Diana.
"Kalau aku tidak punya pacar, kamu mau jadi temanku? Lumayan loh, bisa juga kamu jadikan ojek. Aku siap mengantarmu kemana pun untuk menjalani misi-misi mu. Aku bisa pencak silat, aku bisa melindungimu. Seperti tadi, tapi kalau kamu tidak mau aku juga tidak mau. Sorry aku tidak memaksa," ujar Gibran yang lalu melihat ke arah lain.
"Kenapa kamu menawarkan diri? Apa kamu tidak seperti yang lain, menganggapku aneh?"
"Ya pumpung aku masih muda. Kamu memang aneh," kata Gibran cepat. "Tapi cantik," imbuhnya cepat membuat Diana semakin tidak karuan. "Tapi kemampuanmu adalah sesuatu hal yang sangat istimewa. Dan itu pemberian Allah. Mumpung aku masih menjadi pengangguran, kalau aku sudah kerja, tidak mungkin aku ingin menjadi temanmu. Menurutku, menjadi temanmu adalah sesuatu yang sangat menarik.
Siapa tahu ... dengan menjadi temanmu, yang siap mengantarmu dalam petualangan fantasi, aku mendapatkan pelajaran hidup yang banyak. Pelajaran hidup yang membuat aku lebih baik."
"Tumben otaknya bener!"
"Apa kamu bilang?! Dari dulu memang otakku bener! Omonganku saja yang kadang kurang bener," kata Gibran, Diana menahan senyum karena Gibran mengakui kekurangannya. "Ciye ... tertawa."
"Baiklah aku setuju menjadi temanmu. Walaupun kamu kurang meyakinkan, walaupun kamu sangat aneh. Aku setuju, nggak nyangka sih. Baru mengenal kamu sudah mengajukan proposal pertemanan. Itu konyol," ujar Diana terlihat bahagia.
"Tapi bahagia kan?! Jarang-jarang lho ... ada orang yang mau berteman denganmu," kata Gibran, membuat Diana mengangguk
"Kamu bener banget, kakak ku saja kadang tidak percaya dengan kemampuan ku. Mereka bilang aku halu, aneh. Hehehe. Tapi masih banyak tanda tanya lho. Aku belum mengenalmu sama sekali."
"Makanya berteman biar kenal. Setelah mengenal biar sayang. Kan katanya tak kenal maka tak sayang." Pemikiran Gibran sangat tenang, Diana menatap pemuda tampan itu yang tengah asik dengan ponselnya. "Apa sudah sayang?" tanya Gibran yang memergoki Diana Sedang memperhatikannya.
"Hehehe. Dasar, apa jangan-jangan kamu ini modus. Awalnya temen tapi ngajak nikah?" tanya Diana sambil mengusap bibirnya dengan tisu.
"Tuh tahu," jawab Gibran. Keduanya tertawa.
"Hehehe. Lucu juga kamu. Yang terpenting, kamu ini mempercayakan aku menjadi temanmu atau tidak? Teman yang bisa membawamu ke arah positif. Kita sama-sama berteman untuk kebaikan, saling mengingatkan ketika kita salah. Cie ... kayak pak ustad saja aku."
Diana yang mendengar itu tidak henti menatap Gibran. "Dengar Di. Kamu pasti tahu kan, jika nanti aku bertujuan jelek pasti kamu memahaminya. Jika aku bukan pemuda baik, jangan jadikan aku temanmu, Tuh kan ... sudah terpesona lagi ... sudah terpana lagi ... aku sadar aku ganteng abis." Gibran semakin ke-gr-an Diana tidak henti tertawa.
"Sudah ayo pulang saja. Kurang 10 menit kamu harus bisa sampai di rumah Mas ku."
"Halah. Bilang saja modus ingin peluk ... ya 'kan? Biar aku ngebut dan kamu memelukku sangat erat wah ... hangat."
Cuittt!
"Hobbi banget. Bilang saja aku ini gemesin ya kan ... maaf-maaf, aku bercanda terus. Dah, yok." Gibran berdiri, Diana juga. Keduanya mendatangi pedagang.
"Biar aku saja yang bayar." Diana akan memberikan uang ke pedagang, Gibran mencegahnya.
"Aku bukan pemuda matre, mana ada perempuan bayarin makan saat dinner. Sudah, itu untuk besok saja. Berapa Pak, sama punya anak tadi, jadi totalnya 21 mie ayam."
Diana terus menatap Gibran. "Jangan seperti itu, tatap matamu bagai busur panah yang kau lepaskan ke jantung hatiku. Dan au ...."
"Alay." Diana berjalan cepat ke motor Gibran, dari tempatnya Gibran tersenyum menawan. Diana menepis perasaannya.
'Ya Allah pemuda itu membuat aku bingung. Tapi aku memang butuh teman, teman yang bisa menjagaku. Dan aku memang percaya sama dia, sejak aku numpang naik motornya. Hatiku sangat yakin bahwa dia pemuda yang baik. Semoga misi-misi penyelamatan dari petunjuk yang Engkau beri berhasil. Aamiin,' harapan Diana dalam hati.
Gibran datang lalu mengambil helm. "Cepat pakai."
"Kamu saja yang pakai," kata Diana menolak ketika Gibran hendak memakaikan.
"Jangan keras kepala ayo pakai!" titah Gibran. Diana tersenyum dan dia setuju.
"Kamu bener tidak punya pacar 'kan? Aku tidak mau dibilang pelakor!"
"Aku punya wanita yang aku cinta. Tapi bukan pacar, melainkan Ibu dan adik perempuanku, jadi ... santai saja." Gibran naik ke motornya.
'Aku trauma, Ibuku pelakor, dan aku sendiri tidak tahu nasib istri dari laki-laki yang memilih ibuku. Sangat menyedihkan, namun aku harus bersyukur karena sekarang aku dan kakak-kakakku, sudah bahagia,' batin Diana.
"Hai, malah ngelamun," tegur Gibran. Diana tertawa kecil lalu naik. "Pegangan yang erat agar tidak melayang."
"Bilang saja mau dipeluk iya 'kan?"
"Iya sih. Tapi belum muhrim."
"Makanya cepat halalin," sahut Diana.
"Memang mau. Hahaha, kita bercanda mulu. Siap ...." Gibran menarik gas motornya, Diana berpegangan di bahu Gibran, motor melaju dengan kecepatan tinggi.
Bersambung.