Chereads / One Night Love With Friend / Chapter 10 - Bertemu dengan Hans, lalu kesakitan

Chapter 10 - Bertemu dengan Hans, lalu kesakitan

"Mudah sekali kamu berkata seperti itu padaku. Kamu pikir mencintai itu bisa memilih kepada siapa. Tidak, Nicole. Sungguh aku tidak mengerti denganmu, sampai-sampai kamu meminta kita untuk menikah. Seharusnya jika memang kamu tidak ingin denganku jangan mengajakku untuk menikah. Lalu sekarang apa langkah yang harus kita pilih untuk hubungan ini? Bertahan atau pergi? Katakan saja padaku terus terang." Dengan menyakinkan dirinya Anna menginginkan kejelasan.

Namun, saat mendengar ucapan Anna seperti itu membuat Nicole terdiam. Entah apa yang dia pikirkan sampai membuat Anna terheran.

"Kenapa kamu tidak menjawab?"

"Aku hanya sedang berpikir bagaimana kalau kita membuat perjanjian untuk pernikahan ini? Karena aku tidak ingin menceraikan mu," ucap Nicole dengan serius.

"Apa?! Perjanjian?" Anna berteriak terkejut.

"Yah perjanjian, aku akan membuatnya untuk kita jadi bersabarlah, hari ini akan ku buatkan, kalau begitu tidurlah aku tidak suka melihat wajahmu yang sok polos itu, An," ejek Nicole, lalu berlalu-lalang begitu saja.

Mendengar hal itu membuat Anna kembali menangis, ia terus menangis seorang diri tanpa di pedulikan oleh Nicole. Sampai-sampai saat dirinya berjalan kearah kamar mereka pintu kamar sudah tidak bisa terbuka, sebab sudah terkunci dari dalam. Percuma saja ku masuk kedalam yang ada hanya kekesalan baginya, itulah pikir Anna kala itu.

Lalu dirinya berjalan kearah dapur, mengambil air minum. Tubuhnya merasa kelelahan, ia ingin ketenangan hingga akhirnya Anna memutuskan untuk masuk ke salah satu kamar yang lain dan duduk di atas balkon kamar itu tanpa melupakan ponselnya. Membuka ponsel miliknya lalu membuka salah satu aplikasi khusus untuk mencatat sesuatu, hingga akhirnya ia menuliskan apa yang sedang ia rasakan saat itu.

POV Anna Gisella.

Terduduk diam seorang diri tanpa peluk kasih sayang yang selama ini ku harapkan. Ku pikir kamu mencintaiku, nyatanya aku hanya bualan semata mu. Semilir angin menusuk tulang, saat aku merasa kedinginan. Ingin ku terbang di antara bintang-bintang. Berteriak sekuat tenaga agar kelegaan bisa kurasa. Andai kamu paham dengan perasaan, akan ku jelaskan bagaimana caranya membalas kasih sayang.

Setiap baris kata ku tuliskan agar hatiku sedikit tenang, tapi saat aku sibuk dengan tulisan diary itu tiba-tiba saja dering ponsel mengganggu pikiranku. "Siapa yang menghubungiku tengah malam seperti ini?" gumam ku sembari membuka panggilan.

"Hans? Tumben sekali dia menghubungiku tengah malam? Apa sebaiknya ku jawab saja agar aku tidak terlalu kesepian duduk di sini, ah sudahlah."

Panggilan terjawab. "Hallo, Hans."

"Hai, An. Kamu belum tidur? Kupikir kamu sudah tidur ternyata belum," ucap Hans dari balik ponsel.

"Belum, memangnya ada apa? Ini sudah larut malam loh," tanyaku.

"Aku hanya ingin menghubungimu saja. Memangnya kenapa? Ada ada yang melarangnya?"

"Um, tidak hanya saja ... aku sudah meni- ah tidak maksudku ini sudah larut malam hehe, tapi tidak apa-apa untuk saat ini saja."

"Ku pikir ada apa. Oh ya, An. Berhubung kita sedang berbicara bagaimana kalau besok kita jalan-jalan? Apa besok kamu ada kegiatan lain?" tanya Hans.

"Jalan-jalan?! Memangnya kita akan kemana?"

"Hanya bermain, berkeliling kota mungkin. Yah begitulah apalagi besok weekend. Bukankah itu sangat menarik? Kamu mau kan, An?"

"Um, baiklah."

"Makasih ya, An. Ya sudah kalau begitu aku akan mengabari mu lagi besok. Bolehkah kalau aku yang menjemputmu?"

"Tidak ap-a." Ucapan ku terhenti saat melihat sosok pria yang baru genap sehari menjadi suamiku. Tanpa sepengetahuanku dia sudah berdiri di sampingku sembari menatapku dengan tatapan tajam.

"Oh jadi kamu di sini, pantas saja kamu tidak keberatan kalau aku mengunci pintu dari dalam. Rupanya sedang selingkuh," ketus Nicole dengan seenaknya.

Di balik ponselku, Hans terkejut, ia lalu bertanya saat aku sedang ingin menjawab ucapan suamiku.

"An, siapa itu? Kenapa ada suara pria di dekatmu?"

Dengan kasar Nicole merampas ponselku, lalu ia berkata. "Heh! Gue suaminya, emang kenapa, hah?"

"Apa? Suami?! Lo jangan ngaku-ngaku deh. Balikin cepat handphonenya Anna! Anna, apa kamu masih di sana? Apa kamu bisa mendengar ucapan ku? Berikan alamat rumahmu atau jika tidak maka aku yang akan melacak lokasi kalian." Hans terlihat begitu khawatir, tetapi ponsel tersebut masih berada di tangan Nicole tanpa memberikanku waktu untuk menjelaskannya.

"Lo jangan banyak ngomong ya, gue udah bilang gue suaminya, dan berhenti telepon istri orang tengah malam begini!"

Setelah mengatakan itu, Nicole langsung mematikan ponselku tanpa memberikannya kepadaku. Entah bagaimana jalan pikirnya sungguh tidak ku pahami. Padahal jelas-jelas jika dia tidak menyukaiku lalu kenapa dia bersikap seperti orang yang sedang cemburu?

Melihat tingkahnya yang begitu egois dan seenaknya membuatku muak, dan aku memberanikan diri untuk merebut ponselku meskipun kutahu tenagaku tidaklah sebanding dengannya. "Kembalikan ponselku, Nicole!"

"Untuk apa? Kamu ingin menghubungi pria sialan itu lagi ya? Namanya Hans kan? Heh, dasar istri tidak tahu diri. Berani sekali kamu berselingkuh di dalam rumahku. Jika mau berselingkuh, sana keluar jangan merusak rumahku dengan kelakuan mu yang murahan," bentak Nicole dengan kasar sampai penghinaan yang kembali ia lontarkan.

Plak! Tamparan mendarat tepat pipinya. Kekesalanku begitu besar sampai akhirnya aku muak melihat wajahnya itu apalagi mulutnya yang begitu mudah menghina ku. Tangisan kembali jatuh membasahi wajahku, dan akhirnya aku kembali tersakiti untuk kesekian kalinya.

"Jaga ucapan mu, Nicole! Aku tidak seperti yang kamu katakan!" balasku dengan bentakan yang menurutku tidak ada efek takut baginya.

"Jadi ucapan ku salah begitu ya? Huh! Padahal kamu memang wanita murahan yang duluan memberikan tubuhmu padaku sebelum kita menikah. Apa namanya itu jika bukan murahan? Wanita hiburan ya? Ha-ha-ha mungkin saja kamu sudah sering memberikan tubuhmu kepada pria lain terutama selingkuhan mu itu ya?"

Penghinaan bertubi-tubi yang ku terima, membuatku kebal akan itu. Menghapus air mata meskipun hatiku sangat sakit, tetapi aku mencoba untuk tetap tersenyum di saat aku terlihat begitu rendah di matanya.

Lalu ku menyahut ucapannya. "Ya aku wanita yang bukan baik-baik, yang tidak layak untukmu. Memang aku tahu itu, Nicole. Ternyata benar aku salah sudah mencintai sahabatku sendiri. Seharusnya aku harus sadar kalau orang itu selamanya mencintai wanita pilihannya. Baiklah, kalau memang begitu niatmu. Malam ini juga aku akan pergi! Masa bodoh dengan keperawanan! Mau aku dihina oleh massa sekalipun aku tetap tidak akan peduli, karena bagiku kesucian ku tidak bisa kamu nilai. Kau tahu, mahkota ku lepas karena dirimu. Baiklah kalau begitu kita berpisah di sini saja, dan tolong berikan ponselku."

Dirinya terdiam saat aku mengatakan semuanya, dan ponsel berhasil kuambil karena Nicole terlihat seperti sedang berpikir sesuatu sampai ia tidak sadar ponsel sudah berada di tanganku. Tanpa berpikir panjang lagi aku berlari keluar dari sana dengan tetesan air mata yang tidak dapat ku bendung lagi.