Haura heran dengan sikap Abimayu, seharusnya dia berusaha keras untuk menentang tanggal pernikahan itu, atau mungkin karena Firhan temannya, itulah sebabnya ia mengikuti kemauan ayahnya.
Bagaimana pun keputusan Abi terkait tanggal pernikahan mereka, Haura sangat yakin kalau sebenarnya Abi tidak menginginkan pernikahan itu.
"Aku merusak kebahagiaan orang lain. Seharusnya bukan aku yang akan menjadi istrinya, tapi kekasihnya," batin Haura.
"Ra, Kamu kenapa?" tanya Firhan.
Haura menyadarkan lamunannya. "Apa Haura boleh minta sesuatu?" tanyanya pada semua orang.
Abi menatap wajah Haura dengan tatapan yang serius. "Apa lagi yang dia inginkan? Tidak puaskah dia dengan mempercepat pernikahan ini, entah apa rencananya?" ucap Abi dalam hati.
"Haura ingin pernikahan nanti sederhana saja, cukup keluarga dan kerabat terdekat yang datang." Sebenarnya Haura juga ingin pernikahannya di laksanakan dengan semestisnya, mengundang banyak tamu. Namun, ia memikirkan Abimayu.
"Semua wanita yang aku temui ingin menikah dengan mewah, tapi kenapa Haura tidak? Apa ini bagian dari rencananya?" batin Abi.
"Kami tergantung kalian maunya bagaimana, toh itu juga kalian yang menjalaninya."
"Terimakasih Tante."
Setelah pembahasan mengenai pernikahan selesai, kedua keluarga itu melanjutkan dengan makan malam dan menyantap hidangan yang sudah di siapkan.
Kedua keluarga itu sangat menikmati malam itu. Tawa yang begitu bahagia sangat nampak di kedua mata Haura. Dia bingung apakah dirinya harus bahagia juga di atas penderitaan orang lain.
Jam sudah menunjukkan jam 10 malam. Keluarga Abimayu sudah pulang. Kini Haura dan Hera sedang membersihkan ruang tamu dan meja makan. Mereka membagi tugas, Haura merapikan bagian ruang tamu, sedangkan Hera di dapur.
Saat semuanya sudah selesai Haura langsung pamit menuju kamarnya. Ia juga harus melanjutkan skripsinya. "Kak Haura ke kamar ya."
"Iya Ra. Maafkan kakak ya tidak bisa berbuat apa-apa," ucap Hera yang menghentikan Langkah Haura.
Haura berbalik dan tersenyum. "Terima kasih sudah menjadi sosok ibu untuk Haura, Kak."
Hera tidak bisa menyembunyikan senyuman bangganya kepada Haura. Dia benar-benar anak yang baik dan berbakti kepada orang tua. Hera sangat beruntung bisa menjadi bagian dari keluarga Hermansyah.
Hari masih begitu pagi, bahkan matahari belum menampakkan wujudnya. Haura sudah siap dengan ponselnya untuk menelpon Intan. Meminta bantuannya untuk menjawab pertanyaan Faiz.
"Assalamu'alaikum Tan, nanti ajak Faiz ke taman ya. Aku mau memberikan jawabanku."
[Kamu sudah memikirkan jawaban terbaik kan? Apapun keputusanmu aku akan selalu mendukung kamu, Ra.]
"Makasih Tan, sekalian bantuin aku untuk menyiapkan acara seminar besok ya."
[Siap Rara ku.]
Mengihklaskan seseorang di cintai memang berat, namun di balik itu Allah pasti sedang menyiapkan kebahagiaan bagi mereka yang mau bersabar. Mereka yang menjadi hamba pilihanlah yang hanya menerima ujian dari-NYA.
Sembari menunggu kedatangan Faiz dan Intan. Haura memutuskan untuk melihat perkembangan acara seminar. Acara itu akan di laksanakan di aula pertemuan antar dosen.
Setibanya Haura di aula itu, semua orang sedang sibuk mendekorasi dan membersihkan aula. Haura teringat dengan ucapan Abimayu bahwa dia menginginkan ruangan yang nyaman, bersih, dan Ber-Ac.
Oleh karena itu, Haura membantu para anggotanya untuk menyiapkan ruangan yang di maksud Abimayu. Haura juga sudah memeriksa AC dan layar infokus yang pas. Memastikan kursi yang akan diduduki Abimayu nyaman.
"Kak, Imam lihat kakak sangat berusaha keras memberikan pelayanan kepada Pemateri, Apa ini tuntutan dari dia?" tanya Imam, salah satu adik kelasnya yang penasaran.
"Siapapun pematerinya kita harus selalu memberikan yang terbaik, terlepas dia dosen, mahasiswa, atau yang lainnya."
Imam menggelengkan kepalanya dan bertepuk tangan pelan. "Aku tidak salah mengagumi orang," ujar Imam.
"Kak Haura sudah punya orang yang di kaguminya kali Mam, yang jelas bukan kamu," pekik Sandra.
Haura tertawa melihat kelakuan adik kelasnya itu. "Kakak tinggal dulu ya, semangat."
"Siap kakak tercantik yang pernah aku temui."
Dengan Langkah pelan sembari memikirkan ucapan yang akan dia lontarkan kepada Faiz, Haura harus menyiapkan mental dan hati yang kuat menghadapi cinta dalam diamnya itu. Dan perlahan melupakannya sebagai orang yang pernah ia kagumi.
"Haura," panggil Intan dari kejauhan. Sudah ada sosok laki-laki yang duduk membelakangi Haura.
"Bismillah, kamu bisa, Ra."
Kini Haura sudah ada di dekat Faiz dan Intan, tapi dia bingung harus mulai dari mana. Apa harus basa-basa terlebih dahulu atau langsung to the point.
"Iz, sebelumnya aku mau minta maaf kalau mengatakan ini kepadamu, tapi untuk masalah yang kemarin, aku tidak bisa Iz, karena …."
"Karena laki-laki lain sudah lebih dulu melamar mu," sambung Faiz cepat.
"Kamu tau dari mana?"
"Pertama kali aku melihatmu, entah kenapa aku merasakan perasaan yang sangat aneh, awalnya aku kira aku hanya mengagumi, tapi ternyata aku jatuh cinta."
Faiz menjelaskan itu kepada Haura sembari mengingat pertemuan pertama mereka di sebuah pinggir jalan. Saat itu Haura sedang membeli gorengan dan Faiz sedang membeli dagangan seorang nenek.
Sebenarnya Haura juga ingin menjelaskan perasaannya kepada Faiz, bahwa ia juga menyukai Faiz, tapi Faiz terlambat. Haura sudah lebih dulu di jodohkan dengan orang lain.
"Maafkan aku, Iz. Aku yakin kamu akan mendapatkan wanita yang lebih baik dari aku. Seandainya saka kamu datang lebih awal, mungkin saja aku bisa menerima lamaranmu. Sekali lagi maafkan aku, Iz."
Faiz tersenyum ke arah Haura. "Seharusnya sejak aku menyadari perasaan ku, aku langsung melamar mu. Namun, kita mungkin tidak di takdirkan bersama. Kalau begitu aku permisi dulu. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam." Haura langsung terduduk di kursi taman. Ia tidak menyangka ternyata selama ini mereka memendam perasaan yang sama satu sama lain.
Haura berusaha tegar di hadapan Intan, padahal perasaanya sangat sedih. Intan memeluk Haura dan menepuk pundaknya pelan seraya menenangkan Haura. Dia memang perempuan yang hatinya seperti baja.
"Gini ya, Tan rasanya, ketika kita harus mengihklaskan orang yang kita kagumi sejak dulu, demi orang yang entah bisa mencintai kita atau tidak."
Intan membulatkan matanya. "Maksudnya Ra, Tidak mungkin. Apa kamu sudah menyukai Faiz sejak lama?"
Kini Haura akan mengatakan yang sejujurnya kepada Intan. Ia tidak ingin menutupinya lagi. Ia juga menceritakan kalau Abimayu juga sudah punya kekasih.
Sontak hal itu membuat Intan terkejut. "Kenapa kamu mau terima perjodohan itu, Ra?" tanya intan.
"Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk membahagiakan ayah aku, Tan. Dia mengidap kanker Hati."
Tanpa Intan sadari air matanya ikut menetes. Ia membayangkan betapa beratnya hari-hari yang akan di hadapi sahabatnya itu.
"Alasan Abimayu menerima perjodohan itu apa, padahal ia sudah punya kekasih."
Haura menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu, Tan. Pernikahan kami tinggal satu minggu lagi."
"Apa?!"