Karena penasaran dengan sumber suara, akhirnya Bu Dewi yang memeriksa ke sebuah gubuk kecil yang tidak jauh dari mereka mengobrol tadi, tapi saat di periksa tidak ada siapapun di sana.
"Enggak ada siapa-siapa, Ra."
Tidak ingin memikirkannya Haura langsung membuka kotak kue yang ia bawa dari rumah, tidak lupa pula beserta air minumnya. Anak-anak didiknya begitu senang mendapat kue dari Haura. Intan memperhatikan raut wajah Haura yang terlihat sekali kesedihannya.
"Kuenya enak, Kak. Rio belum pernah makan kue coklat ini. Kalau kakak ke sini lagi dan lagi, bawa kue ini terus kak. Kami sangat menyukainya, manis seperti Kak Haura."
Haura mengelus rambut Rio dan sangat bersyukur bisa membuat anak-anak itu bahagia, walau hanya dengan beberapa potong kue Brownies. Ternyata bahagia sesederhana itu.
"Lepaskan," pinta Laki-laki yang mulutnya masih di tutup Abi.
Abi menghela nafas lega karena berhasil lolos dari Haura. Abi tidak bisa membayangkan jika ia ketahuan oleh Haura, bisa-bisa Haura akan salah paham dengannya.
"Anda siapa dan kenapa menguping pembicaraan Kak Haura dan Bu Dewi?" tanya seorang remaja bernama Sony yang berusia 18 tahun.
"Hush, ngomongnya pelan-pelan. Saya akan jelaskan siapa saya jika kamu menjawab beberapa pertanyaan saya."
"Baiklah."
Abimayu sengaja berpenampilan sederhana agar orang tidak tahu dengannya, termasuk Haura. Ia memakai celana katun dan kaos hitam serta topi Hitam. Namun, penampilannya yang seperti itu mengundang kecurigaan.
"Apa kamu kenal dengan Haura?"
"Ya, dia adalah seorang mahasiswa yang sudah cukup lama mengajar anak-anak yang putus sekolah di desa ini dan dia wanita yang sangat luarrr biasaaa," puji remaja itu tiada habisnya.
Abi mengangguk pelan. Jawaban itu selalu ia dengar ketika ia mengetahui tentang Haura, sehingga tidak membuat Abimayu takjub lagi. Namun, ia bingung dengan Haura yang rela jauh-jauh datang ke Desa Kenari untuk mengajar.
Tidak bisa Abi pungkiri gadis itu memang banyak memberikan kontribusi kepada siapapun itu tanpa memandang dari mana orang itu berasal. Dan anehnya setelah mengetahui itu semua hatinya sama sekali tidak juga tertarik dengan Haura.
"Apa kamu tahu tentang tanah yang menjadi tempat belajar anak-anak itu?"
"Aku tahu semua tentang desa ini. Tanah itu sekarang menjadi milik sebuah perusahaan di pusat kota, kalau nggak salah namanya Store.Id. Orang yang membeli tanah itu sangat kejam, ia tidak memikirkan bagaimana nasib anak-anak yang belajar di sana," jelas Sony.
Abi mulai panas dan sedikit kesal dengan Sony karena melampiaskan kekesalannya kepada dirinya. "Kenapa kamu menyebut orang itu kejam, tanah itu di beli dengan uang!"
"Ya, Anda benar dengan uang orang bisa melakukan segalanya, termasuk mengambil Hak yang bukan miliknya!"
"Maksud kamu?"
"Orang yang sudah menjual tanah itu sudah mencuri sertifikat almarhum Pak Ilham, mereka memang bersaudara, tapi sebelum Pak Ilham meninggal, ia sudah mewasiatkan kepada warga setempat untuk menjadikan tanah miliknya itu di gunakan untuk kepentingan warga setempat."
Keringat dingin mengucur dari wajah Abimayu. Badannya pun mulai lemas, tapi masih ia tahan di depan Sony. Ia membayangkan betapa jahatnya dirinya karena sudah mengambil hak yang bukan miliknya.
Namun, ia juga menegaskan kepada dirinya bahwa semua itu bukan salahnya, kalau saja dari awal ia tahu tentang tanah itu, ia tidak akan membeli tanah itu.
"Ternyata Haura tidak berbohong," batin Abi.
"Kakak kenapa? Sekarang giliran kakak menjelaskan tujuan kakak kemari."
Abi bingung harus mengatakan apa kepada remaja itu. Ia juga tidak mungkin mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang membeli tanah mereka. Dan lebih tidak mungkin lagi kalau Abi mengatakan dia adalah calon suami Haura.
"Kalau kakak tidak mau menjawab aku akan teriak, biar warga tahu ada orang aneh yang datang ke desa ini."
"Tunggu, Sa-ya adalah teman sekampus Haura yang pernah mengabdi di sini juga. Sebenarnya saya mau memberinya kejutan dengan datangnya saya disini, tapi sepertinya waktunya tidak tepat."
"Nama kakak siapa?"
"Hm, Julian," ucap Abi spontan.
"Saya harus pergi sekarang untuk menyiapkan kejutan Haura, teman-teman saya yang lain sudah menunggu di sana, satu lagi jangan bilang kepada Haura kalau saya datang kesini, mengerti!"
Sony mengangguk pelan dengan segala kepolosannya, ia tidak mengetahui kalau dirinya sudah di bohongi oleh Abimayu. Rupanya, Abi sangat pandai dalam hal bersandiwara dan berbohong.
"Ayo siapa yang mau membaca ini?" tanya Haura kepada seluruh anak didiknya yang berjumlah 10 orang saat itu, kadang bisa lebih, kadang juga bisa berkurang.
Semua anak-anak itu mengangkat tangannya serentak kecuali Amar, anak paling pendiam di bandingkan yang lainya, jadi Haura sudah biasa dengan Amar.
"Baiklah, kalau begitu Amar yang baca." Mendengar namanya di panggil Amar langsung menundukkan kepalanya. Namun, ia tidak pernah menolak apa yang di suruh Haura, dia termasuk anak yang penurut. "Bagus Amar."
"Rio adalah teman yang baik, dia selalu membantu ibunya di rumah," eja Amar pelan sembari di tuntun Haura.
Di tengah keseruan Haura mengajar, tiba-tiba Sony datang menghampiri Haura dan mengatakan kalau dia baru saja bertemu dengan teman Haura yang sebenarnya adalah Abimayu.
"Aku tidak sebodoh itu kakak berbaju hitam," batin Sony.
"Teman? Siapa?"
Haura berusaha mengingat siapa saja orang-orang yang waktu mengabdi itu bersama dengannya, karena setahu Haura ia sudah lama tidak berhubungan dengan mereka, apalagi mereka tidak tahu kalau Haura mengajar di Desa Kenari.
"Namanya Julian, Kak. Badannya tinggi, pakai topi dan baju kaos hitam, tapi aku tidak tahu pasti wajahnya."
"Oh baiklah, terima kasih Sony."
Nampaknya Intan lebih penasaran di bandingkan Haura. Ia terus memaksa Haura untuk mengingat siapa-siapa teman mengabdinya dulu, karena Intan curiga kalau orang itu sedang membuntuti Haura, buktinya sampai ke Desa Kenari yang jauh dari pusat kota.
Namun, setahu Intan sahabatnya itu tidak pernah mengusik kehidupan orang lain. Jadi, tidak mungkin juga Haura punya musuh.
"Jangan-jangan fans kamu, Ra. Orang yang diam-diam menyukai kamu waktu kamu di Desa ini dulu."
"Kamu kira aku artis apa. Siapa juga yang ngefans sama aku," pekik Haura.
"Siapa yang tahu perasaan orang sih, Ra."
Haura menyudahi kegiatan belajarnya itu karena jam sudah menunjukkan pukul 15.30, takutnya mereka pulang kesorean jika harus pulang lebih lama. Setelah berpamitan dengan Bu Dewi dan anak-anak didiknya barulah Haura dan Intan pulang.
"Persiapan pernikahan kamu gimana, Ra? Kalau kamu butuh bantuan aku bilang aja, Ra. Aku siap bantu kok kapanpun kamu mau," ujar Intan.
Haura tersenyum kecil di balik helmnya. Saat mengingat tentang pernikahan entah kenapa pikirannya tiba-tiba kosong, ia tidak tahu harus mempersiapkan apa, padahal sebenarnya banyak yang harus di persiapkan.
"Besok aku akan fiting baju, Tan sama ibunya Abi."
"Pak Abinya?" tanya Intan.
"Pasti pergi Tan, kan kami berdua yang mau nikah."
Intan mengangguk pelan, tapi entah kenapa perasaannya tidak enak. "Ra, kamu bahagiakan?" tanya Intan untuk menghilangkan rasa penasarannya.
"Apa aku harus buka kaca helm ini dan memperlihatkan senyum ku kepadamu,Tan," balas Haura sambil tertawa.
"Awasss Ra," teriak Intan dengan sangat keras.
Brukkkk