Allahuakbar Allahuakbar…
Suara Azan sholat zuhur yang berkumandang itu bukanlah suara Faiz, jelas sangat berbeda meski sama-sama merdu. Haura tahu betul mana suara Faiz, karena dialah yang biasanya mengumandangkan azan.
Haura mulai berpikir, apakah karena dia menolak lamaran itu Faiz tidak mengumandangkan azan lagi. Namun, dengan cepat ia menepis pikiran itu, Faiz tidak mungkin melakukan hal semacam itu.
"Tan, Apa keputusan aku salah ya?" tanya Haura sebelum mereka berwudu.
"Kamu ragu, Ra dengan keputusan kamu?"
"Astagfirullah, aku mikirin apa sih."
Dengan cepat Haura bergegas ke tempat wudhu wanita lalu mengambil mukena dan mendirikan sholat sunah qobliyah zuhur.
"Ya Allah, semoga ini yang terbaik darimu," batin Haura.
Allahuakbar Allahuakbar, Asyadu'allailahaillallah…
Senyum Haura akhirnya terbit di bibirnya setelah mendengar orang yang melantunkan iqomah. Ada sedikit lega di hati Haura setelah mendengar suara itu, meski bukan Faiz yang mengumandangkan azan.
Dulu Haura selalu menyelipkan doa agar bisa berjodoh dengan laki-laki yang ia kagumi. Namun, doa itu sekarang berubah, dia tidak lagi menyebut nama siapa-siapa. Haura hanya ingin di berikan pasangan terbaik dari-NYA.
Hal-hal yang biasanya terjadi kini juga berubah. Tidak ada lagi sosok Faiz yang biasanya mengikat tali sepatu di teras masjid. Semuanya seakan berubah dalam sekejap. Entah, Faiz lebih duluan pergi atau sengaja berlama di masjid untuk menghindari Haura dan Intan.
"Kamu harus melupakannya, Ra," ucap Intan yang tahu perasaan sahabatnya itu.
"Tan, hanya kamu yang akan aku undang di acara pernikahan aku nanti."
"Faiz?"
Haura masih bingung harus mengundang Faiz atau tidak, tapi bagaimana pun Faiz sudah tahu kalau Haura akan menikah, tidak enak juga jika tidak mengundangnya, walau itu akan menyakiti dirinya.
Datang atau tidaknya Faiz di pernikahan Haura nanti, itu tidak jadi masalah bagi Haura dan ia sangat mengerti, yang terpenting ia sudah mengundangnya.
"Akan ku buatkan undangan untuk kalian berdua," ujar Haura.
"Kamu yakin nggak apa-apa?"
Haura mengangguk pelan lalu langsung berjalan meninggalkan Intan yang masih menyaksikan senyum sahabatnya itu.
"Tan, cepat, kita ke ruangan Aula," teriak Haura.
Dengan cepat Intan berlari dan menyusul Haura yang sudah sangat jauh darinya. Mereka memasuki Aula untuk seminar besok. Persiapan mereka sudah sangat matang. Tinggal menyambut kedatangan Abimayu besok pagi.
"Sepertinya kamu sudah bekerja keras untuk acara ini," ujar Pak Indra yang baru saja datang. Ia melihat penjuru ruangan sudah sangat baik.
"Semua ini bukan karena Haura, Pak, tapi berkat anggota Hima. Jadi, mereka harus mendapat apresiasi," balas Haura.
"Tidak pernah berubah," ucap Pak Doni spontan yang membuat Haura bingung dengan ucapannya. "Apa kamu yakin Pak Abimayu datang?"
Haura mengangguk cepat. "Aku sudah memastikannya, Pak."
"Bagus. Semoga acaranya berjalan dengan lancar."
"Terimkasih, Pak."
Dengan masalah yang di hadapi Haura saat ini tidak membuatnya lemah sama sekali. Menyiapkan acara seminar dalam jangka waktu yang singkat terbilang susah, tapi di lakukannya dengan sangat baik.
"Ya Allah terima kasih sudah memberikan Intan sahabat yang istimewa ini," ujar Intan.
"Ya Allah terima kasih sudah memberikan Haura sahabat yang tidak ada duanya di dunia ini," balas Haura.
"Haura," panggil Intan lembut. "Janji ya setelah menikah nanti, kamu tidak akan berubah."
"Selagi kita lulus bareng, aku bisa pastikaan kita akan sering bertemu."
***
"Maaf Pak, saya hanya mau mengingatkan bahwa besok pagi bapak ada meeting dengan klien," ucap Kemal sembari memegang jadwal Abimayu.
"Baiklah. Persiapkan ruangannya," balas Abi.
Saat Kemal ingin keluar dari ruangan, tiba-tiba Abi memanggilnya. "Batalkan meeting besok," ucapnya. Abimayu baru ingat kalau besok ia harus mengisi jadwal seminar di kampus Haura.
"Tapi Pak, bisa saja mereka membatalkan kontrak dengan perusahaan jika bapak membatalkan meeting besok."
Abi membatalkan meeting itu bukan karena Haura yang akan menjadi istrinya itu sebentar lagi, tapi karena ia tidak ingin di cap sebagai laki-laki yang tidak bisa menepati janji dan juga ia menghargai Pak Indra selaku Dosennya dulu.
"Mungkin bukan rezekinya," balas Abi singkat.
"Baik Pak, saya akan membicarakannya dengan mereka."
Akhir-akhir ini Abi sering kali bergadang, bukan karena sibuk dengan urusan kantor, melainkan memikirkan pernikahannya yang tinggal satu minggu lagi. Di tambah Jesika tidak kunjung mengabarinya hampir satu tahun ini.
Abi hanya takut ketika ia sudah menikah dengan Haura, tiba-tiba Jesika datang dan menanyakan perihal rencana pernikahan mereka. Pasti hal itu akan menyakiti dua wanita sekaligus.
"Argh!, Aku benci situasi ini."
Abimayu mengambil jasnya yang ia gantungkan di tempat gantungan lalu menancapkan gas mobilnya ke sebuah kafe yang pernah ia datangi waktu itu. Sekarang kafe Dreamlicious itu menjadi tempat favoritnya untuk mengurangi beban pikirannya.
"Kopi Latte dengan sedikit gula," ucap Abi kepada Sisil.
"Siap. Kopi Latte dengan sedikit gula untuk meja nomor 3," teriak Sisil. "Sudah ku duga dia akan datang lagi, Dreamlicious memang tempat ternyaman untuk mereka yang ingin menghilangkan beban sejenak."
Abi memilih view yang bagus dengan duduk di meja nomor 3. Warna hijau dari bunga dan reremputan itu membuat suasana hati Abi jadi lebih hidup. Namun, pikirannya masih saja tentang Haura.
Semua itu terjadi dari Haura yang tiba-tiba datang ke perusahaannya untuk mengambil Hak tanah yang sudah di belinya itu.
"Tidak mungkin, jangan-jangan karena itu?" Tiba-tiba pikiran Abi beralih kepada Haura.
"Sadar Bi, Kenapa kamu terus memikirkan wanita itu," decak Abi kesal.
Akhirnya, Ia bisa menghembuskan nafas lega setelah menghirup kopi Latte favoritnya. Ia tidak tahu kenapa kopi Latte di Dreamlicious ini sangat enak, berbeda dari kopi Latte yang pernah ia minum.
Sekitar 30 menit Abi berada di kafe itu. Pikirannya sudah sedikit lebih baik dari sebelumnya. Kini ia sudah bisa kembali mengerjakan urusan kantor dan mempersiapkan materi untuk seminar besok."
"Berapa?"
"Tidak berubah sejak kedatangan pertama anda."
Abi mengeluarkan uang 10 ribu yang sudah ia tukar sebelumnya. Kejadian waktu itu tidak ingin terulang kembali, bahkan ia sering menyelipkan uang cash di Jasnya.
"Terimakasih, Pak. Jangan lupa untuk pulang," ucap Sisil.
Abi yang tadinya ingin melangkah pulang tidak jadi. "Maksudnya?" tanya Abi.
"Sungguh dia tidak tahu artinya?" ucap Sisil dalam hati yang merasa tidak percaya, orang sekelas Abimayu tidak tahu arti itu, mungkin karena terlalu sibuk. "Mau saya beri tahu sesuatu?" alih Sisil.
"Apa? Saya tidak punya banyak waktu untuk membahas hal yang tidak penting."
"Saya sudah menyampaikan amanah bapak waktu itu kepada Haura."
"Amanah? Haura? Apa yang anda bicarakan?" Abi terlihat sensi saat mendengar nama Haura.
"Wanita yang membayar kopi bapak kemarin adalah Khadijah Haura, Pak. Dia mengucapkan terima kasih kepada Bapak. Bapak merupakan Laki-laki yang beruntung lo bisa bertemu dengan Haura. Dia wanita yang sangat baik," tutur Sisil.
Pujian yang datang dari Sisil tidak serta merta di telan begitu saja. Justru hal itu mengundang kecurigaan Abi. Semua hal yang terjadi akhir-akhir ini sangat tidak terduga, begitu cepat di waktu yang sama.
Pikiran negatif tentang Haura mulai datang lagi ke pikiran Abimayu. Ia menuduh Haura bahwa semuanya sudah di rencanakan Haura dengan begitu mulus. Dari membayar kopi Abi, menemui Abi di perusahaan, tentang perjodohan, kemudian acara seminar.
"Kita tunggu besok," ucap Abi lalu menancapkan mobilnya dengan kecepatan penuh.