Haura mengelus dadanya sembari mengucapkan istighfar. Padahal ia tidak bermaksud untuk membuat Abi marah. Haura heran kenapa Abimayu akhir-akhir ini sangat sensi dengannya, bahkan tidak segan menuduh Haura yang aneh-aneh.
Mungkin itu yang di rasakan oleh banyak orang sebelum menikah, berbagai ujian datang menghampiri. Dan untungnya Haura bisa menerima perlakuan Abimayu dengan sabar.
Allah memang adil. Ia menyatukan dua insan yang masing-masing punya kelebihan dan kekurangan, namun saling melengkapi satu sama lain. Haura berharap Abimayu akan menerimanya apa adanya nanti.
Dsst Dsst Dsst
Ada panggilan masuk dari nomor yang tidak di kenal di ponsel Haura.
[Assalamu'alaikum, Haura. Ini ibunya Abimayu, maaf kalau mengganggu waktu istirahat kamu, ibu mau nanya kapan kamu sempat fitting baju? Kalau besok bagaimana?]
Haura yang tadinya sedang berbaring di kasur kini mengambil posisi duduk. Pernikahannya tinggal menghitung hari, tapi ia belum memikirkan apapun termasuk baju pernikahan.
"Maaf Ibu, besok Haura ada kegiatan mengajar anak-anak di Desa Kenari. Jadi, mungkin baru hari selanjutnya Haura bisa, Bu."
[Kamu mengajar juga, Ra? Bukannya Desa itu jauh dari kota?]
"Haura sudah cukup lama mengajar anak-anak yang putus sekolah di sana, Bu. Jadi, jarak bukan lagi menjadi penghalang untuk Haura berbagi ilmu."
[Ibu tidak sabar lagi menunggu kedatangan kamu di rumah ini, Ra. Kalau begitu ibu tutup ya, Assalamu'alaikum.]
Tidak lama dari obrolan Lina dan Haura tadi, Abi turun dari tangga menuju dapur untuk mengambil minum.
"Bi, Kamu tahu Desa Kenari?" tanya Lina.
Abi mengangguk pelan. " Tahu Bu, Abi juga beli tanah di sana. Kenapa?"
"Tadi Ibu habis teleponan dengan Haura, katanya besok dia mau kesana untuk mengajar, coba kamu ke sana juga, sekalian lihat tanah yang kamu beli," ujar Lina.
"Baiklah, besok Abi pergi," balas Abi lalu minum segelas air dingin dari kulkas.
Tujuan Abimayu pergi ke sana bukanlah untuk bertemu dengan Haura ataupun melihatnya mengajar, melainkan ia ingin memastikan ucapan Haura di ruangannya tadi salah.
Saat sedang merebahkan tubuhnya di kasur. Abimayu tiba-tiba teringat dengan wallpaper ponsel Haura. Tidak ada yang istimewa dari wallpaper itu, hanya saja tulisan singkat dari wallpaper itu mengganggu pikiran Abi.
" Sekali, hingga Jodoh sampai surga," eja Abi beberapa kali. "Berarti gadis itu ingin menikah sekali seumur hidupnya dan ingin berjodoh bukan hanya di dunia tapi di akhirat juga."
Abimayu bangun dan menyenderkan tubuhnya. Ia mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa Haura salah memilih jodoh, ia juga tidak bisa janji bisa mencintai Haura atau tidak setelah menikah.
"Lama-lama aku bisa gila memikirkan gadis itu," ujar Abimayu lalu memejamkan matanya.
Setelah melaksanakan sholat subuh berjamaah dengan keluarganya, Haura langsung menuju dapur untuk memasak. Ia juga sudah menyiapkan bahan-bahan untuk membuat kue.
Sebelum pulang kemarin Haura singgah ke Supermarket untuk membeli segala keperluan membuat kue dan kue itu nantinya akan ia bawa ke tempatnya mengajar.
Biasanya Haura membeli roti isi untuk mereka, tapi kali ini Ia harus memastikan kalau anak didiknya harus mencoba kue buatannya. Haura akan membuat kue brownis dengan toping almond dan oreo.
"Buat kue untuk abang ya, Ra?" tanya Firhan sambil menggodanya.
"Bukan, ini untuk anak didik Rara, abang."
"Oh kirain buat calon suami, Hahaha."
"Kak Hera lihat nih suami kakak, Kenapa suka banget gangguin orang yang lagi fokus masak," teriak Haura dari dapur.
Tidak lama dari itu Herman datang ke dapur karena mencium aroma masakan. "Harumnya. Buat ayah ada?" Kini giliran Herman yang menggoda Haura. Kedua laki-laki di rumah itu memang sangat kompak dalam hal menggoda Haura, pasalnya kalau di rumah Haura anak yang paling manja.
"Ada ayah, sejak kapan Haura bikin kue tapi nggak ngasih ayah, Bang Firhan, Kak Hera, dan Baim," tegasnya.
Setelah nasi goreng dan telur dadar masak, Kue juga sudah masak. Haura langsung menuju kamar mandi dan bersiap-siap berangkat ke Desa Kenari. Hari itu Haura berangkat agak cepat, karena itu hari libur juga.
"Kayaknya ngajak Intan seru deh," ujar Haura.
Akhirnya, Haura pun langsung menelpon Intan dan kebetulan pagi itu dia tidak sibuk menyelesaikan skripsinya, tepatnya Intan memang sengaja meluangkan waktunya untuk menemani Haura.
Hanya membutuhkan waktu 30 menit Haura sampai tepat di depan rumah Intan. Motor Scoopynya terparkir di pinggir jalan, Intan sering kali menyuruh Haura untuk memarkirkan motornya di garasi ruman Intan. Namun, Haura selalu menolaknya. Alih-alih Haura, katanya ia tidak mau mempersempit garasi rumah Intan.
"Kak Intannnn, sepatu Salsa yang warna putih dimana?" teriak Salsa, adik Intan yang sebentar lagi akan lulus SMA.
Intan keluar dari rumah dengan berlari. Haura sudah paham kalau bukan Intan yang memakai barang Salsa, berarti Salsa yang memakai barang Intan. Begitulah kalau mempunyai saudara perempuan yang tidak jauh beda pertumbuhannya.
"Ra, ayo pergi. Jangan sampai aku ketangkap oleh Salsa," pinta Intan buru-buru.
Haura menggelengkan kepalanya melihat sahabatnya itu. "Sesuka itu kamu sama sepatu putih itu?" tanya Intan.
"Sepatu aku hilang gara-gara Salsa juga, Ra. Bayangin dia salah pakai sepatu saat ada kegiatan camping, dan parahnya lagi sepatu aku hilang. Padahal itu hadiah dari mama," ujar Intan dengan rengekkannya.
"Coba angkat sepatunya," pinta Haura.
Dengan bangganya Intan mengangkat sepatu kets putihnya yang sebenarnya milik Salsa. "Kamu mau beli juga , Ra?" tanya Intan.
"Cuma mau lihat aja sepatu yang bisa membuat sahabatku bahagia."
"Haura, bisa aja deh kamu," sebut Intan lemah lembut.
Dari kejauhan Haura sudah mendengar canda tawa serta anak-anak didiknya berlari-lari mengelilingi taman. Senyum dan air mata tak sengaja muncul bersamaan.
Haura membayangkan nasib anak didiknya jika tempat mereka belajar di bangun sebuah gedung. Ia bingung dimana lagi mencari tempat yang nyaman untuk mereka belajar.
"Haura, Intan," panggil Bu Dewi yang baru saja datang.
Dengan cepat Haura mengusap air matanya kemudian tersenyum. "Iya, Bu Dewi. Apa ada kabar tentang orang yang menjual tanah itu?" tanya Haura langsung.
Bu Dewi menggelengkan kepalanya. "Orang itu tidak akan pernah datang ke Desa ini lagi, Ra. Kita harus mencari tempat baru untuk anak-anak."
Ucapan Bu Dewi membuat Haura sedih. Dirinya lah harapan satu-satu warga Desa Kenari. Namun, sampai sekarang ia belum bisa melakukan apa-apa. Usahanya belum membuahkan hasil, terlebih Abimayu sangat percaya dengan surat tanah palsu itu.
"Haura sudah bertemu dengan orang yang membeli tanah ini, tapi semua butuh proses, Bu. Haura akan melakukan yang terbaik untuk mereka," ujar Haura sambil tersenyum melihat anak didiknya.
"Halo Kak Haura," teriak semua anak didiknya sembari melambaikan tangan.
Dengan membawa kotak kue di tangannya Haura berjalan menghampiri romobongan anak didiknya yang sudah duduk manis di kursi taman.
"Anda siapa?" tegur salah satu warga yang melihat Abimayu mengintip perbincangan Haura da Bu Dewi. Mendengar suara yang cukup keras itu Haura dan yang lainnya akhirnya menoleh, tapi suara itu sudah menghilang.
Abimayu menutup mulut orang yang menegurnya itu dan membawanya menjauh dari rombongan Haura sebelum mereka mengecek asal suara itu.