"Assaalamu'alaikum," ucap Abimayu setibanya ia di rumah. Ia melihat kedua orang tuanya sudah ada di ruang tengah, seperti orang yang memang sedang menunggu kepulangannya.
"Duduk, Bi."
Abi yang kebingungan melirik ke arah ibunya, tapi ibunya pun tidak merespon apapun. Hanya terlihat wajah yang cemberut.
"Ada apa Ayah menyuruh Abi pulang cepat. Apa terjadi sesuatu?"
Hendri menjelaskan secara perlahan kepada Abi bahwa Mereka akan bertemu dengan keluarga calon istrinya malam nanti untuk membicarakan pernikahan Abi dan Haura.
Mendengar hal itu sontak membuat Abimayu terkejut bukan kepalang, pasalnya itu sangat mendadak dan terburu-buru bagi Abimayu. "Apa wanita itu memaksa ayahnya untuk mempercepat pernikahan? Apa tujuan wanita itu sebenarnya?" ucap Abi dalam hatinya.
"Yah, Saat ini Abi sangat sibuk dengan urusan kantor. Apalagi tadi Abi baru saja menandatangani kontrak kerja sama dengan perusahaan Santaka. Abi belum sempat untuk membicarakan masalah pernikahan."
Ucapan Abimayu malah membuat Hendri tertawa. "Justru saat-saat seperti itu kamu membutuhkan seorang istri untuk mengurusi kamu," ujar Hendri.
"Bu, tolongin Abi."
Lina hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Pertanda bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa. Jika Hendri sudah memutuskan sesuatu Lina tidak bisa lagi menolaknya, senang atau tidaknya keputusan itu harus di terima.
"Abi selalu menuruti perkataan, Ayah. Kali ini saja tolong dengar Abi, Yah. Abi belum siap sekarang, Yah. Kasih Abi waktu satu minggu."
"Keputusan Ayah sudah bulat, nanti malam jangan lupa tampil rapi," ucap Hendri.
Abi menghela nafas berat. Kepalanya pusing menghadapi Hendri, di tambah ia harus mencari alasan yang masuk akal untuk tidak pergi malam ini. Seketika Abi ingat dengan Jesika, dia adalah harapan satu-satunya untuk membatalkan perjodohan itu.
"Keputusan yang kamu ambil salah besar, Bi. Argh!, Seharusnya aku menolak perjodohan itu!"
Abimayu mencoba untuk menelpon Jesika, siapa tahu dia sudah bisa di hubungi, karena sudah satu bulan ini Abi tidak menelponnya kembali karena sibuk dengan urusan kantor.
Namun, sayangnya nomor yang ia tuju tetap tidak aktif. Abi juga mencoba untuk menghubunginya dari sosial media lain, tapi hasilnya tetap nihil, Ia tidak bisa menemukan akun social media Jesika.
"Tenang, Bi. Ikuti saja dulu, pikirkan solusinya nanti." Abi menghela nafas panjang dan meyakinkan dirinya kalau semua akan baik-baik saja.
Begitu berat kaki Haura untuk melangkah menuju kamarnya, kakinya seperti mati rasa. Masalah tidak henti-hentinya datang, belum sempat ,menyelesaikan masalah yang satu, masalah lain muncul dengan sendirinya.
Namun, ia sangat yakin. Apa yang terjadi dalam hidupnya tidak terlepas dari skenario Allah, yang kadang ia tidak tahu kejutan apa yang sedang Allah persiapkan untuknya. Dengan pikiran seperti itu setidaknya membuat Haura sedikit lega.
Besok Haura akan memberitahukan kepada Faiz semuanya, kalau dirinya sudah duluan di lamar orang lain. Mau tidak mau besok Haura harus mengatakan yang sejujurnya sebelum Faiz berharap lebih.
Tok Tok Tok
"Ini Abang, Ra. Apa abang boleh masuk?" tanya Firhan, takutnya ia mengganggu Haura.
"Masuk aja bang," balas Haura. Ia memasang wajah yang bahagia di depan Firhan, ia tidak ingin menambah beban Firhan jika mengetahui kalau sebenarnya ia terpaksa menerima perjodohan itu.
Firhan menyerahkan sebuah amplop berwarna putih kepada Haura. Dengan cepat Haura membuka surat itu dan membacanya. Tidak ada lagi bahagia di wajah Haura, Ia berhasil mendapatkan beasiswa S2 di Jepang.
"Kenapa kamu nggak bilang sama, abang atau ayah kalau kamu mau melanjutkan S2 di Jepang. Kalau saja abang tahu dari awal, abang bisa menjelaskannya kepada ayah dan kamu tidak perlu menerima perjodohan ini," tutur Firhan.
"Ayah jauh lebih penting dari surat ini, bang. Haura tidak ingin menyesal nantinya jika tidak menuruti, ayah."
Firhan menghela nafas lega. Ia kemudia memeluk Haura dan menenangkannya. DI saat itulah tangisan Haura pecah, Ia menangis sejadi-jadinya saat mengingat ia harus mengihklaskan cinta dalam diamnya dan beasiswa S2nya.
"Maafkan abang, Ra."Tanpa sadar Firhan juga meneteskan air matanya, melihat adik kesayangannya harus menjalankan hari yang begitu pahit.
"Doain Haura ya Bang, semoga keputusan yang Haura buat tidak salah."
"Allah tidak pernah menguji hamba-NYA melampui batas kemampuan hamba-NYA. Abang yaikin kamu akan menemui kebahagiaanmu."
Firhan menghapus air mata Haura dan segera meminta Haura untuk turun ke bawah, membantu Hera menyiapkan makan malam nanti. "Baru saja adiknya menangis sudah di suruh bantuin istrinya," ujar Haura.
"Jadi nggak mau nih?"
"Asal bisa ketemu Baim sih nggak apa-apa," ucap Haura sambil tertawa lalu di balas oleh Firhan. Kedua kakak beradik itu akhirnya saling melempar tawa.
Haura bergegas menghampiri Hera yang sudah memasak di dapur. Sudah banyak bahan makanan di atas meja, tapi Haura bukan bagian memasak sore itu, tapi ia bagian membuat kue.
***
Tok Tok Tok
"Assalamu'alaikum," ucap Hendri.
"Wa'alaikumussalam," balas keluarga Herman. Mereka memang sudah menunggu kedatangan keluarga Hendri.
"Abi," tunjuk Firhan.
"Firhan, ini rumah kamu?" tanya Abi dengan ekspresi bingung sekaligus terkejut melihat Firhan di dalam rumah calon istrinya.
Firhan mengangguk pelan.
"Tidak baik berbicara disini, ayo kita ke ruang tamu. Hera panggilkan Haura," ucap Herman.
"Jangan bilang kalau Haura itu adik kamu, Han."
"Jangan bilang kalau kamu calon suami adik aku, Bi."
Seketika Abi terkejut mendengar hal itu. Sedangkan Firhan menghembuskan nafas lega karena adiknya akan menikah dengan temannya. "Syukurlah, Bi, kamu orang yang akan menjadi pendamping adik ku, akhirnya aku bisa bernafas lega."
Tidak ada lagi kesempatan Abi untuk membatalkan pernikahan itu. Ia juga tidak mungkin melakukan hal yang akan membuat teman baiknya itu kecewa dengannya. Apalagi Firhan sudah banyak membantu dirinya.
"Aku titip Haura, Bi."
"Aku akan menjaganya," senyum manis itu melengkung di bibir Abi.
Haura turun dari tangga dengan menggunakan dress putih serta hijab pashmina berwarna biru. Ia terlihat begitu anggun dan cantik, hingga membuat Lina memuji kecantikannya.
"Malam, Om, Tante."
"Apa ini calon menantu ku?" tanya Lina.
"Iya, dia putriku, Khadijah Haura Hermansyah."
"Kamu cantik sekali, Haura. Dia begitu serasi dengan Abi."
Abi melirik kearah Lina. Sejak kapan ibunya menyukai wanita berhijab, biasnya dia sangat suka melihat wanita dengan rambut panjang terurai seperti kekasih Abi, Jesika. Bahkan Jesika tidak ada kurangnya bagi Lina.
"Jadi, tanggal berapa pernikahan mereka di adakan?" tanya Lina tidak sabaran.
"Bagimana kalau tanggal 3 Desember, tepat di hari ulang tahun Abi," sambung Hendri.
Seketika itu Abi terkejut. "Berarti tinggal satu minggu lagi. Bukankah itu terlalu mendadak?" ucap Abi dalam hati.
Kedua orang tua itu begitu semangat sekali, bukan hanya Herman, tapi Lina dan Hendri juga. Abi tidak bisa protes apapun, mau tidak mau ia harus mengikuti kemauan ayahnya, terlebih ada Firhan, ia tidak mungkin menolaknya.
Namun, Haura tahu betul hal itu akan membuat Abi terkejut, dia juga harus memikirkan perasaan Abi. Jadi, Haura memberanikan diri untuk berbicara.
"Bagaimana kalau bulan Januari saja, Yah, Om, Tante. Sepertinya Pak Abi masih sibuk dengan urusan kantornya."
"Bagaimana Nak Abi. Apa kamu keberatan jika pernikahan kalian di laksanakan tanggal 3, tepat di hari ulang tahunmu?"
Abi menghela nafas berat, walau begitu pahit, tapi ia harus mengatakannya. " Semakin cepat semakin baik."