Pagi itu cuaca begitu cerah, secerah wajah Herman yang sebentar lagi akan menyaksikan putri semata wayangnya menikah. Dengan penyakit yang di deritanya sekarang, ia hanya ingin melihat putrinya bahagia.
Sarapan roti selai dan segelas susu menemani pagi keluarga bahagia itu. Senyum sumringah tak lepas dari wajah Herman.
"Ra, semalam lancar?" tanya Firhan yang memecahkan keheningan Haura.
Haura mengangguk pelan. "Seperti abang lihat senyum di bibir ayah," balas Haura. Padahal sebenarnya Haura masih memikirkan alasan Abimayu menerima perjodohan mereka.
"Bagaimana calon suaminya? Namanya siapa?" Rasa ingin tahu Firhan mulai keluar.
"Namanya A …."
Seperti kilat yang melesat Herman menyambung ucapan Haura yang belum selesai. "Nanti kamu akan tahu siapa calon suami adik kamu, Han. Ayah yakin kamu pasti setuju dengan laki-laki pilihan ayah,"ujar Herman dengan penuh semangat.
"Ayah," keluh Haura. "Bang Firhan sama kak Hera harus tahu dari sekarang biar mereka bisa memastikan kalau calon suami pilihan ayah itu baik untuk Haura."
"Mereka juga nanti akan datang ke sini untuk membahas tanggal pernikahan kalian."
Seketika itu juga Haura tersedak saat sedang minum susu. Haura merasa itu terlalu cepat dan mendadak untuknya. Banyak hal yang tidak bisa Haura katakan kepada Herman, salah satunya terkait masalah beasiswanya yang sudah ia persiapkan hampir satu bulan.
"Yah, apa itu tidak terlalu mendadak, orang ta'aruf juga biasanya di kasih waktu untuk saling mengenal." Haura berusaha menutup wajah sedihnya di depan Herman. Namun, hal itu tidak bisa ia tutupi dari Firhan.
"Haura benar, Yah. Kasih waktu mereka untuk saling mengenal."
"Saling mengenal setelah menikah juga tidak apa-apa kan?" celetuk Herman.
Hera hanya bisa terdiam dengan ucapan mertuanya itu. Biasanya Herman tidak pernah mengambil keputusan terburu-buru, ia pasti meminta pendapat Firhan dan Hera untuk sesuatu yang penting.
"Iya, Ayah. Selagi ayah bahagia, Haura pasti bahagia. Kalau begitu Haura ke kampus duluan ya. Assalamu'alaikum."
Setelah salaman dengan Herman dan yang lainnya, Haura menghidupkan motor Scoopy warna hitam kesayangannya. Pagi ini ia akan bertemu dengan dosen pembimbingnya untuk kosultasi masalah skripsi.
Jarak kampus dari rumah Haura tidak terlalu jauh, sekitar 30 menit perjalanan. Haura memarkirkan sepeda motornya di parkiran Jurusan Psikologi, tempat ia menimba ilmu kurang lebih selama 3,5 tahun.
Sejak masuk gerbang kampusnya Haura sangat menikmati perjalanannya, menyapa Pak Satpam yang duduk di pos jaga, melihat pamflet dirinya yang sering kali terpasang karena prestasinya, dan banyak hal lainnya.
Sebentar lagi dia akan menjadi seorang istri dari laki-laki yang entah bisa mencintai dirinya atau tidak. "Assalamu'alaikum," ucap seorang mahasiswa yang mengagetkan Haura, dia tidak lain adalah Faiz.
"Kamu."
"Faiz Ferdian lebih tepatnya," balas Faiz. "Maaf kalau mengagetkan kamu."
"Ya,? Kamu kok disini, lagi ngapain?"
"Enggak apa-apa kok, Cuma nunggu kamu dan teman kamu."
Haura mengerutkan keningnya karena tidak paham maksud Faiz. Haura bertanya-tanya, ada keperluan apa Faiz dengan dirinya dan Intan. Padahal mereka tidak begitu dekat untuk saling mengobrol.
Tak lama kemudian Intan tiba-tiba datang menghampiri Faiz dan Haura. Ekspresi Intan biasa-biasa saja melihat Faiz yang ada di dekat Haura, tidak ada syok ataupun terkejut, bahkan Intan tersenyum sambil melamabaikan tangan ke arah Haura dan Faiz.
"Lima menit," ucap Intan sambil melihat arlojinya.
"Maksudnya, Tan? Bukannya hari ini kamu tidak ada jadwal ke kampus?" tanya Haura kebingungan.
"Telatnya Haura. Demi kamu aku rela datang." Intan semakin membuat Haura bingung, di tambah senyum kecilnya yang mencurigakan.
"Aku masih belum mengerti, Tan. Kalian janjian bertemu atau gimana?"
Tanpa basa-basi Faiz langsung to the point maksud dan tujuannya bertemu dengan Haura dan Intan. Dengan mengucapkan bismillah dan menghembuskan nafas panjang Faiz memberanikan dirinya.
"Sebenarnya, aku mau menanyakan sesuatu kepadamu, Ra. Tapi aku bingung harus memulainya bagaimana," ucap Faiz sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Tanya saja, selagi aku bisa jawab, aku jawab."
"Apa kamu keberatan jika aku membawa kedua orang tuaku untuk bertemu dengan orang tuamu," tutur Faiz.
Untuk kesekian kalinya Hati Haura merasa terguncang secara mendadak, tanpa permisi terlebih dahulu. Semuanya terjadi begitu cepat dalam waktu yang bersamaan. Kalimat yang selama ini Haura harapkan kini keluar dari mulut orang yang sudah lama ia kagumi.
Kini Haura di hadapkan dengan dua pilihan sulit. Memilih cinta dalam diamnya atau perjodohannya. "Siapa yang harus aku pilih?" Tatapan Haura begitu sendu, wajahnya terlihat seperti orang yang sedang dilema. "Apa ini mimpi?."
"Ra, kamu baik-baik saja kan?" tanya Intan.
Haura menggelengkan kepalanya cepat. "Kenapa Tan?" Haura bahkan tidak menyimak ucapan Intan gara-gara pertanyaan Faiz.
"Maaf jika membuat kamu terkejut, Ra. Kalau kamu belum bisa menjawabnya sekarang, aku akan menunggunya," ucap Faiz sebelum meninggalkan Haura dan Intan.
"MasyaAllah, Ra. Enggak sia-sia selama ini aku mendoakan kamu, Ra. Benarkan Ra, ucapan itu adalah doa dan Allah mengabulkan doa-doa ku untukmu," Intan begitu senang dengan apa yang terjadi barusan.
"Kekuatan doa itu memang luar biasa, Tan, sampai Allah kirimkan dua orang laki-laki yang akan melamarku," balas Haura.
"Apa?! Dua orang," ujar Intan secara spontan nan lantang, membuat orang yang ada di sekitar mereka menoleh. "Kamu serius, Ra. Yang satunya siapa?"
Haura bingung harus menceritakan perjodohannya itu dengan Intan atau tidak. Karena sebenarnya Haura takut jika nantinya orang kampus pada tahu. Ya, padahal tidak ada salahnya, tapi sebelum Haura lulus lebih baik jangan, katanya.
"Ra, siapa?" desak Intan.
"Orang yang kita temui di sebuah perusahaan ternama kemarin."
Intan berusaha mengingat siapa saja yang mereka temui di Store.Id kemarin. Dari mereka bertemu di depan pintu masuk sampai mereka Bertemu dengan Firhan, lalu Pak Riduan, dan terakhir Abimayu.
"Tidak mungkin, bukan Pak Abimayu kan, Ra? Enggak mungkin juga sih Pak Abi yang dingin itu, tapi siapa lagi ya, Ra, orang yang kita temuin kemarin." Intan berusaha keras menyakinkan dirinya kalau orang yang di maksud Intan bukanlah Abimayu yang dingin itu.
"Abimayu Al Ghiffari, Tan. Kami di jodohkan oleh ayah kami dan kami pun sudah menyetujui perjodohan itu," jelas Haura tanpa berbelit.
Seketika Intan tertawa keras menanggapi ucapan Haura. Baginya Haura sedang melawak di depannya. "Ra, nggak lucu tau bercandanya."
"Siapa yang bercanda, Tan. Apa aku pernah berbohong sama kamu?" tanya Haura yang membuat Intan mulai percaya.
Intan mencubit pipinya beberapa kali, dan dia sadar bahwa ini nyata. Apa yang di dengarnya bukanlah mimpi "Kok bisa sih, Ra, kamu di jodohkan sama laki-laki yang dingin kayak Pak Abimayu."
Dengan cepat Haura menutup mulut Intan karena berbicara terlalu keras. Haura berencana untuk menyembunyikan pernikahannya, jika memang dia benar-benar menikah dengan Abimayu.
Sebelum lulus kuliah Haura akan merahasiakan pernikahannya. Itu juga dia lakukan untuk kebaikan Abimayu, calon suaminya. Apalagi Abimayu terpaksa menerima perjodohan itu, mungkin ia juga akan melakukan hal yang sama seperti Haura.
"Terus? Niat baik Faiz bagaimana, Ra?"
"Itulah yang aku pikirkan sekarang, Tan. Aku bingung harus bagaimana, di satu sisi aku juga menerima perjodohan itu karena ayah aku, Tan. Aku tidak ingin mengecewakannya."
"Minta petunjuk Allah, Ra. Aku yakin kamu akan memilih orang yang tepat." Intan satu-satunya orang yang bisa membuat perasaannya lega. Kedua sahabat itu memang terbaik.
"Itu pasti, Tan. Kalau gitu aku ke ruang Pak Indra dulu, Ya. Doain semoga lancar."
"Pasti." Dua jempol untuk Haura dari Intan.