Chereads / Jodoh Sampai Surga / Chapter 6 - Kenyataan Yang Pahit

Chapter 6 - Kenyataan Yang Pahit

"Bi, malam ini temenin ayah makan malam ya?" tanya Hendri sepulangnya Abimayu dari kantor.

Di balik sikap dingin dan cueknya, Abimayu adalah anak yang penurut dengan orang tua, karena kesuksesannya hingga kini tidak terlepas dari doa kedua orang tuanya. Abi tidak pernah membantah perintah orang tuanya selagi itu masih positif.

"Jam berapa, Yah?"

"Jam 8 malam, kamu bisa kan?"

Abi mengangguk pelan. "Bisa, Yah."

"Tumben ayah ngajak Abi, Ibu nggak ikut?"

"Kamu tanya sendiri sama Ibu kamu, udah ayah ajak tapi dia nggak mau. Bukan salah ayah lagi," pungkas Hendri.

Haura yang tadinya ingin ke kamarnya kini berbalik dan kembali duduk di dekat Herman. Perkataan Herman tentang perjodohan itu membuatnya syok sekaligus terkejut, karena semua itu terjadi begitu saja.

Haura penasaran kenapa Herman mendadak membicarakan masalah yang selama ini belum ia persiapkan sama sekali, apalagi saat ini dia sedang sibuk-sibuknya skripsian.

"Kenapa mendadak, Yah?"

Herman tersenyum kepada putri semata wayangnya itu. "Haura selalu bilang kalau kebaikan itu harus di segerakan bukan? Ayah ingin melihat Haura bahagia, itu saja."

"Haura ikut mau ayah aja yang penting ayah bahagia."

Herman memeluk Haura dengan penuh kasih sayang. Ia sangat bersyukur di karunia anak seperti Haura yang cantiknya luar dalam, persis dengan almarhum istrinya.

"Baju ayah dimana?" tanya Haura.

"Sudah ayah letakkan di atas Kasur, Nak."

Haura bergegas ke kamar Herman untuk menyiapkan keperluan malam ini. Celana katun serta baju kemeja biru yang masih ada labelnya tersusun rapi di atas Kasur. Tidak pernah ketinggalan jaket kulit model klasik pemberian almarhum ibu Haura.

"Kapan ayah membeli celana dan baju ini? Sepertinya orang yang akan aku temui malam ini sangat penting baginya," pikir Haura.

Haura mencari gunting untuk melepaskan label di baju Herman. Ia pun mencari di di dalam lemari kecil samping tempat tidur ayahnya. Namun, tidak ketemu, ia malah mendapatkan sebuah amplop putih kecil.

Haura takut-takut, harus membuka amplop itu atau membiarkannya begitu saja, karena Haura tidak pernah menyentuh barang ayahnya tanpa seizinnya. Tapi, isi amplop itu membuat Haura penasaran.

Dengan mengucapkan bismillah Haura memberanikan diri untuk membuka amplop itu. "Maafkan Haura, Yah."

Kaki Haura seketika lemas, air matanya mengalir begitu saja, Amplop yang di pegangnya jatuh ke lantai. "Ya Allah, Maafkan Haura yang baru tahu soal ini."

Tok Tok Tok

Terdengar suara Hera memanggil Haura dari luar kamar.

"Ra, kamu masih di dalam kamar ayah, kakak mau minta tolong jagain Baim sebentar."

Dengan cepat Haura menyadarkan dirinya, mengambil amplop yang jatuh di lantai dan memasukkan isi surat yang baru saja di bacanya. Ia memasang senyum yang manis serta menghapus air mata yang tidak sengaja mengalir.

"Bisa kak, ini Haura udah selesai."

Haura keluar dalam keadaan seolah tidak terjadi apa-apa selama di dalam kamar Herman. "Baimnya mana kak?" tanya Haura.

"Baimnya tidur, Ra. Kakak mau masak dulu."

"Iya kak, Haura numpang setrika baju ayah ya di kamar kakak, sambilan jaga Baim."

Abi membuka jasnya dan melonggarkan dasinya, lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur. Ia memikirkan ajakan ayahnya yang mengajaknya makan malam, baginya itu terlalu mendadak, biasanya juga Hendri tidak pernah mengajak Abi keluar sepulangnya kerja.

Hal itu membuat Abi bingung, apalagi ibunya tidak mau pergi, tapi bagaimanapun ia harus tetap pergi, walau sebenarnya hari itu Abi sangat sibuk dengan urusan kantornya, badannya juga sangat Lelah.

"Ayah mau makan malam dengan siapa, sampai ibu nggak mau pergi?" tanyanya sembari menatap langit kamarnya.

Tok Tok Tok

Suara ketukan pintu mengagetkan lamunan Abi.

"Bi, kamu udah mandi?" tanya Hendri dari luar kamar Abi.

"Belum, Yah. Masuk aja, pintunya nggak di kunci."

Hendri masuk ke dalam kamar Abi sembari tersenyum melihat kamar Abi yang berantakan. Maklum, Abi sibuk mengurusi perusahaan yang kian hari makin berkembang semenjak ia menggantikan posisi Hendri sebagai pimpinan perusahaan.

Sering kali Hendri mengajukan pertanyaan kepada Abi untuk segera menikah, agar ada yang mengurusi dirinya, setidaknya bisa meringankan bebannya untuk masalah di rumah, tapi tiap kali Hendri menyuruhnya segera menikah ia menolaknya dengan alasan akan menunggu kekasihnya.

"Bi, ayah ingin bicara serius sama kamu."

"Iya Yah, asalkan tidak tentang itu," ujar Abi. Ia seolah bisa membaca pikiran ayahnya.

"Sampai kapan kamu akan menunggu perempuan yang sampai saat ini tidak ada kabar sama sekali."

"Jesika Yah, Dia janji akan pulang akhir tahun nanti."

"Ayah ingin menjodohkan kamu dengan anak teman ayah, dia lebih baik dari Jesika yang kamu maksud. Dia cantik dan cerdas. Ayah yakin kamu akan jatuh cinta pada pandangan pertama dengannya."

Abimayu kaget bukan kepalang dengan ucapan Hendri. Ia bertanya-tanya kenapa hal itu terjadi begitu mendadak. Hendri juga tidak menceritakan terlebih dahulu tentang perjodohan itu kepada Abi.

"Yah, Abi bukannya nggak mau nurut sama ayah, tapi ayah kan tahu kalau Abi mencintai Jesika. Bagaimana bisa Abi menikah dengan orang yang tidak Abi cintai."

"Cinta itu bisa tumbuh seiring berjalannya waktu, Abi. Lagian ayah sudah membicarakan perjodohan kalian dengan teman ayah. Nanti malam kalian akan bertemu. Persiapkan diri kamu," jelas Hendri.

"Jangan kecewakan, ayah." Hendri langsung meninggalkan Abi yang masih syok dengan perjodohan itu. Bahkan Hendri tidak memberi jeda untuk Abi menjelaskan tentang hubungannya dengan Jesika.

Saat itu Abi benar-benar bingung harus bagaimana, pikirannya kacau. Jesika memang sudah tidak ada kabar sejak ia berangkat ke Amerika satu tahun yang lalu, tapi bukan berarti hal itu bisa membuatnya menerima perjodohan itu.

Abi sangat mencintai Jesika. Mereka juga berjanji akan menikah sepulangnya Jesika dari Amerika.

***

Setelah melaksanakan sholat Isya berjamaah. Haura meminta pendapat Firhan dan Hera tentang perjodohan yang dilakukan ayahnya. Namun, hal pertama yang ia tanyakan adalah mengenai penyakit yang di derita Herman.

Haura menjelaskan kepada Firhan dan Haura kalau sore tadi ia tidak sengaja membaca sebuah surat dari rumah sakit yang mengatakan kalau Herman menderita penyakit kanker Hati.

Haura menangis di pelukan Hera. "Apa karena ini ayah ingin menjodohkan Haura dengan anak temannya, Kak? Bang Firhan sudah tahu masalah ini, tapi kenapa abang tidak memberitahu Haura?"

"Ngomongnya pelan-pelan, Ayah tidak tahu kalau Abang sama Kak Hera juga tahu masalah ini. Sepertinya ayah sengaja menyembunyikannya dari kita semua. Abang harap Haura bisa menuruti keinginan ayah," pinta Firhan.

"Demi kebahagian ayah, Haura akan melakukan apa saja termasuk menerima perjodohan itu."

Firhan memeluk adik kesayangannya itu dengan air mata yang mengalir. Sebenarnya Firhan juga kasihan dengan Haura harus menerima perjodohan yang tidak di inginkannya itu. " Maafin Abang ya, Ra."

Firhan menghapus air mata Haura. "Kamu harus siap-siap, nanti ayah curiga."