Sebuah papan Akrilik bertuliskan nama Abimayu Al Giffari berdiri tegak di atas mejanya. Haura yang masih menundukkan wajahnya tidak berani melihat wajah Abimayu. Intan pun kadang bingung dengan Haura yang sangat pemalu kalau bertemu dengan lelaki.
"Temannya kenapa?" tanya Pak Presdir itu.
"Ra, angkat wajah kamu. Enggak enak kalau bicara tanpa melihat lawan bicara."
Haura menegakkan kepalanya ke arah Intan."Tan, mata aku kelilipan, tolong tiupin dulu," pinta Haura.
Abi tersenyum kecil melihat tingkah gadis yang menggunakan hijab pasmina berwarna hitam itu. Sepertinya pertemuan pertama mereka tidak berjalan dengan lancar,
"Maaf Pak," ucap Haura setelah matanya agak mendingan, tapi masih mengedipkan mata sesekali.
Tanpa basa-basi dan memberikan kesempatan kepada Haura dan Intan untuk memperkenalkan diri, Abimayu langsung menanyakan tujuan dua orang gadis itu ke ruangannya.
"Ada yang mau kalian bicarakan? Saya hanya punya waktu 15 menit."
Intan sebenarnya ingin protes dengan waktu yang di tetapkan Abimayu, tapi di tahan oleh Haura. Karena Haura tahu seorang Presdir tidak akan punya banyak waktu berbicara dengan orang lain yang belum jelas kepentingannya.
"Apa perusahaan bapak yang membeli tanah di desa Kenari baru-baru ini?" tanya Haura tanpa berbelit-belit.
"Ya", jawab Abimayu dengan santai. Apa hubungannya denganmu?"
"Itulah tujuan saya kesini, Pak."
Abimayu yang tadinya duduk di kursi kini berdiri tegap menghadap Haura dan Intan. Dua orang gadis tiba-tiba datang ke ruangannya dengan tujuan yang tidak di mengerti oleh Abimayu.
"Katakan tanpa berbelit-belit. Saya ada meeting sebentar lagi."
Haura menghela nafas panjang. Ia harus ekstra sabar berbicara dengan Abimayu yang dinginnya minta ampun. "Maaf sebelumnya, Pak, Tanah yang bapak beli dari salah satu warga desa Kenari adalah tanah wakaf yang tidak di perjualbelikan dan di tanah itu juga ada anak-anak desa Kenari belajar. Saya mohon kepada bapak agar bisa mengembalikan tanah itu ke warga setempat," jelas Haura.
Abimayu tiba-tiba tertawa setelah mendengar ucapan Haura. Dua orang gadis itu mendadak kebingungan, tidak ada hujan, tidak ada angin, pembicaraan yang serius itu tiba-tiba jadi gelak tawa bagi Abimayu.
Seketika Abimayu berhenti tertawa dan memasang wajah serius. Intan yang melihat Abimayu menyembunyikan wajahnya. "Ra, keluar yuk," pinta Intan yang merasa takut dengan Abimayu.
"Tidak perlu takut jika kita tidak salah, Tan. Bukankah kamu percaya kebenaran itu akan selalu menang."
"Anda dan teman anda tiba-tiba datang ke ruangan saya dan membicarakan hal yang tidak masuk akal."
"Maaf Pak, tapi saya bicara apa adanya. Tanah yang Pak Abimayu beli adalah tanah wakaf, itu artinya tanah itu milik semua warga Desa Kenari. Jadi, bapak tidak bisa membeli seenaknya tanpa persetujan mereka."
"Itu bukan urusan saya. Tanah itu sudah saya bayar lunas dan itu artinya sekarang tanah itu milik saya. Saya harus meeting sekarang, kalian bisa keluar."
"Pak, Anda tidak boleh egois dan mengambil hak milik orang lain," ujar Intan lirih.
"Sudah, Tan. Kita keluar dari sini. Terimakasih Pak, Assalamu'alaikum." Haura tidak ingin membuat perseturuan dengan siapapun. Keyakinannya tidak akan goyah. Segala permasalahan dapat terselesaikan jika di lakukan dengan cara yang baiak.
Haura terlihat begitu tenang dan sabar keluar dari ruangan Abimayu, sedangkan Intan wajahya sudah cemberut karena kesal dengan sikap Abimayu yang egois. Bahkan saat di lift Intan tidak berhenti menggerutu.
"Mal, ke ruangan saya sekarang dan bawa surat-surat tanah Desa Kenari," pinta Abimayu kepada asisten pribadinya menggunakan sambungan telepon. "Masalah apa lagi ini." Abimayu menghela nafas berat.
Sesampainya Kemal di ruangan Abimayu, Ia langsung di tanya mengenai tanah di Desa Kenari yang ia urusi beberapa hari yang lalu. "Mal, saya kan bilang cari tanah yang memang milik satu orang warga, bukan milik semua warga," ujar Abi.
"Maksudnya Pak?"
"Tanah yang kamu beli kemarin, itu tanah wakaf. Kamu temui penjual tanah itu dan minta uang yang sudah kamu berikan. Saya tidak mau mengambil sesuatu yang bukan hak saya," tegas Abi.
Kemal lantas menyambung ucapan Abi. Ia tidak mengerti apa yang di maksud dengan tanah wakaf. Karena tertera jelas di surat tanah itu bahwa tanah itu milik satu orang warga, yaitu Pak Ilham, orang yang menawarkan tanah kepada Kemal saat berkunjung ke Desa Kenari.
Abimayu membaca surat tanah itu dengan seksama. Tanah itu memang milik seorang warga, bukan wakaf seperti yang di katakan gadis berhijab tadi. Sekarang Abimayu bisa benafas lega.
***
"Terus nasib tempat mengajar kamu gimana, Ra?" tanya Intan.
"Aku akan datang lagi nanti, tapi dengan Bang Firhan. Maaf ya Tan, aku harus bawa kamu dalam masalah ini." Haura merasa bersalah sudah mengajak Intan menemaninya tadi, seharusnya cukup dia yang menemui Abimayu.
"Ya Allah Haura, aku ini sahabatmu jadi sudah seharusnya aku membantumu. Tapi, sebaiknya kamu memang pergi dengan Bang Firhan, karena kalau kamu ngajak aku, pasti bawaannya kesal kalau lihat wajah Pak Abimayu."
"Tan, aku harus pulang sekarang." Seketika Haura teringat dengan ayahnya.
"Kok buru-buru sih, Ra. Padahal aku baru mau ngajak kamu makan bakso di warung kang joko."
"Kalau besok gimana? Aku harus menyiapkan baju ayah untuk nanti malam, dia akan bertemu dengan teman lamanya. Jadi, aku harus mempersiapkan momen spesial ini."
Kalau sudah berkaitan dengan ayahnya Haura, Intan tidak akan mengganggu waktu mereka. Rasa cinta Haura kepada Herman bisa mengalahkan segala kesibukan Haura, termasuk waktunya dengan Intan. Karena Herman juga selalu menuruti semua keinginan Haura, bahkan tanpa Haura minta.
Sebagai seorang ayah, Herman sangat perhatian dengan putri semata wayangnya itu. Karena semenjak istrinya meninggal Herman berjanji akan menjadi Ayah sekaligus Ibu yang baik untuk Haura.
"Ayah," pangil Haura sesampainya di rumah.
Mendengar panggilan anaknya, Herman langsung keluar dari kamar. "Ada apa putri ayah."
"Baju ayah buat nanti malam mana, biar Haura setrika dulu."
"Ada di kamar, nanti ayah ambil. Tapi, sekarang kamu duduk dulu, ada hal penting yang ingin ayah bicarakan."
Herman memberanikan diri untuk mengatakan tujuan sebenarnya mereka makan malam. Selain bertemu dengan teman lama, sebenarnya Herman ingin membahas perjodohan Haura dengan anak temannya itu.
"Jangan-jangan ayah mau ngomong masalah nikah itu lagi?" tanya Haura dalam hatinya.
"Kamu jadi temenin ayahkan?" tanya Herman untuk basa-basa terlebih dahulu.
Haura mengangguk pelan. "Jadi ayah. Emang kenapa?" Perasaan Haura mulai tidak enak, apalagi melihat sikap Herman yang tidak seperti biasanya. "Ayah, katakan saja, Haura akan mendengarkannya."
Herman menghela nafas panjang. "Sebenarnya, nanti malam ayah ingin mengenalkanmu kepada anak teman lama ayah. Apa Haura tidak keberatan?" tanya Herman memastikan.
"Nggak apa-apa, Ayah?"
"Meskipun laki-laki?"
Haura menerbitkan senyum di bibirnya. "Selagi ada ayah, Haura baik-baik aja," ucapnya meski sebenarnya Haura belum siap jika harus makan malam dengan laki-laki yang belum di kenalnya.
"Rara?" panggil Herman dengan lembut saat Haura ingin ke kamarnya.
"Iya, ayah."
"Maafin ayah ya. Sebenarnya ayah ingin menjodohkanmu dengan anak teman ayah."
Seketika itu juga ekspresi Haura berubah setelah mendengar ucapan ayahnya.