Chereads / Mencintaimu Dalam Diam / Chapter 39 - Chapter 38

Chapter 39 - Chapter 38

Jakarta, Indonesia

Seorang wanita tengah duduk dibangku kerjanya sambil menatap beberapa berkas penting di tangannya. Dialah Devika. Seorang wanita yang merupakan kembaran dari si dokter tampan Devian.

Setelah lulus sarjana S1 dua bulan yang lalu, Devika diberi kepercayaan oleh kedua orang tuanya untuk menduduki posisi sebagai Presdir di sebuah perusahaan ternama yang bergerak di media penyiaran.

Seharusnya ini menjadi tanggung jawab Devian. Kembarannya itu adalah seorang pria dan sepertinya lebih pantas untuk memimpin sebuah perusahaan tersebut.

Awalnya Devika menolak, namun ini semua sudah menjadi ketetapan yang diberikan dari papahnya jauh sebelum ia lulus sekolah menengah atas dan berakhir dengan kuliah jurusan Ilmu komunikasi saat menempuh pendidikan perguruan tinggi di Samarinda sesuai dengan bidang dan posisi yang akan ia geluti diperusahaan itu.

Deringan ponsel pun berbunyi dan nama Devian terpampang disana. Ia pun segera meraih ponselnya dan menerima panggilan tersebut.

"Asalamualaikum. Ada apa kak?"

"Wa'alaikumussalam. Kamu sibuk?"

"Tidak juga. Hanya sedang merelakasasi otot tubuh yang lelah duduk berjam-jam di kursi kerja."

Suara kekehan Devian membuat Devika terserang rasa rindu di hatinya. "Namanya juga bekerja Dev.  Wajar saja lelah. Bagaimana rasanya menduduki sebagai posisi Presdir?"

"Ya gitu. Ada suka dan dukanya. Ih! Seharusnya ini kan jabatan buat kakak! Bukan buat aku. Kakak itu pria, lebih pantas memimpin perusahaan." sungut Devika sebal.

Devian hanya tertawa. "Kamu lupa ya kalau cita-cita kakak sejak kecil itu menjadi dokter? Sekarang sudah tercapai kan? Ah kakak lebih senang jadi dokter. Ya kalau perlu jadi dokter cinta biar suatu saat kalau istri sakit larinya ke kakak terus kakak yang obatin dia. Kan so sweet gimana gitu ngobatin istri sendiri. Gak usah bayar pakai uang. Bayarnya pakai kasih sayang aja."

"Cih! Kasian deh yang masih di phpin sama mbak Adila."

"Bukan di phpin. Cuma belum waktunya aja Allah memberi kakak jodoh. Ya artinya kakak disuruh berusaha deketin dia. Biasalah wanita. Jual mahal dulu supaya pria berjuang dapetin hatinya. Kamu kan wanita. Pasti paham deh maksud kakak." Devian kembali terbahak.  "Eh Tapi kamu tinggal sama Papah dan Mamah kan?"

"Ya iyalah kak. Emang aku mau tinggal dimana lagi?"

"Kakak cuma tidak ingin kamu tinggal sendiri atau membeli sebuah apartemen. Kamu itu perempuan. Gak boleh pisah sama Papah dan Mamah. Nanti kalau sudah nikah sama Fikri baru boleh pisah rumah."

Devika tersenyum miris. Ia memang belum mencintai Fikri. Tapi apakah ia bisa menjalani sebuah rumah tangga tanpa rasa cinta terlebih ia belum bisa move on dari cinta pertamanya? Siapa lagi kalau bukan Arvino. Seketika bayangan wajah Arvino membayang di benak Devika hingga sebuah pertanyaan ia lontarkan pada kakaknya.

"Kakak lagi dimana? Dirumah sakit?"

"Iya. Kakak masih disini. Belum pulang ke Samarinda setelah pelatihan disini. Kenapa?"

"Aku.. " Devika menghela napasnya. "Aku cuma ingin tahu golongan darah kak Vino apa? Apakah sama denganku?"

"Golongan darah kalian kebetulan sama. Ada apa?"

"Bagaimana kondisi kak vino?" tanya Devika berusaha mengalihkan.

Helaan nafas frustasi terdengar dari seberang ponselnya. Devika mencengkram kuat ponselnya dan merasakan dadanya sangat sesak.

"Sama seperti sebelumnya." ucap Devian pada akhirnya.

"Bagaimana dengan Aiza? Apakah gadis itu sudah tau?"

Suara pintu terketuk dan masuklah seorang sekretaris cantik yang menjadi kepercayaan Devika selama dua bulan ini diperusahaan sambil membawa beberapa berkas yang berisikan daftar riwayat hidup para pekerja baru yang berasal dari bagian HRD.

"Em kak. Nanti kita lanjut lagi ya. Sekretarisku datang."

"Baiklah. Kamu jangan lupa makan ya. Kakak gak mau kamu sakit. Bulan depan kakak akan mengambil masa cuti dan pulang kerumah Papah dan Mama untuk bertemu denganmu. Kakak merindukanmu."

Devika terkekeh dan tersenyum karena ia memang merindukan Devian juga. "Baiklah aku tunggu. Assalamualaikum kak."

"Wa'alaikumussalam."

Devika menerima berkas tersebut dari sekertarisnya setelah berbasa-basi dan sedikit membahas soal urusan perusahaan. Tak lama kemudian, sekertaris tersebut melenggang pergi dan menutup pintu ruangannya.

Satu persatu Devika membolak-balikkan halaman demi halaman riwayat hidup tersebut. Rata-rata pria ataupun wanita yang melamar diperusahaan sesuai dengan usia mereka yang baru saja lulus kuliah sarjana S1.

Devika menyipitkan kedua matanya ketika ia melihat sebuah data riwayat hidup yang begitu familiar saat membaca nama calon pekerja yang sudah diterimanya. Ia pun segera membuka dan benar saja. Hanya melihat fotonya saja Devika sudah mengenalnya.

"Aku tidak menyangka wanita ini bekerja di perusahaanku." gumam Devika dengan sendirinya.

Ia pun memilih menutup berkas tersebut dan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi nya yang sedikit lelah hingga beberapa menit kemudian, pintu terketuk sebentar dan terbuka. Disanalah sosok Fikri berdiri. Calon suaminya.

"Apa kamu sibuk?"

Devika sedikit terkejut dengan kedatangan Fikri yang tiba-tiba. "Tidak. Hanya memeriksa beberapa berkas. Masuklah."

Fikripun masuk dan duduk di sofa bahkan Devika sedikit heran dengan penampilan Fikri yang sedikit berbeda. Pria itu tidak menggunakan kaca mata tebalnya lagi.

"Mau minum apa? Aku akan membuatkannya untukmu."

"Tidak perlu. Aku kesini cuma sebentar."

"Ada hal penting?"

Fikri menggeleng. Devika pun berjalan kearah sofa dan duduk didepan Fikri.

"Tidak ada." ucap Fikri lagi. "Aku kemari hanya ingin menjengukmu dan memastikan kamu baik-baik saja."

Devika menghela napasnya. "Tapi kamu bisa menanyai diriku melalui pesan atau langsung mengubungiku kan?"

"Kamu gak suka aku kesini?"

Ada nada kekecewaan yang terdengar di balik ucapan Fikri. Fikri memang baik. Tapi, apakah cinta masih bisa di paksakan dihatinya ketika Devika belum mencintainya sama sekali?

"Bukan begitu." sangkal Devika. "Aku cuma gak mau kamu lelah jauh-jauh dari Samarinda cuma kesini nanyain kabar aku. Bagaimana dengan kak Vino? Siapa yang jaga dirumah sakit kalau Om dan Tante sibuk?"

Fikri tersenyum. "Kamu gak perlu khawatir. Ada bunda yang jagain Kak Vino. Kebetulan bunda memilih menjaga kakak daripada mengurus minimarketnya. Sudah ada kepercayaan bunda disana."

Sekali lagi, Fikri menatap Devika yang terlihat mengkhawatirkan kondisi Arvino. Tapi, ia tidak bisa menepis ada rasa kecemburuan dilubuk hatinya. Berusaha menerima kenyataan, Fikri pun berkata dengan jujur.

"Aku tau kamu belum menyukaiku. Tapi setelah menikah nanti. Aku akan berusaha membuatmu menyukaiku. Untuk sekarang aku tidak memaksa kamu Dev. Percayalah jika terbiasa bersama rasa cinta akan di hadir diantara kita suatu saat."

🖤🖤🖤🖤

Reva berjalan dengan langkah gontai karena tidak percaya jika ia melamar kerja di sebuah perusahaan media penyiaran dan mendapati Devika lah yang menjadi pimpinan perusahaan tersebut.

Semua sudah terlanjur. Seharusnya ia mengecek siapa pemilik perusahaan tersebut. Tapi, apakah itu penting jika seseorang pelamar kerja sedang mencari pekerjaan dan harus tahu dulu siapa pemiliknya? Ah, mau gimana lagi. Semua sudah terjadi. Ia diterima di perusahaan tersebut. Lagi pula, jaman sekarang mencari pekerjaan saja susah-susah gampang.

Astaga, bahkan Ia rela pergi dari kostnya setelah lulus kuliah disamarinda dan meninggalkan kota tersebut hanya sebagai pengalihan agar bisa move on dengan Fikri. Bekerja di perusahaan Devika tentu saja sedikit banyaknya ia akan bertemu dengan Fikri.

Reva berusaha bersikap masa bodoh ketika mendapati suatu hal jika pria yang ia cintai sejak dulu akan menikah dengan Devika meskipun membuat hatinya hancur. Tapi ia bisa apa? Sudah menjadi takdir dan Reva tidak bisa mengelak apalagi memaksakan jika hati Fikri untuk Devika.

Reva menghentikan langkahnya saat memasuki basement perusahaan. Apa yang ia pikirkan sejak tadi kini menjadi kenyataan. Dari jarak beberapa meter, Reva melihat Fikri yang akan mendatangi mobilnya bahkan tidak menyangka jika Fikri ada diperusahaan ini.

Ternyata memang benar kan? Sedikit banyaknya ia akan bertemu Fikri. Ya ampun, kalau begini caranya ia akan susah move on.

Reva mengerutkan dahinya. "Kenapa dia tidak memakai kacamata tebalnya? Apakah dia memakai lensa mata?" tanya Reva dalam hati

Reva menatap Fikri tanpa berkedip. Ia tidak menepis jika dirinya merindukan sosok pria itu. Sambil tersenyum miris, Reva kembali berucap. "Aku kangen kamu Fik. Aku kangen kebersamaan kita apalagi waktu di kampus. Bahkan... " kedua mata Reva mulai memanas. "Bahkan penampilanmu sedikit berubah semenjak mau menikah. Mungkin supaya kamu terlihat tampan didepan Devika. Seorang wanita yang kini menjadi atasanku."

🖤🖤🖤🖤

"Jadi bagaimana? Apa kamu terus seperti ini? Sampai kapan?" tanya Devian sambil mengantongi ponselnya setelah melakukan panggilan singkat dengan Devika di Jakarta.

"Apa yang di katakan Devian benar nak. Sampai kapan kamu begini terus?" ucap Ayu lagi. "Ini sudah dua bulan berlalu. Kamu tidak kasihan sama dia. Setiap hari dia kesini secara diam-diam. Setiap hari dia ngajak kamu berbicara berharap jika apa yang dia lakukan akan memberimu respon agar segera sadar. Tiap hari dia menangis disini karena rindu denganmu."

Waktu memang terus berlalu dan dua bulan sudah Arvino sadar dari komanya. Ia mendengar semua ucapan Bundanya dan Devian yang terus menerus mengingatkan.

Arvino hanya memasang raut wajah datar. Hatinya memang sakit. Bahkan melampaui rasa sakit di tubuhnya.

"Untuk apa?" lirih Arvino dengan kesedihannya. "Kalau aku sudah sadar semuanya percuma saja kan? Tidak akan ada yang berubah."

Ayu berjalan mendekati Arvino dan menggenggam punggung tangan putranya yang tidak terpasang jarum infus dan terlihat frustasi. "Setidaknya kamu jujur sama dia nak. Bunda.." Ayu membawa Arvino kedalam pelukannya. "Bunda hanya tidak tega mendengar semua ucapannya. Selama ini bunda menguping omongan dia."

Arvino terkejut. Ia tidak menyangka jika bundanya berlaku demikian.

"Setidaknya aku bisa mendengar suaranya. Aku kangen suara dia. Cara bicara dia. Dia memang pendiam Bun. Tapi.."

Perlahan, Ayu mengusap pelan pipi putranya. Ia tau putranya sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Baik hatinya dan juga fisiknya.

"Tapi aku suka mendengar semua ucapan yang tulus dari hatinya. Aku suka keberadaan dia disini disaat menjengukku secara diam-diam dan duduk di sampingku. Setiap hari aku selalu berdoa dan berharap jika Aiza selalu datang untuk menjengukku. Aku.."

Arvino merasakan hatinya hancur. Ia benar-benar merindukan Aiza, Mencintai Aiza namun belum sempat meraih hatinya, sebuah musibah datang dan membuat takdirnya seperti ini.

Setelah di vonis dokter mengalami kebutaan membuat Arvino frutasi namun hanya berpura-pura koma  yang bisa ia lakukan selama dua bulan ini agar terus bisa bersama Aiza ketika gadis itu menjenguknya.

"Kebutaan yang aku alami tidak bisa membuatku melakukan hal apapun Bun. Kecelakaan itu benar-benar membuatku syok dan tidak menyangka jika saat ini semuanya terasa gelap. Aku sudah tidak bisa melihat Aiza lagi. Aku sudah tidak bisa melihat wajahnya lagi. Setidaknya, biarkan tetap seperti ini. Aku, aku takut dia akan pergi jika mengetahui semuanya. Tolong jangan kasih tau apapun tentang hal ini pada Aiza. Aku hanya ingin mendengar suaranya saja. Dan.. semua percuma saja. Aku hanyalah seorang pria yang kini memiliki kekurangan."

"Dan aku bersedia melengkapi kekurangan bapak."

Semuanya pun terkejut. Bahkan Devian, Ayu dan Arvino pun tidak menyadari jika ada Aiza yang sejak tadi tanpa sengaja berdiri di ambang pintu mendengar semuanya. 

Dengan sedikit keberanian, Aiza memasuki ruangan tersebut.

"Maaf. Maafkan aku." Air mata yang sejak tadi ditahan Aiza pun kini mengalir di pipinya. "Tidak perduli dengan segala kekurangan yang ada. Selama bersama bapak, aku akan ikhlas menerima bapak."

Aiza menghapus air matanya sekali lagi. Selama tiga tahun ia menahan diri untuk tidak mengungkapkan perasaanya karena sebuah ketakutan terbesarnya. Kini, dengan perasaan hatinya yang tulus, Aiza sudah tidak bisa membendung lagi rasa haru dan rindunya bersama Arvino hingga akhirnya, untuk pertama kalinya dalam hidup Aiza. Aiza berucap sesuatu yang membuat jantung Arvino berdebar.

"Aku.." Aiza tersenyum disela-sela air mata bahagianya. "Aku mencintaimu."

🖤🖤🖤🖤

Ya Allah... 

Akhirnya Aiza mengungkapan perasaannya. Masya Allah 😭😭😭😍 setelah penantian yang lama.

Terimakasih sudah baca. Sehat selalu buat kalian semua ya.

With Love

LiaRezaVahlefi

Instagram

lia_rezaa_vahlefii