"Sayang, jiwa dan ragamu adalah milikku sepenuhnya. Jangan pernah berani berpikir untuk pergi dariku," sahut Fu Tingyu dengan suara dinginnya.
"Aku tidak akan pergi, sungguh tidak akan meninggalkanmu. Bisakah kamu percaya padaku?"
Qin Shu menatap pria di depannya itu dengan mata yang sembab menahan tangis. Dia berbicara dengan nada memohon.
Fu Tingyan memandangnya selama beberapa detik, dan seketika hatinya gundah. Kemudian, dia berbalik untuk mengambil jubah mandi.
Qin Shu pun berjalan mengikutinya. "Apa kamu perlu bantuanku untuk mengganti perban di tubuhmu?"
Fu Tingyu tiba-tiba berbalik, dan tatapan matanya yang tajam dan gelap langsung tertuju ke arah Qin Shu.
Dia berbicara pelan, "Besok adalah hari ulang tahunmu. Aku sudah menyiapkan hadiah untukmu. Coba kamu tebak hadiah apa itu?"
Awalnya Qin Shu tertegun begitu mendengar Fu Tingyu menyebut kata hadiah. Namun, sebuah gambaran muncul di benaknya yang membuatnya ketakutan.
Pada hari ulang tahun Qin Shu di kehidupannya yang sebelumnya, hadiah yang Fu Tingyu persiapkan untuknya adalah sebuah pulau yang dikelilingi oleh laut tak berujung.
Pulau itu seperti sangkar besar untuk Qin Shu. Tidak ada seorang pun di sana kecuali beberapa pelayan.
Pulau itu awalnya digunakan untuk liburan. Tetapi, setelah aksi pemberontakan Qin Shu dengan mogok makan dan melarikan diri, Fu Tingyu marah besar dan akhirnya mengurung Qin Shu di pulau itu.
Kali ini, mungkin ide itulah yang terlintas di pikiran Fu Tingyu, mengingat apa yang terjadi tadi siang.
Selain itu, di pulau itu ada batang pohon yang diukir oleh Fu Tingyu sendiri. Ukiran di batang pohon itu bukan hanya sekedar ukiran biasa, tapi ukiran itu sungguh mirip dengan Qin Shu secara keseluruhan, dari atas sampai ke bawah.
Setelah melihatnya, Qin Shu mendengar dari asisten pribadi Fu Tingyu, Shi Yan, bahwa Fu Tingyu membutuhkan waktu beberapa bulan untuk mengukir batang pohon itu, bahkan sampai tangannya terluka beberapa kali.
Fu Tingyu adalah seorang pria paling berpengaruh dan memiliki kekuasaan di Jiangcheng. Tentu saja, kedua tangannya sangat berharga melebihi apapun. Namun, tangannya justru terluka hanya karena mengukir batang pohon, dan itu dia lakukan demi Qin Shu.
Sedangkan Qin Shu, yang waktu itu terbakar amarah karena hidupnya selalu dikekang Fu Tingyu, mengambil sebuah kapak dan menghancurkan ukiran batang pohon tersebut.
Qin Shu tinggal di sana selama sebulan penuh dan akhirnya kembali ke Rumah Shengyuan karena mengidap penyakit parah.
Dia masih ingat dengan sangat jelas… bagaimana hari-harinya selama satu bulan penuh di pulau itu.
Qin Shu baru ingat kalau besok adalah hari ulang tahunnya.
Kini ia memiliki kesempatan untuk hidup kembali. Dia tidak ingin kehidupannya sekarang seperti kehidupannya yang dulu, di mana hubungannya dengan Fu Tingyu semakin suram hari demi hari.
Qin Shu dan FuTingyu harus menjalani kehidupan yang baik. Salah satu bentuknya adalah saling menghormati antara suami dan istri serta saling menguatkan satu sama lain dalam situasi apapun.
Dia akan tetap berada di sisi Fu Tingyu dan akan bekerja keras untuk menjadi lebih kuat sampai pantas bersanding dengannya.
Qin Shu berusaha keras untuk menekan kegelisahan di hatinya, kemudian dia meletakkan tangannya di lengan Fu Tingyu dan berkata dengan suara lembut, "Aku sangat senang suamiku telah menyiapkan hadiah untukku. Aku ingin tahu hadiah apa yang telah kamu siapkan untukku."
Qin Shu teringat kembali ukiran wajahnya di sebuah kayu besar itu. Rasanya dia masih ingin melihatnya sekali lagi.
Dia harus menunggu sampai besok untuk dapat melihatnya lagi. Nanti, dia akan membawa pulang ukiran tersebut ke Rumah Shengyuan.
Pikiran Fu Tingyu kembali gundah saat kembali mendengar Qin Shu memanggilnya 'suami'. Satu kata itu keluar dari mulut Qin Shu dengan sangat merdu.
Fu Tingyu menatap Qin Shu dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Matanya yang gelap menyipit seolah sedang menyelidik.
Qin Shu meraih tangan Fu Tingyu dan berkata, "Kita tidur di kamar tidur utama, ya?"