Jero duduk bersantai di sofa tamu, sikapnya dingin dan acuh tak acuh. Carlo masuk ke dalam ruang tamu mendapatkan sikap Jero yang seperti ini membuatnya banyak bertanya dalam kepalanya, berdiri mengawasi seperti elang mendapatkan mangsa yang empuk. Minuman di sediakan di atas meja namun tak satupun ada niatan keduanya untuk menyentuh. Jero tahu kedatangannya membuat tegang sekaligus masalah tapi bisa buat apa, ia terlanjur datang.
"Kamu datang kemari, untuk apa?"
"Aku ingin memberi selamat, terakhir kali tidak sempat"
Sikap apa ini. Carlo mengenal lama siapa Jero, dirinya lebih tahu tetapi datang untuk memberikan ucapan selamat, sepertinya ini tidak masuk di akal. Meskipun tahu maksud sebenarnya, Carlo tetap bereaksi sedikit lambat.
"Benarkah hanya itu saja?"
"Kenapa? kamu curiga?"
"Tuan Jero yang terhormat datang kemari hanya untuk memberi selamat untuk kedua kalinya, sungguh sebuah kehormatan bagi kami berdua tapi bukankah ini terlalu mendadak?"
Pertanyaan curiga sudah dilimpahkan. Mereka berdua terdiam untuk mengukur sampai sejauh mana kekuatan yang bisa di ambil. Suara detak jam di dinding terdengar keras di telinga, urat saraf tegang mencapai maksimal, keringat dingin keluar dari pori-pori kepala pelayan yang berdiri dekat pintu penghubung antara ruang tamu dan ruang keluarga maupun ruang bersantai.
"Carlo, ada yang ingin aku bicarakan"
Jero memecahkan keheningan yang mencekam demi tidak berlarut-larut. Ia masih ada hal yang harus dibereskan yaitu Riu. Ia hanya tidak mau Riu curiga berlebihan ataupun gelisah terlalu banyak hingga menyebabkan jauh darinya.
Mendengar itu, Carlo melangkah ke arah sofa, duduk disana seraya mengamati wajah Jero yang tidak dapat ditebak. Jero tidak ingin terlibat tetapi Ayun yang meminta jadi, tidak mungkin berpangku tangan tanpa melihat dan mendengar.
"Pernikahan kalian tersisa dua hari lagi. Riu ingin keluarganya berada bersamanya. Kalau kamu mengijinkan Ayun menginap sehari sebelum masuk ke dalam pernikahan, apa kamu setuju?"
"Riu? keluarga besar Riu? benarkah?"
Jero sudah menduga hal ini akan dipertanyakan oleh Carlo. Alasan buruk tapi hanya itu yang terpikirkan. Ketukan pelan pada bahu sofa di atas tangannya memberikan tekanan tak terlihat pada Carlo.
"Aku tanyakan lebih dulu pada Ayun"
Kerutan kelegaan selintas terlihat di mata Jero namun secepat itu menghilang tanpa jejak.
"Terima kasih. Aku hanya tak mau Riu merasa kesepian karena tidak dilibatkan dalam persiapan pernikahan. Wajar, apabila saudara satu ayah bertemu melepas beban di hati sebelum menikah"
"Jero, dulu kamu menikah, kamu tidak pedulikan hal macam ini"
Keluhan sengaja oleh Carlo di ucapkan, ia hanya ingin tahu sejauh mana kebohongan yang dibuat Jero untuk Ayun.
"Tentu tidak. Ini karena Ayun tidak bisa dihubungi sama sekali oleh semua orang jadi, keluarga pihak Ayun banyak berspekulasi terhadap rencana pernikahanmu"
"Aku tidak tahu harus bicara apa. Aku tidak tahu jika Ayun ternyata tidak memberitahu detil pernikahan kepada keluarganya"
"Aku juga tidak tahu. Riu yang memberitahu"
Kepala Carlo mengangguk seakan mengerti padahal ingin menahan kemarahannya yang meluap-luap bagai magma yang turun dari puncak gunung.
"Riu istrimu sangat perhatian padahal Ayun tidak peduli"
Senyum bangga muncul di wajah Jero setelah tidak ada reaksi dari wajahnya selama pembicaraan mengenai Ayun. Carlo terkejut melihatnya, apakah benar Jero mencintai Riu? kalau begitu, apakah Ayun hanya tertipu ilusi sendiri.
"Dia wanita lembut. Riu tidak mempunyai trik licik seperti wanita lain jadi, aku harus menjaganya tetap bersih"
"Kamu terlalu percaya padanya"
"Aku tahu Riu seperti apa, jangan bandingkan dia dengan wanita lain, itu tidak layak"
Kata-kata lembut yang diucapkan Jero terdengar nyata di telinga Ayun yang baru saja sampai dekat kepala pelayan. Wajah yang semula bahagia karena ada Jero disini berubah tegang dan pucat seketika.
Wanita itu sudah lancang bikin Jero seperti ini, ia harus bertindak mulai dari sekarang merebut kembali miliknya, Jero adalah miliknya selamanya pikir Ayun tidak senang namun, ditelan mentah-mentah perasaan tidak senang ke dalam rongga dada, baru kemudian masuk.
Carlo menolehkan kepala ke arahnya dengan pandangan mata seperti menilai sementara Jero, tetap diam di tempatnya namun aura lembut yang sempat muncul, hilang seketika.
"Kamu datang"
Jero mengangguk datar. Ayun duduk di hadapan keduanya dengan perasaan senang ketika anggukan kepalanya terasa bagai sebuah anugerah. Carlo mengeluh dalam hatinya, pancaran sinar rasa peduli pada mata Ayun terlihat jelas, ini membuatnya cemburu.
"Jero datang meminta kamu untuk pulang satu hari sebelum pernikahan kita, keluarga besar ingin berkumpul untuk terakhir kali sebagai perayaan"
Ayun tersenyum lembut bahkan nyaris tidak dapat menahan perasaan bahagia yang dirasakan. Kalau dulu, Carlo ingin membunuhnya di tempat tetapi kini, ia terdiam tanpa bergerak. Hatinya sekali lagi kacau melihat Ayun.
"Apa kamu keberatan Ayun? ini permintaan Riu, aku hanya memberitahu jika kamu tidak mau, aku bisa katakan pada Riu"
"Tentu saja aku tidak keberatan"
"Ayun!"
Ayun terkejut mendengar suara teguran keras dari Carlo, ia melihat kepadanya. Ia lupa tujuan Jero kemari untuk mengeluarkan dari rumah ini sekaligus rencana pribadinya.
"Ini hanya satu hari, Carlo"
"Ayun, ini tidak baik. Pernikahan tinggal dua hari jika terjadi sesuatu, itu melanggar adat"
"Untuk apa percaya adat. Ini pernikahan kedua ku jadi, tidak perlu berurusan dengan adat"
"Tapi..."
Ayun berdiri dengan cepat, "Kepala pelayan suruh pelayan wanita mengambil barang-barang milikku di dalam kamar, tidak usah banyak karena satu hari. Carlo, kamu ingin aku bagaimana? aku hanya ingin berkumpul bersama keluarga untuk terakhir kali demi mengenang masa lajang ku habis" katanya dingin. Tekadnya sudah bulat, ia harus keluar dari rumah ini dan mengambil kembali hati Jero dengan waktu yang ada.
Carlo terpaksa diam. Tangan mengepal kuat di samping tersembunyi di sela sofa. Baru tadi bercinta dengannya bahkan ia masih berikan kesempatan untuk memilih. Benarkah hanya seperti ini saja akhir dari kisah cintanya. Ia hanya merasa kepergian Ayun kali ini selamanya.
Jero mendengar perdebatan mereka berdua tanpa ingin menganggu. Namun, matanya mengarah tepat ke segala arah. Ia tidak mau Carlo berbuat macam-macam dibelakang punggungnya.
"Ayun, jika kamu keluar dari rumah ini, kamu akan menyesalinya"
"Tidak akan"
Jero terkejut mendengar kalimat Carlo yang aneh. Menurutnya, hanya menginap satu hari di rumahnya, bukan berarti tidak menikah.
"Pilih salah satu Ayun"
"Kamu--!"
"Dia atau aku"
Kerutan tidak mengerti muncul di wajah Jero. Mengapa jadi memilih? pikirnya bingung. Ayun berdiri tegak memandangi wajah Carlo, pria yang telah membuatnya kehilangan banyak hal penting, dulu berselingkuh dengannya hanya ingin tahu hati Jero kini, ia tahu ternyata itu akal bulus Carlo. Siapa yang mau? ayun mengembuskan nafasnya kuat-kuat, ia bukan wanita polos lagi.
"Nyonya...?"
Kepala pelayan mengusik perdebatan, di dekatnya ada koper kecil menunggu. Ayun segera melangkah mendekati kepala pelayan, "Ayo Jero, kita pergi dari sini" ajaknya tegas.
Jero beranjak dari duduknya, berpura-pura tidak mengerti itu melelahkan jiwanya. Tepukan halus di bahu Carlo sudah memberitahu jika untuk sementara waktu, pikir ulang semua termasuk pernikahannya.