Chereads / Cinta Istri Kedua / Chapter 44 - Percikan air kotor

Chapter 44 - Percikan air kotor

Ibu Jero menghela nafas melihat kedatangan Riu di ruang makan tanpa merasa bersalah, pakaian yang dikenakan terlihat rapi seperti mau ke kantor sementara Ayun diam memakan makanannya, seolah keadaan di sekitarnya bukan masalahnya namun otaknya berjalan mencari jalan.

"Mau kemana kamu?"

"Ibu, aku ada acara"

"Acara? acara apa?bukankah kamu cuti?"

"Aku-- "

"Kamu memang menantu luar biasa. Jam makan siang baru turun. Kita kedatangan tamu tapi sikapmu sebagai tuan rumah seperti ini. Hebat!"

"Aku-- "

"Kamu dan Ayun beda jauh. Bukankah kalian saudara, mengapa bisa beda jauh. Dulu saat bersama Ayun, ibu lihat Ayun bangun pagi,

terus antar suami, menunggu di rumah dengan melakukan hal-hal positif, itu hukumnya wajib buat istri. Kamu malah tidur sampai siang. Ibu tahu kamu itu cuti tapi bukan berarti kewajiban kamu lalai"

"Aku-- "

"Dengar Riu. Ibu kecewa padamu. Ibu belum pernah satu kali melihat tindakan baik untuk Jero. Coba kamu lihat Ayun. Pagi-pagi sudah antar Jero anakku. Siapa yang jadi istri, hah!"

Sindiran berulang dengan arti yang sama, itu tidak menghentikan Riu untuk duduk di kursi biasa duduk. Sorot mata terlihat kalem terkesan tidak peduli. Beberapa pelayan gugup melihat situasi memanas yang belum pernah terjadi selama pernikahan kedua Jero.

"Ibu, Riu mungkin kelelahan"

"Kelelahan darimana, hah!"

"Ibu, jangan marah. Jaga kesehatan ibu. Kalau ada apa-apa dengan ibu, Ayun khawatir"

"Ayun memang anak baik"

Suara Ayun terdengar pelan di telinga semua orang menambah kemarahan ibu Jero. Riu tertegun memandang Ayun lalu tersenyum manis seperti tidak berpendapat maka bakal baik-baik saja. Ibu Jero menatap sengit ke arah Riu, hatinya tidak puas melihatnya.

"Kelelahan apa! menikah sejak lama tapi lihat saja, mana ada anak yang aku terima. Ayun, kamu memang mengerti ibu. Dengar Riu, kamu harus banyak bertanya pada Ayun cara membuat Jero betah di rumah"

"Ibu, jangan begitu. Aku sudah mantan"

"Mantan apa mantan, mana ada. Apapun bisa terjadi"

Suara ibu terus bergema sepanjang makan siang. Gerutu dan makian ketidakpuasan terhadap Riu terus dikatakan seiring suara Ayun yang terus provokasi. Jero diam di tempatnya, terburu-buru pulang karena ia lupa beritahu ibunya tentang Ayun tetapi melihat dan mendengar Riu ditindas seperti tidak memberikan muka padanya. Ia bergerak duduk di sofa, tak ingin mengusik hanya mendengar.

"Ibu, apakah ibu ada rencana siang ini?"

"Tidak ada, kenapa?"

"Bagaimana kalau kita jalan-jalan ke mal?"

"Mal? bukankah kamu besok menikah Ayun? mengapa kamu seperti ini?"

"Ibu, aku hanya tidak nyakin saja"

"Ayun, apa kamu masih mencintai Jero?"

Perkataan ini dikatakan di hadapan Riu tanpa memperhatikan perasaan Riu. Meskipun acara makan siang sudah selesai tetapi semua orang masih berada di tempatnya, enggan bergerak.

"Ibu, aku-- "

Tepukan halus diberikan pada punggung tangan Ayun bersimpati. Ayun menangis dengan cepat, Riu terpaku melihat keduanya.

"Anak bodoh. Kamu harus pertimbangkan hatimu. Kalau hatimu tidak ada untuk Carlo calon suamimu, jangan di paksakan"

Tangisan Ayun semakin bertambah kuat, ibu Jero memghela nafas seraya menghapus air mata Ayun, tak lupa menepuk pundaknya sebagai ungkapan simpati.

"Kalau begitu, apakah aku bisa bercerai dari Jero karena hatiku tidak ada padanya?"

Suara Riu tenang seperti air mengalir namun, semua mata terkejut mendengarnya demikian juga Jero yang duduk di ruang tamu bisa jelas mendengar. Kemarin berkata cinta tapi mengapa sekarang berkata lain, sebenarnya apa yang terjadi pikir Jero kalut. Bukankah tadi pagi keadaan masih baik-baik saja.

"Apa maksudnya itu, Riu?"

"Bukankah ibu berkata tadi, kalau hati tidak ada maka jangan dipaksakan? aku hanya mengikuti kata ibu saja"

"Kamu-- !"

Sorot mata senang terlintas pada Ayun sementara ibu Jero mulai panik. Riu masih bersikap acuh tak acuh tapi mata sedingin es.

"Riu, kamu jangan buat perkara disini. Beruntung Jero tidak mendengarkan apa yang kamu katakan"

"Ibu, apa salahku? sejak aku disini, kamu hanya memandang satu orang. Aku berbuat apa saja, ibu tidak peduli tapi lebih banyak menyalahkan dan membandingkan. Sekarang orang luar, ibu lihat betapa baiknya padahal status tak ada. Katakan Bu, apa aku tidak baik?"

Keluhan Riu bagai air yang menyiram minyak panas, asapnya kemana-mana. Nada suara yang dikeluarkan sangat pelan tetapi menusuk tajam membius semua orang untuk menutup mulut rapat. Jero hendak bergerak menghampiri, "Ibu, aku sangat lelah menghadapi semuanya, aku akan pergi keluar sebentar untuk menenangkan diri" kata Riu tenang beranjak dari duduknya menuju pintu utama yang mengharuskan melewati Jero.

"Riu! kamu tidak menghargai aku sebagai mertuamu"

Riu berbalik sejenak lalu mengelengkan kepalanya, "Kamu hanya melihat ke arahnya, Jero juga. Katakan padaku ibu, apakah percikan air kotor yang ingin dilemparkan wanita ini dapat aku terima padahal aku sudah berbaik hati mencintai putramu tanpa syarat?" tanyanya gusar.

(Percikan air kotor disini maksudnya hal buruk di hati merusak tatanan aturan yang sudah ada).

Sesaat mereka berdua berpandangan satu sama lain. Riu tetap berjalan tak peduli. Batu dalam hatinya semakin tinggi menutupi akses sejak perkataan Jero pagi hari tadi.

"Riu...*

"...."

"Riu, kamu mau kemana, berhenti!"

Suara Jero mengagetkan semua orang yang berada di ruangan makan. Ibu Jero pucat namun Ayun tersenyum sinis, ini langkahnya maka harus diselesaikan sebelum besok. Jero seperti kena tikam begitu sadar arti pertanyaan Riu pagi tadi.

"Ibu, kamu tak apa-apa?"

Teriakan Ayun yang disengaja membuat Jero berputar arah dari keinginan mengejar Riu menjadi ke arah ruang makan. Wajahnya buruk.

"Ada apa?"

Ibu Jero yang tahu situasi, cepat bereaksi mengarah pada Jero. Ayun tersenyum lembut, dalam hati mentertawakan ibu Jero yang sejak dulu selalu di remehkan di belakangnya.

"Ibu tidak enak di dada. Riu, apa dia tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa. Ibu pergi ke kamar saja dulu, Ayun tolong bantu"

"Baik"

Ayun buru-buru membantu dengan memapah ibu Jero berjalan menuju kamarnya sementara itu, Jero berbalik hendak mengejar Riu. Perasaan kacau, seharusnya tadi menahan Riu untuk tidak pergi.

"Jero..."

Depan halaman rumah Jero.

Riu berdiri dekat mobilnya, sopir menunggu untuk mengantar. Hati kecilnya berkata ia ingin Jero mengejar tapi kenyataannya, nol.

"Nyonya muda"

"Antar aku ke paviliun mawar"

"Baik, nyonya"

Riu masuk ke mobil, sopir menutup pintu mobil dengan pandangan rumit, keributan di dalam rumah siapa yang tidak tahu.

Tepat Jero berada di depan rumah, ia mulai panik melihat mobil sudah meninggalkan pintu gerbang rumah. Kakinya berlari ke arah mobil sport miliknya, tanpa ragu cepat menekan hingga kecepatan tinggi.

"Riu.... bodoh!"

Teriakan Jero di dalam mobil mengutuk dirinya yang terjebak diantara Riu dan ibunya. Jelas-jelas tahu Riu tidak mudah di dapatkan malah mudah terhasut. Matanya terus meneliti dimana mobil yang ditumpangi Riu pergi namun, tidak ada jejak sama sekali.

Kepadatan lalu lintas menghapus bayangan mobil di tikungan masuk dua arah. Jero meraih handphone di dalam sakunya.

"Sial!!!"