Carlo menatap gelas di tangan yang berisi wine. Tawa getir terdengar membahana di rumah ini. Air mata merembes keluar mendapati semua langkah tenyata sia-sia. Sepeninggal Jero dan Ayun, Carlo diam di ruang tamu seorang diri menyesali nasibnya.
Langkah demi langkah sudah dilakukan sembari menipu diri, apa yang didapatkan hanya hilang tak berbekas, sakitnya terasa sampai dalam.
Tangan gemetaran menekan tombol cepat. Selintas pemikiran minta bantuan, hatinya sekali lagi berharap pada satu orang. Wanita yang seharusnya tidak di usik karena milik Jero. Terdengar suara di angkat dari seberang telepon entah dimana.
---- "Halo"
Suara lembut dan jernih menyebar di semua saraf Carlo. Hatinya terluka parah tapi tidak bodoh. Jika bisa menyeret satu orang maka akan dilakukan.
---- "Riu, aku Carlo"
---- "Ada apa? apakah Jero bersama mu?"
---- "Dia sudah pulang membawa Ayun bersamanya. Kamu-- bagaimana kabarmu?"
---- "Aku baik. Mengapa membawa Ayun?"
Ada jeda yang menakutkan bagi Riu saat ini, hati gelisah ternyata ini jawabannya, handphone di tangan seperti bara api yang menghanguskan. Carlo menarik nafas dengan susah payah, menekan emosi yang naik turun.
---- "Jero ingin Ayun sementara waktu tinggal bersamanya sebelum pernikahan"
---- "Tapi, pernikahan kalian berdua tinggal dua hari"
---- "Apa aku bisa mengelak? kamu keluarganya, apakah kamu bisa bantu aku? Jero berkata kalau kamu yang ingin berkumpul"
---- "Aku?"
---- "Ya, kamu"
---- "Aku tidak meminta Jero lakukan itu"
Nada suara kesal terdengar mendominasi. Ini membuat keduanya terkejut tapi bukankah Carlo kalau ini memang berasal dari Ayun. Ia hanya ingin tahu dari sisi Riu saja, apakah tahu atau tidak"
---- "Carlo, pernikahan bukan permainan"
---- "Aku tahu Riu. Bantu aku bawa pulang Ayun ke tempatku"
---- "Aku tidak dekat dengannya"
---- "Riu, apakah aku pernah menganggu hidupmu? aku selalu diam. Aku tidak mau kehilangan Ayun"
---- "Aku-- "
---- "Aku tahu kamu memiliki kesulitan tersendiri terhadap Jero. Riu, aku hanya minta satu padamu, kembalikan Ayun padaku"
---- "Aku tahu tapi, .... "
---- "Ayun berada di rumahmu. Setiap saat dapat mengancam posisimu. Kamu tidak dapat memprediksi sikap Ayun dulu maupun sekarang, Riu"
---- "Carlo, kamu terlalu curiga terhadap Ayun"
---- "Aku mengenalnya sejak kuliah, Riu. Baik buruknya, aku sangat tahu walaupun dia termasuk kakak tiri mu tetapi apa kamu mau melepaskan kebahagiaan yang baru kamu terima sekarang setelah berjuang selama ini?"
---- "....."
---- "Riu. Aku hanya berbaik hati mengingatkan. Mau atau tidak kamu mengembalikan Ayun padaku, aku harap kamu tidak menyesal di kemudian hari"
---- "Carlo, kamu mau minta tolong atau mengancam"
---- "Hahahaha, aku butuh Ayun dalam dua hari ini. Pernikahan tidak bisa dibatalkan. Keluargaku dan keluargamu tidak mau terkena malu pastinya. Riu, pikirkan. Ini juga nama baik dua keluarga yang terlibat"
Riu dan Carlo terdiam sejenak mendengarkan hembusan nafas yang sama-sama berat. Mereka berdua tahu dan mengerti jika terjebak dalamnya intrik bernama cinta. Keluarga besar mereka berdua tidak seperti keluarga lain di luaran sana. Di hadapan masyarakat, tata cara sopan santun di keluarkan bagai tas bermerk tetapi di dalam, kosong tanpa martabat dan miskin moral.
---- "Aku akan mencoba"
---- "Terima kasih Riu"
---- "Carlo, jika aku gagal mengembalikan, kamu tahu apa yang bakal terjadi bukan?"
---- "Tentu saja. Jika itu terjadi, aku tidak akan mengganggumu lagi"
---- "Baiklah"
Terdengar suara di putus dari dalam handphone. Carlo tersenyum sinis, kepala pelayan mendekati dengan hati-hati.
"Tuan, nona Desti datang"
Carlo melambaikan tangan malas, kepala pelayan mengerti maksudnya, iapun pergi ke arah suara mobil diluar. Tak ada niat ingin bertemu tapi, Ayun telah pergi. Kepalanya menoleh ke arah langkah Desti yang tergesa-gesa masuk.
"Carlo, apa yang terjadi sayang?"
Nada suara panik dan perhatian menusuk tajam di hati Carlo. Dari semua wanita yang dikenalnya, hanya Desti yang selalu memperhatikan semua detil keinginannya.
Tangan Carlo mengelus lembut wajah Desti, "Kata kepala pelayan, Ayun pergi?" tanyanya pelan, hati bersorak.
"Kamu kembali"
"Tentu saja, mengapa kamu bicara begitu? kak Caoli hanya minta bantuan padaku"
"Bantuan apa?"
"Dia butuh dana akibat berita skandal yang dibuatnya saat pesta pertunangan mu"
"Kamu tidak berbohong?"
"Tidak. Carlo, kamu baik-baik saja? aku baru pergi setengah hari, mengapa kamu menjadi seperti ini"
Suara panik dari Desti menghibur di telinga Carlo. Ternyata dirinya tidak ditinggalkan begitu saja. Pipi Desti terasa hangat di bawah kulit telapak tangannya.
"Seandainya Ayun tidak mau kembali, apa kamu mau menjadi penggantinya? aku tidak mau dipermalukan"
"Aku-- "
"Aku tahu ini terlalu kejam untukmu tapi aku tak punya pilihan lain. Kamu tahu posisi keluargaku tidak bisa disingkirkan jika tak mau menyingkir sendiri"
"Aku mau menjadi istrimu"
"Benarkah?"
"Ya, demi kamu, apapun akan aku lakukan"
Tepukan halus diberikan pada Desti di pipi. Sorot mata Carlo terlihat kalah. Ini belum genap satu hari namun, ia tahu Ayun tidak akan kembali meskipun dibujuk Riu.
"Tunggu hari H, jika Ayun tidak kembali maka kamu yang akan menjadi istriku"
"Baiklah"
Carlo beranjak dari duduknya, badannya sedikit goyang ke arah kanan dan kiri menambah panik Desti. Tidak dikira, Ayun pergi begitu saja padahal semua tahu cinta Carlo yang tulus padanya. Kalau begini, bukankah Desti sudah sia-sia mengorbankan dirinya bercinta dengan Caoli kalau benar, ia akan menikah.
Matanya suram melihat kepergian Carlo menuju kamar utama dibantu kepala pelayan. Ini kali pertama melihatnya kalah. Iapun buru-buru masuk ke dalam kamarnya. Terlalu membingungkan perasaan saat ini.
Rumah Caoli.
Caoli masih berada di atas tempat tidur. Matanya menatap langit-langit kamar dengan rumit. Hatinya bergetar ketika merasakan sesuatu yang tak bisa dikatakan dengan akal sehat. Tangannya diangkat setelah meraba sekali lagi sosok yang tadi bercinta di sebelahnya.
"Darah"
Pupil matanya menyipit lalu membesar, begitu terus berulang. Caoli tidak menyangka jika Desti selama di rumah Carlo tidak pernah lakukan hal ini sebelumnya. Wajahnya serumit rencananya sendiri. Ia termasuk bajingan karena begitu di tinggalkan, keinginan serakah mulai timbul. Kalau Desti tahu pemikiran akan dirinya, apakah masih bisa diteruskan? pikirnya.
"Desti"
30 tahun tumbuh bersama, ini kali pertama hatinya bergetar. Rasa itu begitu terpatri dalam benak dan otak kecilnya. Tidak mungkin, ia mau mengakui jika hatinya ternyata salah mengenali cinta. Matanya terpejam, bibirnya tertutup rapat, bagian tubuhnya berontak meminta ulang.
"Desti..."
Kata yang sama diucapkan demi melepaskan hati namun, bayangan wajah yang diharapkan adalah Riu berubah menjadi Desti. Apakah ini karma akibat cinta pikirnya tak senang sebelum larut dalam mimpi panjang.