Chereads / Cinta Istri Kedua / Chapter 42 - Arah mata pisau

Chapter 42 - Arah mata pisau

Kata orang, cinta itu buta.

Desti tersenyum lebar melihat arah pria yang dipuja. Carlo tertidur nyenyak di sampingnya, malam ini merupakan malam yang ditunggu. Akibat ditinggalkan Ayun memberikan keuntungan ganda padanya, ia buru-buru melepaskan pakaian yang melekat pada dirinya dan Carlo.

Awalnya kepala pelayan hendak membawa Carlo ke dalam kamar yang biasa di tempati bersama Ayun. Namun, Desti mencegahnya.

"Carlo.."

"Ayun"

Badan Desti membeku seketika, tangan Carlo meraih badannya masuk dalam pelukannya, hatinya tidak terima mendengar panggilan Carlo padanya tapi tidak menolak ketika ciuman mendarat pada dahinya.

"Jangan pergi"

Desti terdiam kaku dalam pelukannya. Matanya merah ingin menangis, ia mengecup dada Carlo yang terbuka.

"Aku disini. Tenanglah"

Ucapan pelan memberikan perasaan nyaman pada Carlo hingga Desti juga larut dalam mimpi meski hati sakit. Tidak apa nama orang lain disebut sementara badan memeluknya, itulah mantera pikiran Desti sebelum masuk dalam mimpi sepihak.

Rumah Jero.

Jero memandang Ayun yang tertidur pulas sambil memegang tangannya erat-erat seperti takut di tinggalkan. Hatinya berat. Ia duduk menunggu di samping tempat tidur Ayun, sorot mata gelisah.

Malam ini terasa menakutkan baginya. Ia adalah seorang laki-laki tapi mendadak melow mirip perempuan, ini tidak benar. Perasaan takut akibat keputusan salah terus membayangi.

Perlahan-lahan ingin menarik tapi Ayun semakin kuat memegang bahkan suara protes terdengar. Jero hanyalah laki-laki biasa yang bisa saja salah. Tarikan nafas agar tenang menghadapi kemarahan Riu jelas terbayang di kepalanya. Mata di pejamkan karena lelah, saat itu mata Ayun terbuka lebar. Seringai kejam muncul sesaat lalu bersinar terang.

Manusia mempunyai segala akal untuk mendapatkan keinginan. Ayun bergerak pelan-pelan menarik Jero ke arahnya hingga jatuh ke atas tempat tidur. Siapa yang tidak tahu mantan suami kalau bukan mantan istri. Kepala Jero berada di perut Ayun, nafasnya pelan seperti mengikuti gerakan perutnya, Ayun menutup matanya untuk tidur.

Waktu terus merangkak hingga matahari pagi menerobos masuk ke kamar tamu. Jero terdiam sesaat merasa kaget berada di atas perut Ayun, perasaan tidak nyaman langsung menghantam. Ditariknya kepala dari atas perut, bersyukur dalam hati ternyata Ayun masih tidur. Lehernya kaku. Iapun beranjak dari duduknya menuju pintu kamar tamu setelah merapikan selimut di atas badan Ayun.

"Pagi tuan"

Sapaan dari kepala pelayan nyaris bikin kaget Jero yang merasa capek terutama bagian lehernya.

"Dimana nyonya muda?"

"Di kamar utama, tuan"

Tanpa mendengar lagi, Jero melangkah ke arah kamar utama. Perasaan rumit datang lagi namun ditepisnya pada kenyataan, ini adalah keputusan yang benar.

klik!

Jero terpaku melihat Riu berdiri di balkon. Ini masih sangat pagi, kerutan di wajahnya muncul. Baju yang dipakai Riu masih sama dengan semalam, diliriknya posisi tempat tidur yang masih rapi, hanya sebagian kecil yang kusut, ia menghampiri.

"Riu..."

Badan Riu terlihat kaku sejenak ketika Jero melingkari pinggangnya. Bibirnya menyentuh leher Riu yang dingin.

"Kamu tidak tidur semalaman? ayo tidur"

"Tidak mengantuk"

"Kamu bisa sakit kalau tidak tidur. Ayo"

"Jero, mengapa Ayun disini?"

Jero yang semula ingin menarik Riu masuk dalam kamar, tersentak dengan pertanyaan yang sama semalam.

"Kamu curiga"

"Jero..."

"Ayun butuh bantuan. Dulu, aku pernah bicara sebelum bercerai jika dia butuh tempat untuk menenangkan diri, dia bisa tinggal di rumah ini"

"Ibumu?"

"Ibu belum tahu. Aku rasa ibu pasti mengerti"

"Jero jika suatu hari, kamu diminta memilih, kamu pilih siapa?"

"Jangan konyol, Ayun hanya mantan. Kamu istriku. Ayo, tidur. Aku temani sebentar biar kamu tidur sebelum pergi ke kantor"

"Aku harus ke kantor"

"Aku sudah ambil cuti 3bulan di kantormu untuk pemulihan diri. Untuk apa ke kantor? keluar saja dari sana. Seharusnya kamu contoh Ayun. Selama menikah denganku, Ayun tidak bekerja. Aku rasa menikah dengan Carlo juga sama"

"Aku-- "

"Kamu tahu waktuku terbatas. Aku butuh kamu, Riu"

"Aku-- "

"Ibu ingin segera mempunyai cucu. Kalau kamu bekerja, sulit mendapatkan anak. Aku tak mau usahaku mendapatkan keturunan tiap saat sia-sia"

"Jero, apakah aku hanya sebagai alat penerus keturunan?"

"Kita menikah sudah lama. Aku hanya tidak mau orang mempertanyakan kualitas milikku"

"Apa itu juga berlaku pada Ayun saat jadi istrimu?"

Riu tidak bergerak, Jero menghembuskan nafas pelan di lehernya. Kecupan diberikan sepanjang leher bikin Jero tak tahan menginginkan Riu. Tak mau ada bantahan ataupun protes, Jero berfikir hanya dengan perbuatan saja bisa meredam perasaan yang mengambang pada Riu. Jero mengendong Riu lalu meletakan di atas tempat tidur.

"Jero..."

Jero menatap mata Ayun yang penuh pertanyaan, kalau tidak bicara sekarang, takutnya Riu memiliki ide yang konyol di kepalanya.

"Aku mencintaimu. Ayun hanya mantan tapi kamu juga harus tahu aku berhutang maaf padanya karena sikapku di masa lalu jadi, Ayun berhak tinggal disini dan memperoleh penebusan dariku. Masalah anak, Aku tidak pernah menginginkan dari Ayun, aku ingin anak dari perutmu seorang"

Kata-kata Jero sudah menjelaskan banyak hal pada Riu demikian juga gerakannya mulai melucuti pakaian Riu dengan cepat. Satu hal yang pasti jangan memprovokasi laki-laki di pagi hari karena tenaga primitif selalu tinggi. Riu meneriakkan nama Jero setiap kali Jero masuk dalam dirinya dengan kecepatan tinggi, berulangkali dilakukan agar Riu mengerti posisi dirinya di hati Jero.

"Jero, jika Ayun gagal menikah, apa yang akan kamu lakukan?"

Nafas masih satu satu tapi Riu mulai bertanya lagi begitu Jero berbaring kelelahan di sampingnya. Kerutan dalam di sekitar mata karena tak puas dengan pertanyaan Riu yang seputar Ayun. Iapun bergerak lagi ke atas badan Riu lalu memasukkan miliknya tanpa aba-aba, sontak mata Riu berkilat.

"Menikah atau tidak menikah itu bukan urusanku. Kalau Ayun mau tinggal disini selamanya, aku tidak masalah. Ayun juga keluargamu"

Gerakan badan Jero mulai kasar pada Riu. Tangan Riu meraih seprai menahan siksaan yang manis sekaligus kasar secara bersamaan diberikan pada badannya.

"Satu hal yang harus kamu mengerti disini. Aku yang membawanya masuk maka aku juga yang memutuskan keluar atau tidaknya Ayun dari rumah ini"

Satu kalimat panjang mengakhiri semua gerakan Jero ketika dipuncak kenikmatan yang luar biasa. Namun, kalimat tersebut menghapus semua pertanyaan selanjutnya dari Riu. Perlahan air mata Riu turun ke arah bawah, Jero tidak melihatnya karena begitu selesai langsung melepaskan diri dari badan Riu.

"Tidurlah, aku harus ke kantor hari ini. Banyak rapat, jangan keluar rumah kalau tidak penting. Kalau bisa, temani Ayun. Saat ini, kondisi mentalnya tidak baik setelah disekap"

Jero turun dari atas tempat tidur, langkahnya masuk ke kamar mandi sementara, Riu menarik selimut tebal untuk menutupi badannya, hatinya sakit. Jika semalam tergores kini mulai berdarah karena pisau sudah tertancap kuat tanpa bisa dicabut. Keputusan akhir Jero tanpa diketahui telah merusak segalanya.