Sean berjalan dengan gontai menuju ruang bawah tanah, dirinya mendapat kabar jika salah satu bodyguardnya mencoba mengkhianati dirinya. Jangan lupakan Sean yang merasa benci pengkhianatan, dimatanya pengkhianatan tetap sama, selain rendah tentunya sangat amat menjijikan.
Sean merasa melupakan apa yang tengah Lyora larang, ia masih mengingat saat dulu dirinya berhenti membunuh karena larangan dari Lyora, dulu dirinya merupakan pembunuh yang kejam, setiap kali seseorang membuat kesalahan orang itu pasti akan mati di tangannya, dan kini Sean kembali berulah hanya karena penghianatan terjadi, namun percayalah jika Sean melakukan itu demi calon istrinya, Lyora. Sean sadar jika penghianat itu terus menyebarkan apa yang terjadi pada Lyora, mungkin mereka yang tengah mengincar dirinya akan sangat mudah menyakiti Lyora sebagai umpan. Sean tak ingin itu terjadi.
BRAK!!!
Sean menendang pintu masuk tanpa memikirkan apapun. Mengapa harus ada pengkhianatan diantara banyaknya bodyguard yang dirinya miliki. Sudah berkali-kali Sean tegaskan jika dirinya sangat amat benci penghianatan, siapapun yang berani berkhianat pada dirinya Sean pasti akan membunuhnya, bahkan jika itu adalah orang tuanya sendiri— pria itu berani menodongkan pistol kepada mereka.
Apalagi mereka yang notabennya hanya sebagai Bodyguard saja, orang suruhan sekaligus orang bayarannya, sama seperti hak milik, Sean bebas melakukan apapun.
"Kau tau bukan aku benci penghianatan?" tanya Sean dengan nada yang cukup rendah namun mampu menusuk indera pendengarannya. Ruang bawah tanah yang selalu dirinya gunakan untuk ritual sebelum saat dirinya mengenal Lyora.
Tak menyangka dirinya kembali lagi ke tempat ini. Entah apa yang akan dirinya lakukan, yang pasti dirinya yakin akan ada pesta panjang malam ini.
Senang? Tentu saja dirinya senang, sudah lama dirinya tidak membunuh seseorang hanya karena larangan yang calon istrinya itu berikan.
Mengingat, saat ini pikirannya tengah kalut, dirinya yang belum berhasil menemukan dalang di balik kecelakaan calon istrinya itu dan sekarang kenapa ada bodyguard yang berkhianat.
"Perketat keamanan, jangan sampai polisi mencurigai kediamanku," ucapnya membuat beberapa bodyguard berbalik untuk memperketat penjagaan.
Sean tersenyum devil, tak ada yang berani bicara diantara mereka. Seandainya ada yang berani pun sudah dipastikan pria itu akan mati di tangan Sean saat itu juga, maka dari itu— lebih baik mereka diam.
"Borgol," pinta Sean pada salah seorang bodyguardnya. Tak perlu menunggu lama, borgol itu sudah ada di tangannya.
"Kau ingin dibunuh dengan cara apa?" tanya Sean berbasa-basi.
Pria yang mendapat pertanyaan demikian, mulai merasa kalut dengan sekujur tubuh yang bergetar hebat pertanda tengah merasa ketakutan - pria itu seolah tak dapat menjawab apa yang Sean tanyakan.
Lagipula semuanya sudah tau jika Sean akan selalu membuat mangsanya menderita.
"Aku ingin berpesta malam ini," ucapnya melirik para bodyguard yang mengagguk mengerti.
Dua orang pria meraih tubuh mangsa Sean malam ini, digantungnya kedua tangan pria itu hingga tak dapat bergerak ulah borgol yang terpasang rapi.
"Nyalakan api," perintah Sean membuat mereka semua mengagguk setuju. Mangsanya kali ini tampak berteriak histeris, memohon ampun pada Sean. Akan tetapi, bukankah itu sudah terlambat?
"Kau memberitahu si Jalang Alexa prihal calon istriku yang tengah hilang ingatan!!?" tanya Sean tegas.
Dengan takut, pria itu mengagguk mengakui sembari terus menangis histeris. Bagaimanapun juga dirinya sudah ada dititik kematian.
"Berapa Alexa mampu membayarmu? Apa bayaran dariku tidak cukup?"
"Ti-- tidak tuan... Ma-- maafkan aku, Alexa me- memberiku an-- ancaman da-- n aku tidak dapat me-- menolaknya," jawabnya gugup.
Sean terkekeh geli mendengar jawaban yang mangsanya itu katakan. Diraihnya sarung tangan khusus agar polisi tidak dapat menemukan DNAnya nanti. Sean sudah memerintahkan semua bodyguardnya agar tidak meninggalkan jejak apapun dan sekecil apapun.
CTAR!!! CTAR!!! CTAR!!!
"Sakit?" tanya Sean setelah melayangkan beberapa cambukan pada mangsanya malam ini.
Api masih belum dinyalakan, namun kini Sean sudah bersiap memegang gas lighter ditangannya. Sesekali Sean memainkannya, bermaksud menggoda sang mangsa. Tak percaya malam ini akan ada pesta, jika saja bodyguardnya itu tidak berkhianat, mungkin tak akan berakhir seperti sekarang ini.
Crek!
Gas lighter menyala, sontak Sean melemparnya tepat dibawah sang mangsa yang sudah diguyuri minyak tanah.
"Segera siapkan peti untuk meletakan abunya!" titah Sean lagi.
Sean meraih pistol yang berada disebuah brangkas, memasukan beberapa digit angka yang sudah melekat dikepalanya.
"Aku akan menembakan ini tepat di kakimu, setidaknya kau dapat merasakan sakit terlebih dahulu," sambungnya.
DOR!!!
Sean tertawa puas akan apa yang dirinya lakukan. Sungguh hiburan yang luar biasa malam ini, melihat darah yang mengalir, permintaan ampun yang terlontar serta keadaan yang begitu mencengkram.
"Harusnya kau mengerti, aku sedang frustasi karena calon istriku tengah amnesia walau hanya sementara. Kau malah membuat ulah," tuturnya.
DOR!
Satu tembakan lagi mendarat tepat di perutnya, Sean tak tahu sampai kapan pria itu akan bertahan untuknya. Dirasa sampai saat ini pria itu masih dalam keadaan baik-baik saja. Tidak, tidak sebaik yang mereka lihat.
Darah bercucuran, api yang terus menggebu-gebu dibawah sana membuat keadaan semakin mencengkram.
***
Di sisi lain, Lyora bangun dari tidurnya, keringat dingin menyiksa. Dirinya ingat, dirinya ingat semuanya. Mungkin karena dirinya hanya mengalami amnesia sementara saja membuatnya tidak lama mengingat kembali ingatannya itu.
Sebelumnya Lyora membuka kotak hitam yang wanita paruh baya itu beri padanya, ternyata isinya adalah foto. Ada banyak foto dirinya dengan seorang pria, Sean. Ya, kini Lyora dapat mengingatnya.
Saat dirasa kepalanya begitu pening, Lyora memilih untuk tertidur sejenak. Padahal bayang-bayang masa lalu sudah tergambar jelas dalam pikirannya, namun Lyora pikir dirinya sudah tidak dapat menampung gambaran itu semua, seberapa kuatpun dirinya memaksakan, Lyora pikir hasilnya akan tetap sama.
Hingga kini dan saat ini dirinya bangun dari tidur panjangnya, Lyora ingat. Jika pria yang memanggilnya dengan sebutan Baby itu adalah calon suaminya. Pria dingin, kejam yang merupakan seorang pimpinan perusahaan besar di negara ini.
Segera Lyora berlari dengan mengenakan kemeja kebesaran tanpa bawahan. Lyora menangis, merindukan pria yang seharusnya memeluk dirinya. Lyora ingin, Sean pria pertama yang tau akan kabar baik ini.
Di rumah sebesar ini, tentu Lyora tak akan mudah menemukan keberadaan Sean, namun dengan segenap rasa dihati, Lyora mencari sesuatu yang dapat dirinya gunakan sebagai petunjuk. Dilihatnya deretan para bodyguard yang berjajar menuju ruang bawah tanah. Itu berarti penjagaan tengah diperketat.
Lyora berlari tanpa peduli, seluruh bodyguard mencoba menahannya agar tidak pergi. Namun, Lyora tetaplah wanita yang keras kepala yang tak ingin kalah. Mengingat, tak ada bodyguard yang berani memperlakukannya kasar bahkan menyentuh tangannya membuat Lyora lebih leluasa berlari kearah pintu.
BRAK!!! Pintu terbuka.
"Sean..." lirih Lyora melihat apa yang tengah Sean lakukan.