"Aku akan mengendarai sendiri," kata Sean dingin. Sean bahkan semakin merapatkan tubuh Lyora padanya.
Seluruh bodyguard yang tengah berbaris rapi dengan stelan jas yang melekat di tubuh mereka. Bahkan semua pria kekar itu tak ada yang berani mengangkat kepanya.
"... dan biarkan aku pergi tanpa pengawalan," sambungnya.
Sean berjalan melewati mereka, memasuki sebuah mobil seharga miliaran dolar keluaran terbaru. Sungguh, hal itu tak akan membuat Sean jatuh miskin.
Membukakan pintu mobil dan membiarkan Lyora masuk lebih dulu hingga akhirnya dirinya berjalan memasuki kursi kemudi.
Lyora merasa canggung, berada di dalam mobil dengan Sean. Ia bahkan hanya menundukkan kepalanya, belum berani bertanya apapun pada Sean.
"Kamu terlihat sangat cantik, sayang..." puji Sean.
Lyora memberanikan diri mendongakan kepalanya, menatap Sean yang juga tengah menatapnya hingga saat itu pula pandangan mereka terkunci.
Tangan kekar Sean terulur, mengusap lembut bibir Lyora, "Aku benar-benar tak dapat menahannya."
Sontak Lyora menepis kasar lengan Sean membuat Sean menggeram tertahan.
"Sean, aku tak ingin kamu merusak make-up ku," cicit Lyora menatap Sean dengan tatapan bersalah.
Sean mencoba mengatur nafasnya, ia tak ingin memarahi gadisnya hanya karena masalah sepele. Apalagi sampai membatalkan acarnya begitu saja, mau bagaimana pun juga Sean pria normal, bukan seorang psikopat yang berani menyakiti miliknya. Ia menarik Lyora kedalam pelukannya, memejamkan matanya sembari menghirup rakus wangi tubuh Lyora yang sama sekali tak pernah berubah, "Aku ingin segera menikahi mu, sayang. Mengurungmu dan membuat Sean junior sepanjang hari."
Mendengar kata, 'Sean Junior' membuat Lyora tak dapat berkata-kata lagi. Ia lebih memilih membalas pelukan Sean dengan penuh kasih sayang, memejamkan matanya dan menikmati desiran aneh yang selalu ia rasakan saat bersama Sean, hanya saat berada bersama Sean saja.
"Sean, boleh ku bertanya?" tanya Lyora masih dalam pelukan Sean.
Sean melonggarkan pelukannya, namun kedua tangannya masih setia berada di pinggang milik Lyora— gadisnya itu.
Menatap wajah cantik Lyora sembari mengangkat sebelah alisnya seolah bertanya, ada apa?
"Kita mau kemana?"
"Makan malam keluarga," jawabnya tanpa mengalihkan arah pandangnya.
***
Sean menghentikan mobilnya di depan sebuah mansion yang tampak seperti kastil, dengan gaya Eropa mampu membuat Lyora berbinar walau ini bukan pertama kali baginya datang ke mansion ini.
"Kau siap, sayang?" tanya Sean menatap Lyora penuh arti.
Lyora tampak gugup, ia merasa tak siap jika harus mendadak seperti ini, "Sean—
"Shtt... Kau hanya perlu mengikuti peraturan," tutur Sean menyunggingkan senyumnya.
"Tidak boleh menatap pria lain."
"Tidak ada—
"Sean, stop it! Aku tau dan aku ingat semuanya," tukas Lyora. Entahlah, Lyora merasa jengah dengan keposesifpan Sean yang tak pernah berakhir itu.
Cup! Satu kecupan basah tepat di bibir milik Lyora, hampir saja Lyora kehilangan akal sehatnya jika dirinya tak segera menyadarkan dirinya sendiri.
Dengan menghiraukan Lyora yang masih saja mematung ulah kecupan singkat Sean, pria itu tampak keluar dari dalam mobil, seperti biasa membukakan pintu untuk sang kekasih. Tangan kekarnya tak pernah lepas dari pinggang Lyora, seolah tengah memperlihatkan kepemilikannya kepada dunia.
Lyora, gadis itu dapat melihat para pria kekar yang tengah berbaris rapi di depan mansion. Semua pria itu memakai jas berwarna hitam, berdasi dan berdandan rapi. Keadaan mansion pun tampak sepi, tak ada yang berani berbicara. Merupakan suatu peraturan yang diharuskan untuk semua bodyguard dan para maid agar tidak berbicara satu sama lain.
"Tundukan kepalamu sayang, aku tak ingin siapapun melihat wajah cantik mu," bisik Sean yang masih dapat terdengar oleh Lyora. Bahkan Lyora dapat merasakan hembusan nafas sang pemilik suara.
Tak ingin berdebat, Lyora segera menundukkan kepalanya.
"Kau datang, Son." Sean hanya membalasnya dengan deheman singkat. Berbeda dengan Lyora yang merasa takut sekaligus cemas, ia terus saja memilin jari-jari Sean, melihat respon gadisnya yang begitu berlebihan, Sean hanya tersenyum tipis, sangat tipis hingga bahkan tak dapat terlihat begitu saja.
Luciano O'Pry— pria tua yang menyandang status sebagai ayah dari Sean itu tampak terlihat tampan meski usianya sudah terbilang tua. Raut wajahnya yang dingin, tatapan tajam serta pembawaan penuh wibawa. Terlihat jelas jika pria tua itu tentu bukan pria yang main-main, lebih seperti Sean versi lama.
"Kau terlambat lima menit, Sean."
Marcel Schmelzer Smith, pria tujuh belas tahunan yang merupakan adik sepupu Sean. Pria yang menyandang marga Smith itu tentu tak main-main, seakan raut wajah dingin dan tatapan tajam itu sudah melekat pada setiap keluarga besar antara Smith dan O'Pry.
"Kau ini! Sudah bagus dia datang. Tutup mulutmu!" kesal seorang wanita paruh baya melempar tatapan tajamnya pada Marcel.
Elise O'Pry— ibu dari Sean. Tampak selalu agresif jika menyangkut anak semata wayangnya itu, pewaris tunggal dari keluarga O'Pry yang jelas memiliki kekayaan berlimpah ganda.
Sean menghiraukan itu semua— Menarik kursi dan mempersilahkan Lyora duduk. Salah satu kebiasaan Sean yang tak dapat dihilangkan, bahkan semua orang yang ada di meja makan tampak tak keberatan dengan hal itu, seolah sudah terbiasa.
Setelah tuan rumah meletakan serbet di pangkuannya, semua orang yang berada di meja makan ikut meletakan serbet di pangkuannya. Begitu pula dengan Lyora, salah satu peraturan yang harus membuat Lyora terbiasa.
"Bagaimana kabar mu sayang?" tanya Elise memandang Lyora penuh kasih sayang.
"Tutup mulut mu, Elise. Dilarang berbicara saat akan makan, jika kau lupa!" sindir Luciano dengan nada yang terkesan tenang namun penuh penekanan.
Keadaan meja makan begitu hening, mereka makan dalam diam. Seluruh maid yang bertugas menyajikan makanan pada piring sang tuan dan nyonya tampak begitu berhati-hati, takut akan kesalahan yang mungkin dapat terjadi kapan saja.
Lain halnya dengan Sean, pria itu tampak tak ingin mengalihkan arah pandangnya dari Lyora barang sejenak.
Lyora melirik Sean kala pria itu memberinya satu suapan, tanpa ingin menolak pun Lyora sudah menerima suapan itu sesekali melempar senyumnya pada Sean.