Beberapa saat kemudian, mobil yang ku tumpangi dengan Robert berhenti tepat di sebuah gedung pencakar langit. Gedung L&S dengan Sean O'Pry— calon suamiku, pemiliknya.
Robert membukakan pintu mobilnya untuk ku, meraih paper bag berisi kotak makan siang itu dari ku, berjalan di belakang ku seolah siap sedia menerkam siapa saja yang berani menyentuh ku. Apa semua bodyguard begitu? Aku tak yakin! Mungkin itu sudah menjadi tugas mereka.
"Nona—
Suara berat milik Robert menghentikan langkahku, lantas aku berbalik sembari menatap Robert seolah bertanya, 'ada apa?'
"Tuan O'Pry ada di sebelah sana." Aku mengikuti arah pandangnya. Dan benar saja, disana— Sean dengan diikuti para pria berjas tengah berjalan ke arahku.
Beberapa saat Sean menarik ku ke dalam pelukannya, "Apa kau sangat merindukan ku, hm?"
Sontak aku melepaskan pelukannya, "Apa kau tau aku akan menemui mu disini?"
Yang benar saja, bahkan Sean seolah telah siap menjemputku dengan segerombolan bodyguardnya, tidak mungkin bukan Sean memantau seluruh pergerakan ku? Atau— mungkinkah Sean menyimpan sesuatu di tubuhku?
"Robert— dia kaki tangan ku sayang. Dia tak mungkin berkhianat padaku," kekehnya.
Aku menatap Robert mengintimidasi, bagaimana bisa Robert mengacaukan rencana ku? Apa pria itu tak tau aku ingin membuat kejutan untuk calon suami ku?
"Maaf, Nona."
"Sudahlah sayang, ayo!" ajak Sean ikut terkekeh melihat bagaimana raut wajahku. Sean tampak merangkul pinggangku romantis, meraih paper bag yang Robert bawa, mungkin Sean tau segalanya.
Seluruh karyawan yang berada di lantai dasar tampak menatap ke arah ku secara diam-diam, bagaimana pun juga mereka tak akan pernah berani menatap atasan mereka terang-terangan, aku sangat tau bagaimana Sean.
"Pergilah," titah Sean pada seluruh bodyguardnya kala sudah berada di depan pintu lift khusus Sean— hanya untuk Sean. Mereka membungkukan badannya, lantas pergi meninggalkan aku dan Sean yang sudah melangkah masuk ke dalam lift.
Sean tampak menekan dua digit angka yang akan membawa kita ke lantai dimana ruangan CEO berada, lengan kekarnya seolah tak ingin lepas dari pinggang ramping ku.
Keadaan begitu hening
Sangat hening
Hingga tiba-tiba saja Sean memojokkan tubuhku dengan sekali hentakan, "Se-- Sean, apa maksudmu?"
"Sayang, buka CD mu..." pintanya dengan nada sensual.
Bulu kuduk ku terasa berdiri dibuatnya. Aku hanya diam mematung tanpa tau harus melakukan apa. Detak jantungku tak beraturan, bahkan jarak antara aku dan Sean hanya beberapa senti saja.
"Ta-- tapi—
"Buka CD mu atau aku akan menghukum mu, hm?" tukasnya.
Aku mengernyitkan dahiku bingung, "Hu-- hukuman?"
"Cepatlah sayang," bisiknya.
Tak ada pilihan lain, dengan ragu tanganku terulur, menarik CD di balik dress ku hingga—
"Sean, ini memalukan.." cicitku. Aku benar-benar malu, sangat malu! Dan mengapa lift ini sangat lama sekali.
Sean meraih CD ku lalu memasukannya ke dalam saku jas nya, what the— apa yang dia lakukan?
Ia berjongkok dengan aku yang masih berdiri. Lengan kekar itu membelai kaki jenjang ku dengan gerakan lembut, penuh sensasi hingga terselip gairah antara sentuhan itu.
Bersamaan dengan tubuh Sean yang kembali tegak, bersamaan pula dengan jari-jari pria itu yang membelai kewanitaan ku—
Shit!
"Ahhhhhh... Seanhhhhhh.."
"Ya, sayang. Aku suka kau memanggil nama ku sembari mendesah seperti itu."
Jari-jarinya semakin gencar mengocok area kewanitaan ku dengan gerakan cepat, semakin cepat hingga saat aku akan mencapai pelepasan ku, Sean— pria itu dengan tak tau dirinya menjauhkan tangannya dariku.
"Sean, apa maksudmu?" tanyaku kesal. Tentu saja, aku sudah berada di puncak dan Sean dengan seenak jidatnya menghentikan gerakan jari-jarinya itu.
Cup! Satu kecupan mendarat di bibirku, "Menggoda mu sayang."
Ting!
Pintu lift terbuka, tak ingin menunggu pria yang sudah membuat ku kesal, aku berjalan meninggalkannya yang tengah terkekeh sembari mempercepat langkahnya untuk menyusul ku.
"Siang Nona," sapa Rachel membungkukan tubuhnya.
Aku tersenyum, "Siang juga Rachel."
Aku tak memiliki waktu untuk berbincang dengan Rachel, tentu saja karena aku tengah menghindari pria tampan yang telah menggodaku.
*
Ruangan ini sangat besar, mewah dan elegan. Aku menjatuhkan bokong ku di salah satu sofa yang ada, menatap lurus ke depan dengan kedua tangan yang ku lipat di dada.
"Sayang, ayolah..." sesalnya sembari berjongkok di hadapanku. Kedua tangan kekar itu menggenggam kedua tanganku lembut, mengusapnya penuh kasih sayang. Senang? Tentu saja aku senang, hanya saja aku tetap harus mempertahankan rasa marahku, aku tak boleh luluh hanya karena hal ini.
Sean kembali menegakan tubuhnya, membantuku berdiri dari dudukku dan berjalan dengan tangan yang saling bertautan, ia duduk di kursi kebesarannya.
Lalu, aku? Gerutu ku dalam hati.
"Duduklah sayang, jangan diam saja..." kekehnya menuntun ku untuk duduk di atas pangkuannya.
Aku mungkin akan luluh begitu saja padanya.
"Jadi apa yang kau bawa ini, hm?" tanyanya dengan senyum yang tak pernah Sean tunjukan pada siapapun.
Tentu aku membalas senyumannya, "Aku membawa makan siang untuk mu."
Tanganku terulur, mengeluarkan kotak makan yang berada dalam paper bag.
"Mary dan Joshua yang membuatnya, makanlah." Sean menggelengkan kepalanya. Apa yang dia mau sebenarnya?
"Suapi aku."
Baiklah, aku mengalah. Dengan malas, aku meraih sendok makan, "Buka mulu— Ahhhhh... Seanhhhhhh, inhhh inihh..." desahku kala jari-jari Sean memasuki area kewanitaanku.
Pria itu tampak santai dengan menerima suapan yang aku ulurkan tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Jari-jarinya terus bergerak liar di bawah sana.
"Seanhhhh— ahh... ahhh.."
"Sayang, suapi saja aku." Dengan tak tau dirinya Sean mengatakan itu, sedangkan tubuhku sudah tak karuan dengan sentuhan jari-jarinya itu.
Kurasa aku akan mencapai puncak ku, kedua pahaku menghimpit lengan kekar Sean yang tengah bermain di bawah sana, "Lebihhhh cepathh— ahhhhh..."
Organisme pertama sebagai penutupan, namun tatapan Sean terus terpaku padaku, tatapannya sudah sangat bergairah. Aku dapat melihat lengan kekar itu mencoba membuka resleting celananya yang sudah tampak sesak.
Namun sebelum itu terjadi—
"Aku ingin ke toilet!" Senyum mengejek terbit di wajah ku sembari berlari menuju pintu kamar mandi.
Sean tampak frustasi.
"Jangan lari-lari sayang!" tegasnya mengingatkan. Ya, Sean memang posesif dalam segala hal.