Chereads / CEO Jutek Dan Perisainya / Chapter 16 - Terbayang-bayang

Chapter 16 - Terbayang-bayang

Sementara itu rumah yang sedang dituju oleh Senopati itu adalah rumah Arjun.

Arjun memang belumlah tidur. "Kenapa aku teringat gadis itu terus, ingat Arjun kamu buruk rupa," gumamnya yang lalu mengeluarkan napas berat sambil memandang bintang dan rembulan.

"Setiap saat jantungku berdebar, jika gambaran wajahnya muncul," gumamnya lagi. "Ah ... sadar, ayo sadar," katanya sambil menepuki pipinya yang panas.

Arjun lalu menyibukkan diri, dia bolak-balik masuk dan keluar rumah untuk mempersiapkan sayuran hasil kebunnya yang habis dipetik sore tadi, karena besok pagi mau diantarkannya ke pasar. 

"Apa besok bisa melihanya lagi?" gumamnya lagi yang masih terbayang-bayang wajah cantik gadis tidak dikenalnya sama sekali. Arjun mendengar suara kuda yang menyadarkan dari lamunan tentang gadis itu.

Akhirnya Senopati pun sampai di depan rumah Arjun. 

"Permisi ki sanak ... maaf kalau kiranya mengganggu? Saya ini kemalaman ... kalau diperbolehkan saya mau numpang istirahat untuk malam ini?"

Arjun yang masih membungkukkan badan karena memang sedang mengikat sayurannya, langsung berdiri dan membalikkan tubuhnya. 

"Yah, silahkan ..."

Dan begitu melihat wajah Arjun, Senopati pun langsung terkejut, dia mengira kalau Arjun adalah hantu penunggu hutan itu. Wajah Arjun yang memang telah rusak terlihat sangat menakutkan, apalagi penerangan hanyalah dari cahaya lampu minyak tanah yang terlihat suram, sehingga tidak bisa menerangi dengan jelas, dan malah menambah seram pada wajah Arjun itu.

"Ohh, siapakah tuan ini? Apakah tuan ini manusia? Ataukah Siluman?" tanya Senopati dengan wajah terlihat nampak tegang. 

"Tenanglah tuan, saya ini juga manusia seperti tuan, mari silakan duduk."

Lalu Senopati pun segera masuk ke teras rumah Arjun, dia nampak masih memperhatikan Arjun yang masih sibuk dengan dagangannya itu. 

"Maaf Tuan, saya selesaikan pekerjaan saya ini, habis ini saya temani Tuan," ucap Arjun yang terlihat mempercepat gerakannya untuk segera membereskan pekerjaannya itu. 

Dan tidak lama kemudian Arjun terlihat sudah menyelesaikan pekerjaannya, lalu dia pun segera duduk menemani tamunya itu. 

"Siapakah Tuan ini? Kenapa malam-malam seperti ini Tuan bisa berada disini?" tanya Arjun nampak keheranan.

"Perkenalkan nama saya Bagaskara ... saya berasal dari kota raja."

"Lalu untuk apa larut malam seperti ini Tuan berada disini? Apakah Tuan tersesat?"

"Tidak tahu ki sanak, saya sendiri tidak tahu apakah saya ini sedang tersesat atau tidak? Tapi yang jelas saya ini sedang menuju ke lereng gunung Pati Pura itu," jawab Senopati sambil menunjuk ke arah gunung. 

"Untuk apa Tuan jauh-jauh datang hanya untuk pergi ke gunung? Apakah Tuan mau bertapa?"

"Bukan ki sanak, saya tidak akan bertapa."

"Lalu untuk apa?" tanya Arjun penasaran. 

"Saya hanya sedang menjalankan tugas dari Kerajaan Mulyajaya, saya sedang diutus oleh Gusti Ratu Dewisinta."

"Oh, jadi Tuan ini seorang punggawa Kerajaan?" tanya Arjun.

"Benar ki sanak, saya adalah seorang Senopati Kerajaan Mulyajaya, saya ini mendapatkan tugas Kerajaan untuk mencari mayat sakti yang berada di sebuah Goa di lereng gunung Pati Pura itu."

"Untuk apa Gusti Ratu memerintahkan Tuan Senopati mencari mayat sakti?" tanya Arjun penasaran. 

"Untuk menyembuhkan penyakit Gusti Prabu Damantara."

"Memang Gusti Prabu menderita penyakit apa? Kok sampai harus disembuhkan dengan mayat sakti."

"Gusti Prabu menderita lumpuh Tuan, beliau sudah berbulan-bulan tidak bisa bangun dari ranjangnya."

"Tunggu, sebentar Tuan," tiba-tiba saja Arjun memotong pembicaraan Senopati, dia terlihat menundukkan kepalanya, seperti orang yang sedang melakukan semedi. 

Arjun memang sedang mendapatkan panggilan gaib, dia sedang dipanggil oleh roh Eyang Resik. 

"Arjun cucuku ..."

"Iya Eyang. Ada apa Eyang memanggilku?"

"Eyang mau memberi tahu bahwa tamu mu itu adalah orang baik, dan dia memang sedang menjalankan tugasnya."

"Lalu apakah Eyang akan mengizinkan apabila jasad Eyang dibawa oleh orang ini?"

"Arjun ... ketahuilah ... bahwa saat ini aku sudah tidak ada urusan lagi dengan jasadku itu, aku sudah tidak punya kuasa apa-apa dengannya, karena aku sudah berada di alam yang berbeda."

"Lalu Eyang? Apakah berarti aku harus mengizinkan mayat Eyang dibawa olehnya?" tanya Arjun yang nampak masih bingung. 

"Itu terserah kamu ... kalau kamu rasa perlu ya silahkan, tapi kalau hanya untuk menyembuhkan penyakit Raja Damantara tidak harus dengan bekas jasadku itu."

"Lalu dengan apakah Eyang?" tanya Arjun. 

"Ambilkan tiga helai rambut dari jasadku, lalu berikan kepada orang itu untuk kemudian supaya dipakai oleh sang Raja Damantara, atas ijin sang Esa, Raja Damantara akan segera diberi kesembuhan," tutur roh Eyang Resik.. 

"Baiklah Eyang, kalau begitu besok sehabis dari pasar saya akan mengunjungi jasad Eyang dan akan aku ambilkan tiga helai rambut Eyang Reksa untuk diberikan kepada tamuku ini."

"Jangan tunggu sampai besok cucuku ... saat ini di Goa sudah banyak orang yang hendak mengambil mayat Eyang, tapi mereka semua tidak akan pernah bisa, meski hanya untuk sekedar memasuki Goa sebelum kau datang."

"Ingat pesan Eyang cucuku ... orang yang layak untuk memiliki jasadku adalah seorang kesatria, yaitu orang yang memiliki kepribadian yang baik, sebab kalau tidak ... kalau sampai jasadku itu jatuh ke tangan orang-orang jahat, maka itu akan menjadikan kejahatannya semakin sempurna dan dengan begitu akan semakin banyak pula orang-orang yang akan menderita karena ulahnya, maka dari itu pilihlah orang yang benar-benar tepat ... selamat tinggal cucuku ..." ucap Eyang Resik menyudahi kontak batinnya. 

"Baik lah Eyang ..."

Lalu Arjun segera membuka matanya, nampak Senopati masih duduk sambil terus memperhatikan orang yang ada di depannya itu. 

"Tuan Adhinata ... ketahuilah bahwa saat ini orang yang sedang menginginkan mayat sakti itu banyak sekali, dan mereka adalah para pendekar dari berbagai aliran ilmu silat." 

"Baiklah ki sanak, kalau begitu saya tidak jadi istirahat di rumah ki sanak, saya akan langsung naik kelereng gunung dan akan segera mengambil mayat sakti itu, biar tidak didahului oleh para pendekar itu."

"Tunggu dulu Tuan, jangan terburu-buru, Tuan Senopati tenang saja, karena mereka para pendekar itu tidak akan pernah bisa mengambil mayat sakti itu." 

Mendengar ucapan orang yang ada di depannya itu Senopati Adhinata pun kembali agak terkejut. 

'Siapa sebenarnya orang ini? Kok nampaknya dia sangat paham dengan mayat sakti itu,' gumam Senopati dalam hati. 

"Eh, maaf sejak tadi saya belum bertanya, siapakah ki sanak ini sebenarnya? Keliatannya ki sanak paham betul dengan mayat sakti itu?"

"Nama saya Arjun Tuan, saya adalah cucu dari Eyang Resik."

"Apa? Eyang si mayat sakti itu?"

"Benar Tuan, dan sayalah yang ditugaskan untuk menjaga mayat Eyang Resik itu."

"Oh, maafkan saya Tuan Arjun? Saya benar-benar tidak tahu, terus bagaimana caranya agar saya bisa mendapatkan mayat sakti itu? Karena kondisi Prabu Damantara sudah sangatlah memprihatinkan."

"Sebenarnya kalau hanya untuk sekedar mengobati penyakit Gusti Prabu tidak perlu sampai membawa mayat Eyang Reksa."

"Lalu?" tanya Senopati penasaran. 

"Cukup Tuan Senopati membawa rambut Eyang Resik."

"Caranya gimana Tuan?"

"Nanti saya yang akan mengambilkannya untuk Tuan Senopati."

"Oh begitu baiklah, lalu kapan kita akan ke sana?"

"Sekarang Tuan, kita akan berangkat sekarang untuk memastikan keadaan yang terjadi di Goa itu, mari Tuan Senopati."

Lalu mereka berdua pun segera berangkat menelusuri jalanan yang mengarah ke lereng gunung Pati Pura, nampak mereka memilih untuk tidak membawa kuda, karena dikhawatirkan suaranya bisa terdengar oleh para pendekar lain yang juga sedang menuju ke tempat yang sama. 

Arjun mengajak Senopati untuk mengambil jalan pintas, meskipun sedikit terjal dan sesekali harus memanjat tebing namun bagi seorang pendekar hal tersebut bukanlah merupakan suatu masalah. 

Bersambung ...