Arjun mengajak Senopati untuk mengambil jalan pintas, meskipun sedikit terjal dan sesekali harus memanjat tebing namun bagi seorang pendekar hal tersebut bukanlah merupakan suatu masalah.
Sementara langit yang tadinya cerah dengan sinar rembulan dan bintang tiba-tiba berubah menjadi gelap nan pekat, angin malam berhembus dengan kencang menggiring dan menata gumpalan mendung yang menggantung di bibir langit. Gumpalan pekat kelabu membumbung angker di awang-awang. Deru air yang menghujami bumi mulai bergemuruh riuh. Hujan deras pun akhirnya tumpah.
"Tuan Senopati, mari kita cari tempat untuk berlindung dulu," ajak Arjun.
"Baik lah Tuan, saya ikut Tuan saja."
Lalu kedua orang itupun masuk menyelinap di sebuah cekungan batu yang menyerupai sebuah Goa.
"Nampaknya tempat ini lumayan untuk kita berlindung sementara," ujar Senopati Bagaskara.
"Benar Tuan Senopati."
"Apakah Goa yang kita tujuh masih jauh Tuan?" tanya Senopati.
"Tidak Tuan, kita tinggal naik menyusuri jalan setapak itu dan setelah melewati satu tikungan maka sampailah kita di pelataran Goa," jawab Arjun sembari menunjuk ke arah jalan yang dia maksud.
Sementara itu di depan mulut Goa nampak telah tiba di sana Panjol dan Dewi Ayu. Dengan bermaksud segera ingin mendahului masuk ke dalam Goa, sementara pendekar yang berjuluk Kebo langsung berjalan menuju mulut Goa, namun betapa kagetnya Kebo ketika di depan mulut Goa ada lima ekor kuda yang ditambatkan di tetumbuhan liar yang ada disitu.
"Oh, rupanya sudah ada yang duluan datang kesini, siapa kira-kira mereka itu?" ujar Kebo kebingungan, sesaat dia clingak-clinguk mencari siapa pemilik kuda-kuda itu. Disaat Kebo masih bingung tiba-tiba ada suara yang mengagetkannya.
"Hoii! Siapakah itu?" bentak suara yang tidak lain adalah Panjol dan Dewiayu.
Mendapat bentakan secara tiba-tiba Kebo pun langsung terkejut. Dan ketika dia menoleh dia baru tau kalau orang yang telah mengagetkannya itu rupanya adalah Panjol dan Dewiayu.
"Bedebah! Rupanya kalian, bikin kaget saja!"
"Oh ... Kau Kebo rupanya? Untuk apa kamu berada kesini hei manusia siluman?"
Mendengar pertanyaan itu Kebo pun langsung tertawa terbahak-bahak.
"Huahahaha ... huahahaha ... sama seperti kalian berdua ... huahahaha ... aku juga menginginkan mayat sakti itu ..."
Mendengar jawaban seperti itu, Panjol dan Dewiayu pun langsung geram dan nampak menggerutu.
"Dari mana kamu bisa mengetahui tempat ini?"
"Dari Jaka ... huahahaha ..."
Mendengar ucapan Kebo begitu Dewiayu pun langsung sadar bahwa pertempurannya dengan Jaka sore tadi ternyata telah diintai oleh Kebo.
"Kurang ajar! Rupanya kamu telah mengintai pertarungan dan menguping pembicaraan kita kemaren sore? Biadap kau manusia setan!"
"Huahahaha ... itulah aku ... Kebo Klawu ... pendekar cerdik dan beruntung, karena sebentar lagi akan mendapatkan mayat sakti."
"Jangan mimpi kau manusia setan! Kamu tidak pantas mendapatkan mayat sakti itu! Lebih baik menyingkirlah! buang jauh-jauh mimpimu itu! Atau kalau tidak, kau akan berhadapan dengan kita berdua!"
Mendapat gertakan dari sepasang pendekar seperti itu Kebo Klawu nampak menanggapinya dengan santai, dengan menepuk-nepukkan kedua telapak tangannya.
Plok, plok, plok ...!
"Ketahuilah kalian berdua! Kebo adalah pendekar cerdik yang pantang menyerah sebelum berhasil, dan kalau perlu kalian berdua lah yang akan aku suruh untuk ngambil mayat sakti itu, lalu segera serahkan kepadaku."
"Juih! Kamu itu bukanlah pendekar cerdik tapi picik dan licik!"
"Oh, itulah bedanya aku dengan kalian, kalau aku pakai otak dan kalau kalian pakai dengkul! Dasar pendekar-pendekar tolol!"
Tiba-tiba suasana di halaman Goa pun mulai terasa tegang, hujan yang semula turun dengan sangat lebat kini juga sudah mulai agak mereda, terlihat dua kubu pendekar yang mulai marah nampak telah bersiap untuk bertarung, untuk membuktikan siapa yang terkuat dan pantas untuk mendapatkan mayat sakti.
Sementara itu di sebelah mulut Goa kira-kira berjarak sepuluh tombak dari Goa utama terdapat sebuah Goa kecil yang tidak terlalu dalam, nampak disitu ada lima orang pendekar yang sedang tidur, merekalah para pemilik kuda-kuda yang ditambatkan di depan Goa utama itu. Dan mereka itu tidak lain adalah kawanan para pendekar yang ditemui Senopati Bagaskara ketika makan di warung di pinggiran Kota raja Mulyajaya.
Mendengar suara keributan yang terjadi di luar, membuat para pendekar itu terbangun.
"Eeeh ..."
Nampak salah satu pendekar itu terjaga, sambil meregangkan otot tubuh dia bertanya kepada temannya yang lain.
"Siapa yang ribut-ribut diluar sana itu? Coba kamu lihat," suruh pendekar yang ternyata ketua kelompok dari para pendekar itu.
Lalu sambil mengucek-ngucek mata dan menguap karena memang masih merasa ngantuk salah satu pendekar itupun bangkit dan berjalan keluar, dan betapa kagetnya pendekar itu begitu melihat ada tiga orang yang nampak seperti pendekar yang sudah berhadapan dan siap untuk bertarung. Lalu dengan setengah berlari dia kembali menemui para temannya itu.
"Hey, ayo bangun semua! Diluar ada orang yang mau bertarung, ayo kita lihat siapa mereka itu."
Kemudian mereka semua keluar, nampak diluar hujan sudah reda dan rembulan juga mulai muncul dan kembali menyinari, lalu mereka berlima berjalan sambil jongkok dan bersembunyi dibalik bongkahan batu besar.
"Hei kau Panjol dan Dewiayu! Sungguh kalian berdua lah yang tidak pantas untuk mendapatkan mayat sakti itu, karena kalian itu adalah pasangan pendekar Iblis penebar fitnah dan kemungkaran," gertak Kebo Klawu.
"Hahaha ... kau sadar dengan apa yang kau ucapan itu Kebo? Bukankah yang setan sesungguhnya adalah engkau?" balas Panjol dengan nada menghina.
"Aku memang siluman tapi aku ..." belum selesai Kebo bicara tiba-tiba kelima pendekar itu melompat menghampiri mereka bertiga.
"Hep, hiyyak, hiyyak, hiyyak ...!"
Brukks, brukks, brukks!
Suara para pendekar itu mendaratkan diri hampir bersamaan.
Sontak saja kehadiran kelima pendekar itu pun mengagetkan Panjol, Dewiayu dan Kebo Klawu.
"Hei, kalian bertiga! Sungguh kalian semua itu tidak ada yang pantas mendapatkan mayat sakti itu! Jadi menyingkirlah!" seru ketua kawanan pendekar.
Sontak saja kemunculan lima pendekar itu pun mengejutkan pasangan suami istri dan juga Kebo.
"Hei! Siapakah kalian ini? Apakah kalian ini pemilik kuda-kuda itu?" tanya Kebo.
"Benar, dan kamilah yang datang duluan, jadi kami lebih berhak untuk mendapatkan mayat sakti itu."
"Oh, begitu?" timpal Kebo Klawu.
"Ya benar! Maka dari itu kalian menyingkir lah!"
"Kalau kalian merasa datang lebih dulu lalu kenapa kalian tidak langsung mengambilnya dan membawanya pergi?! Apa kalian takut atau kalian tidak bisa masuk?" ujar Dewiayu dengan pertanyaan sinis.
Mendapat pertanyaan seperti itu gerombolan pendekar itu pun merasa tersinggung, karena memang mereka sudah mencoba untuk masuk tapi belum bisa.
"Karena kami bermaksud untuk mengambilnya pagi ini," jawab ketua pendekar itu.
"Hahaha, jadi kalian ini kecapekan? Terus tidur dulu? Dasar begundal-begundal loyo!"
Mendengar pertikaian antara gerombolan pendekar dan Dewiayu, Kebo terlihat berpikir mencari cara agar kedua kubu itu bisa segera saling bertarung, karena dengan begitu dia akan lebih mudah untuk menghabisi siapa yang akan jadi pemenangnya.
"Sudah-sudah! gak ada gunanya kalian cuma beradu mulut! Hanya membuang-buang waktu saja! Ketahuilah oleh kalian, kita semua berada disini memiliki tujuan yang sama dan menurutku tidak ada jalan lain kecuali dengan ditentukan siapa yang terbaik diantara kita," dan belum juga selesai Kebo berbicara tiba-tiba Dewiayu langsung memotong ucapannya.
"Benar! Dan akulah yang akan menghabisi gerombolan pendekar loyo ini!" ujar Dewiayu dengan pongahnya.
Bersambung ...