Chereads / CEO Jutek Dan Perisainya / Chapter 21 - Emosi

Chapter 21 - Emosi

"Oh, diluar ternyata sudah terang Tuan Arjun," ujar Bagaskara sambil mata menatap pemandangan di luar Goa. 

"Benar Tuan Senopati, setelah semalam hujan sangat lebat pagi ini nampaknya matahari cukup cerah," timpal Arjun sambil melangkah keluar dari mulut Goa dengan Senopati menyusul dibelakangnya. 

"Silahkan Tuan Senopati tunggu sebentar di sini."

"Baik Tuan," sahut Senopati menuruti perkataan Arjun. Lalu tiba-tiba Arjun kembali menghadap ke mulut Goa, tangan kirinya nampak ditempelkan ke dada, sedangkan tangan kanannya digerakkan ke depan seperti layaknya orang yang sedang menarik sebuah tirai untuk ditutup kan. 

Dan memang Arjun sedang menutup Goa itu dengan sebuah pagar gaib. 

Setelah selesai menutup Arjun pun bergegas menghampiri Sentanu dan Dewi ayu, nampak mantan ketua gerombolan pendekar itu tubuhnya masih kaku dan melayang diawang-awang, sedangkan Dewiayu nampak juga sudah sadar meski terlihat masih sangat lemah. 

Lalu Arjun nampak duduk didekat Dewi Ayu yang masih tergeletak, lalu kemudian tangannya mengusap ke tubuh pendekar wanita itu dari kepala hingga ujung kaki, dan sungguh ajaib Dewiayu tiba-tiba langsung sembuh seketika dan langsung bangkit, kemudian tanpa basa-basi sedikitpun pendekar wanita itu langsung pergi meninggalkan tempat itu, dan dalam sekejap saja tubuhnya langsung lenyap dibalik rerimbunan pohon yang ada di lereng gunung.

Setelah Dewiayu menghilang kini tinggal Sentanu yang masih melayang diawang-awang. 

Arjun kemudian mengacungkan telunjuknya ke arah Sentanu dan kemudian menariknya dari jarak jauh, dan bersamaan dengan itu tiba-tiba tubuh Sentanu turun perlahan-lahan dan akhirnya tergeletak di tanah. 

Dan meskipun sudah tergeletak di tanah namun nampaknya tubuh Sentanu masih kaku dan pedang yang dipegangnya itu pun juga masih melekat erat ditangannya. Kemudian Arjun menempelkan kedua telapak tangannya di dada Sentanu, lalu setelah itu tiba-tiba nampak dari telapak tangan Arjun keluar asap putih, dan bersamaan dengan pula itu hawa hangat pun keluar dari tangan pemuda berwajah cacat itu, dan bahkan karena saking kuatnya, hawa hangat itu pun bisa dirasakan oleh Senopati yang berdiri agak menjauh. 

Hawa hangat itu perlahan-lahan menyebar ke seluruh tubuh Sentanu, otot dan persendian yang semula kaku membeku kini berangsur-angsur mulai melunak dan mulai bisa lagi digerak-gerakkan. 

Tidak lama kemudian nampak Sentanu mulai bisa duduk, sekilas dia terlihat memandang wajah Arjun dengan tatapan mata yang menyimpan amarah, kebencian dan dendam kepada pendekar sakti yang hampir membuatnya mati kaku di awang-awang itu, lalu kemudian dia beralih memandang Senopati Arjun yang berdiri agak menjauh, dan begitu dia melihat wajah sang Senopati Sentanu tiba-tiba merasa kalau dia tidak asing dengan wajah Senopati. 

'Ohh, sepertinya aku tidak asing dengan wajah orang itu? Bukankah dia itu orang yang ketemu di warung makan beberapa hari lalu itu? Lalu kenapa dia bisa bersama dengan pendekar berwajah mengerikan ini?' tanya Sentanu dalam hati dengan perasaan penuh curiga dan penasaran. 

Selagi Sentanu masih sibuk dengan perasaannya sendiri tiba-tiba dia dikagetkan dengan suara Arjun yang menyapanya. 

"Tuan pendekar ... saat ini Tuan sudah pulih kembali, luka-luka Tuan baik yang dalam maupun luar telah sembuh semua ... sekarang Tuan boleh pergi," ujar Arjun menyudahi omongannya kepada Sentanu. 

Setelah selesai berbicara dengan Sentanu kemudian Arjun mengajak Senopati untuk meninggalkan tempat itu. 

"Mari Tuan Senopati, kita segera pergi meninggalkan tempat ini, karena Tuan juga harus segera kembali ke istana," ujar Arjun. 

"Baik Tuan Arjun, saya juga berterimakasih karena telah dibantu mendapatkan obat untuk paduka Raja, meskipun tidak harus membawa mayat Eyang, karena walaupun hanya dengan rambut ini ternyata sudah bisa menyembuhkan penyakit paduka Raja, dan itu sudah cukup bagi beliau."

"Ya sudah mari kita segera pergi," sahut Arjun sambil melangkah. 

Tidak lama kemudian tempat itu pun kembali sepi dan hanya meninggalkan Sentanu yang masih meringkuk meratapi nasibnya. 

"Ohh rupanya ... pendekar itu tadi adalah Senopati, punggawa Kerajaan Mulyajaya yang juga diutus mencari mayat sakti, terus pendekar berwajah buruk itu tadi bernama Arjun dan dialah satu-satunya orang yang bisa membuka pintu gaib Goa itu karena tadi aku melihat sendiri kalau memang dialah yang memasangnya, sebaiknya sekarang aku pergi dulu dari tempat ini, percuma saja aku menginginkan mayat sakti karena sampai kapan pun aku tidak akan pernah dapat mengambilnya sebelum aku bisa mengalahkan pendekar berwajah setan itu."

"Aaahh! Persetan dengan sayembara itu! Juih!" ujar Sentanu nampak menggerutu dalam kekecewaan dan kemarahannya. 

"Lebih baik saat ini aku mencari guru lagi untuk bisa mendapatkan kesakitan yang lebih hebat dan setelah itu aku baru menyusun kekuatan untuk menghancurkan tentara Kerajaan Mulyajaya, tunggu kedatanganku hai raja tak berguna ...! Pada saatnya nanti kau akan aku perintahkan sujud kepadaku ... Hahaha ...." 

Sentanu nampak masih larut dalam lamunan kosongnya, sementara itu Senopati nampak sudah menggebrak kudanya dengan kecepatan tinggi, bahkan dia yang belum tidur sejak keberangkatannya beberapa hari yang lalu nampak tidak merasakan kelelahan sama sekali, malah apa yang dirasakannya saat ini adalah kondisi kebalikan dari apa yang semestinya.

Senopati merasakan kekuatan tubuhnya semakin bertambah, di samping memang karena perasaannya yang senang karena telah berhasil mendapatkan obat untuk kesembuhan sang Raja, tapi sebenarnya kekuatan yang dirasakannya itu adalah pengaruh rambut sakti dari mayat Eyang Resik. dan Senopati pun juga menyadari itu. 

Dan dia sendiri pun juga menyadari, kalau sebab rambut pusaka yang dibawa itulah maka kudanya juga mampu berlari melebihi dari kekuatan biasanya, bahkan untuk menyebrang sebuah sungai atau jurang-jurang kecil yang biasanya dilakukan dengan turun atau memutar arah tapi kali ini sungai dan jurang-jurang itu mampu dilewati kudanya dengan hanya sekali lompatan.

Lalu dalam keadaan normal untuk menempuh perjalanan dari gunung menuju istana Kerajaan Mulyajaya membutuhkan waktu dua hari dua malam, namun kali ini dia hanya membutuhkan waktu satu hari saja. 

Setelah berangkat tadi pagi dari Gunung sore hari menjelang malam Senopati sudah sampai di Kerajaan, dan begitu tiba di depan pintu gerbang istana nampak para prajurit penjaga langsung memberinya penghormatan dan kemudian segera membukakannya. 

Dan begitu masuk istana, Senopati tidak pulang ke rumah, dia memilih langsung menuju ke puri pulasari tempat yang digunakan Ratu Dewisinta menerima tamu khususnya, lalu begitu tiba di depan puri Senopati pun langsung memanggil dayang-dayang istana yang nampak berada di puri pulasari. 

"Dayang, kemarilah ...!" seru Senopati.

"Hamba gusti?" ujar salah satu dayang sambil menunjuk ke arahnya, dikarenakan memang dia sedang bersama dengan beberapa dayang-dayang yang lain. 

"Iya bener kamu, kemarilah!" seru Senopati Bagaskara. 

"Hamba gusti Senopati ... ada perintah apa gusti?"

"Gusti Ratu Dewisinta apakah ada di puri?" tanya sang Senopati. 

"Gusti Ratu Dewisinta sedang melakukan pemujaan dan sekarang belum bisa diganggu, adakah pesan yang bisa saya sampaikan kepada gusti Ratu?"

"Ada bilang ke beliau kalau saya sudah datang," ujar Senopati dengan nafas yang masih sedikit tersengal-sengal. 

"Baik gusti nanti akan saya sampaikan selepas gusti Ratu melakukan pemujaan."

"Jangan nanti ...! sampaikan sekarang juga!" ujar Senopati dengan agak jengkel. 

"Maaf gusti Senopati ... hamba tidak berani untuk mengganggu beliau ... sekali lagi hamba mohon ampun ..."

"Aaahh ... kamu ini! Tidak tahu kalau ini urusan penting! Ini masalah keselamatan gusti Prabu," sahut Senopati mulai terlihat emosi.

"Sudah minggir kamu! Biarkan aku sendiri yang langsung memanggil beliau! "

Bersambung ...