"Inilah saat yang kutunggu-tunggu, aku harus tahu di mana tempat mayat sakti itu berada," ujar Alaspati sambil merubah posisi duduknya menjadi jongkok dengan kedua lutut ditempelkan ke tanah dan sedikit menyodorkan kepalanya ke samping.
Sementara itu Roro Ayu langsung membentak Jaka sambil memukulkan punggung pedangnya ke tubuh pendekar cebol itu.
"Ayo tunggu apa lagi! Cepat katakan di mana mayat sakti itu berada? Jangan sampai kesabaranku ini habis!"
"Baiklah, baiklah ... akan ku katakan di mana tempat mayat sakti itu berada, tapi kalian berdua harus janji, kalau aku sudah memberi tahu tempat mayat sakti itu, kalian harus melepaskanku," pinta Jaka.
Sesaat Roro Ayu melirik sambil sedikit menggelengkan kepala kepada suaminya, sebagai isyarat untuk minta pendapat, dan Panjol nampak menyetujui permintaan dari Jaka.
Dengan memberi isyarat menganggukkan kepalanya.
"Baiklah kamu aku ampuni, sekarang cepat tunjukkan di mana tempat mayat sakti itu berada?!" Bentak Panjol.
"Mayat sakti itu ada di sebuah Goa yang berada di lereng gunung Pati Pura ... tepatnya ... di daerah sekitar Lamayang," tutur Jaka dengan suara agak terbata-bata karena menahan rasa sakit akibat luka di punggungnya itu.
"Aah, sakit sekali ... sekarang cepat lepaskan aku," tutur Jaka sambil meringis menahan rasa sakit karena tusukan pedang Roro Ayu.
"Sekarang kau aku lepaskan, tapi ingat! Kalau kau sampai berani berkata bohong, maka kami tidak akan mengampunimu lagi! Camkan itu!" ucap Roro Ayu sambil menyepak kepala Jaka.
"Ayo kakang kita tinggalkan tempat ini."
"Baiklah Dinda, ayo biar kita bisa cepat sampai ke sana, sebelum ada pendekar lain yang mendahului kita."
Kemudian sepasang pendekar itu pun menempelkan kedua telapak tangannya dengan saling berhadapan lalu tiba-tiba tubuh keduanya itu berubah menjadi asap dan kemudian pergi terbang dan menyelinap diantara pepohonan hutan.
Sementara itu Alaspati yang juga sudah mengetahui keberadaan mayat sakti juga telah bergegas menuju ke gunung Patipura.
Pendekar yang menamai dirinya dengan julukan Alaspati itu telah merubah wujudnya menjadi sosok siluman kerbau, dia nampak berlari melompat dan melesat menembus lebatnya hutan.
Dan tanpa ada yang tahu, bahwa selain mereka itu ternyata sudah ada pendekar lain yang telah sampai duluan di Goa Gunung Patipura, mereka itu adalah para pendekar yang sempat bertemu dengan Senopati Bagaskara di warung makan yang ada di pinggiran kota raja Mulyajaya. Para pendekar itu berjumlah lima orang.
"Oh, ini rupanya Goa yang kita cari. Ayo turun dan langsung masuk, terus kita ambil mayat sakti itu," ajak ketua gerombolan pendekar itu.
Lalu mereka pun segera menambatkan kuda mereka pada sebuah tanaman liar yang ada di depan mulut Goa. Dan selanjutnya tanpa ragu lagi mereka pun langsung berjalan menuju mulut Goa, namun betapa kagetnya para pendekar itu karena tiba-tiba saja tubuh mereka terpental kebelakang beberapa langkah.
Brukks, bruukks, brukks!
Tubuh para pendekar itu pun jatuh dengan saling bertubrukan satu sama lainnya.
"Oh, ternyata Goa ini telah diberi pagar gaib, kita harus berhati-hati untuk bisa melewatinya, jangan sampai belum dapat apa-apa kita sudah celaka duluan" seru ketua gerombolan pendekar.
Lalu mereka pun kembali mendekat ke mulut Goa dengan hati-hati sambil tangan mereka meraba-raba.
"Waduh! Sakit!"
Seru mereka karena merasa tangannya seperti tersengat lebah.
"Oh kurang ajar! Pokoknya kita harus bisa membuka pagar gaib ini."
"Caranya gimana Kakak ketua?"
"Kita gabungkan kekuatan kita, lalu kemudian kita hancurkan pagar gaib ini, gimana?"
"Setuju ...!" sahut para pendekar tersebut dengan kompak.
Sejurus kemudian mereka langsung berdiri dengan membentuk persegi tiga seperti ujung tombak dengan sang ketua berada di paling ujung.
Lalu mereka nampak memejamkan mata sambil membacakan mantra-mantra, setelah beberapa saat kemudian tiba-tiba muncul dari tubuh para pendekar itu sebuah bayangan yang melesat seperti sebuah kepala tombak yang dilemparkan.
Whuuss ...!!
Bayangan melesat dengan cepatnya menghantam pintu gaib Goa tersebut. Tak ayal lagi benturan keras pun tidak bisa dihindari.
Dhuuarrr ...!!
Dan karena saking kerasnya benturan itu hingga menimbulkan guncangan disekitar mulut Goa yang mengakibatkan bebatuan pada rontok berjatuhan, namun meskipun begitu nampaknya pagar gaib Goa itu masih belum bisa mereka tembus.
"Ohh ... benar-benar luar biasa pagar gaib ini," tutur sang ketua sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Benar Kakak ketua, bahkan gabungan kekuatan kita pun seperti tidak berarti sama sekali," timpal salah satunya.
Lalu karena belum berhasil para pendekar itu pun memutuskan untuk istirahat dulu.
"Sebaiknya kita istirahat saja dulu malam ini, kita lanjutkan besok, nampaknya pagar gaib ini masih terlalu tangguh dengan kondisi kita saat ini."
Keliatannya dengan kondisi mereka yang masih kecapekan karena habis berkuda membuat mereka memutuskan untuk istirahat dulu dan akan mereka lanjutkan esok hari.
"Ayo kita cari tempat dulu untuk beristirahat, keliatannya disebelah sana itu ada sebuah cekungan seperti sebuah anakan goa, ayo kita masuk saja ke sana."
"Ayoo, ayo ..." sahut kawanan pendekar itu. Lalu mereka pun memutuskan untuk istirahat disitu dan karena saking capeknya akhirnya tidak lama kemudian mereka pun tertidur.
Sementara itu dilain tempat, sama halnya dengan Panjol, Roro Ayu dan Alaspati, Senopati Bagaskara yang telah berangkat lebih dulu kini dia sudah mulai memasuki Desa Sukosewu yang berada di kaki gunung Pati Pura.
Desa Sukosewu adalah desa terakhir dari beberapa desa yang ada di wilayah kekuasaan Kerajaan Mulyajaya, yang di mana desa tersebut juga sebagai tempat tinggal eyang Resik sebelum meninggal beberapa tahun silam, hingga akhirnya mayatnya menjadi buruan banyak pendekar, terlebih setelah pihak Kerajaan menjadikannya sebagai sebuah sayembara.
Malam pun semakin larut, Senopati Bagaskara yang telah berkuda seharian akhirnya memutuskan mencari tempat untuk istirahat.
"Ohh ... sebaiknya aku mencari tempat untuk istirahat dulu, aku sudah cukup lelah setelah cukup lama berkuda, tapi di mana aku harus menghentikan kudaku? Rumah warga sudah pada gelap, mereka semua nampaknya sudah pada tidur," ujar Senopati Bagaskara sambil terus menjalankan kudanya dengan pelan.
Setelah berjalan hingga diujung desa Senopati Bagaskara tidak juga menemukan rumah warga yang bisa disinggahinya, lalu dia pun bermaksud untuk istirahat di bawah pohon.
"Sebaiknya aku istirahat di bawah pohon itu dulu, pencarian akan aku lanjutkan besok pagi saja."
"Hep. Hiat!"
Senopati Bagaskara pun melompat turun dari kudanya, lalu dia menambatkan kudanya di salah satu akar pohon yang besar. Kemudian Senopati Bagaskara mulai merebahkan tubuhnya di bawah pohon itu dengan beralaskan dedaunan kering.
Namun di saat Senopati Bagaskara mulai merebahkan tubuhnya dan matanya menatap ke arah gunung Pati Pura yang menjulang tinggi, dan dari tempatnya itu dia melihat seperti ada cahaya dari sebuah rumah yang terlihat seperti masih ada orang yang belum tidur.
"Itu seperti ada rumah?" ucap Senopati sambil kembali bangkit.
"Yah, betul itu memang sebuah rumah dan keliatannya orangnya masih belum tidur, lebih baik aku ke sana saja dan mudah-mudahan dia berbaik hati mau menerimaku untuk numpang istirahat barang semalam, saya khawatir kalau tetap tidur disini ada ular atau hewan buas yang bisa mencelakai ku" ujar Senopati Bagaskara sambil kembali menghampiri kudanya.
Lalu kemudian sang Senopati pun kembali menjalankan kudanya dengan berlari pelan.
Prok ... prok ... prok ...
Derap laju kuda Senopati Bagaskara memecahkan kesunyian malam.
Bersambung ...