Setelah memperhatikan para murid Candrabanyu yang sedang berlatih, Senopati Bagaskara tidak melihat sahabatnya ada di situ, lalu kemudian dia mendekati para murid yang terlihat sedang duduk istirahat.
Dan begitu melihat ada orang asing yang hendak menghampirinya, murid yang sedang duduk itu pun langsung berdiri.
"Ada perlu apa Tuan? Ada yang bisa dibantu?"
"Ee... maaf saya mau ketemu guru kalian Tuan Candra. Apakah beliaunya ada?"
"Tuan guru Candra sedang pergi Tuan, saya ditugaskan untuk mengawasi para murid yang sedang berlatih."
"O begitu, apakah Dimas tau Tuan Candra perginya kemana?"
"Tuan guru Sedang pergi ke hutan berburu, apakah Tuan ada perlu? mungkin nanti bisa saya sampaikan, atau mungkin Tuan mau menunggu Tuan Guru Candra pulang?"
"Ya, saya akan menunggu sampai guru kalian pulang, karena saya ada keperluan yang sangat penting dengan Tuan Candra."
"Oiya kalau begitu silakan duduk dulu Tuan."
"Baik terimakasih ..."
Lalu Senopati pun duduk di samping murid sahabatnya itu sambil melihat para murid yang sedang berlatih.
'Oh ... kelihatannya murid Candra itu hebat-hebat, dilihat dari gerakan jurus yang mereka peragakan sangatlah bagus dan seperti sulit untuk ditebak,' gumam Senopati dalam hatinya.
"Ada berapa siswa yang ikut belajar beladiri disini?" tanya Senopati Bagaskara.
"Kurang lebih ada tujuh puluh siswa Tuan."
"Oh iya maaf, Tuan ini namanya siapa?" tanya murid Candra.
"Nama saya Bagaskara," jawab Sang Senopati singkat.
Mendengar nama dari sahabat gurunya itu murid Candrabanyu pun sempat berucap dalam hati.
'Kok mirip dengan nama Senopati Kerajaan ya? Apa jangan-jangan ini orangnya?' tanyanya dalam hati. Memang orang-orang istana sekelas Senopati itu sangat terkenal di mata rakyat Mulyajaya, terlebih Senopati Bagaskara yang memang terkenal sakti mandraguna.
"Terus Dimas ini namanya siapa?" ucap Senopati balik tanya.
"Nama saya Dirgantara Tuan."
Ditengah mereka lagi ngobrol tiba-tiba Dirgantara memberi isyarat kepada para murid yang masih berlatih dengan tepukan tangan.
Plok ... plok ... plok.
"Sudah cukup kalian latihannya, dilanjutkan lagi besok, terus sekarang segera lakukan tugas sore seperti biasanya," ujar Dirgantara memberi arahan sesuai pesan dari Tuan Guru Candrabanyu.
"Baik Kakanda Dirgantara ..." jawab para murid dengan menundukkan tubuh untuk memberikan penghormatan.
Dan tidak lama kemudian nampak Candra datang dengan memikul empat ekor Rusa hasil buruannya.
"Lha itu Tuan Guru Candra sudah datang."
Melihat sahabat lamanya yang kini telah menjadi seorang guru, Senopati Bagaskara pun langsung berdiri dan langsung bergegas menghampiri.
"Sampurasun ... Tuan guru Candra ... " ucap Senopati Bagaskara.
"Rampes ... Hai Senopati ... Apa kabar ...?" balas Candra sambil menaruh hewan hasil buruannya.
"Kapan datang Senopati?"
"Sudah dari tadi, hebat kamu ... telah berhasil mendirikan sebuah perguruan silat."
"Ah, biasa saja, kamu malah sudah jadi Senopati Kerajaan Mulyajaya."
"Tadi aku memperhatikan murid-murid kamu sedang berlatih, dan menurutku jurus-jurus yang kau ajarkan nampak langka dan sangat sulit untuk ditebak, itu pasti jurus ciptaan kamu sendiri ya?"
"Ya betul, cuma sebenarnya itu jurus yang dasarnya juga aku dapat dari Eyang guru Latu Geni, kemudian coba aku kembangkan sendiri dan jadilah seperti yang kau lihat itu tadi."
"Hebat. Hebat kamu Candra ... aku yakin kelak Perguruan mu ini akan melahirkan pendekar-pendekar sejati seperti gurunya," tutur Senopati sambil menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu.
"Do'akan saja semoga aku bisa mewujudkannya, karena itu juga yang menjadi pesan dari guruku."
"Ngomong-ngomong kok tumben Senopati datang kemari, ada keperluan besar nampaknya?"
"Benar sekali Candra ... aku memang ..."
"Stop, stop ...! Tahan dulu silakan tunggu di teras pondokan saya, nanti saya susul, sebentar saya tak bersih-bersih dulu, badanku masih kotor habis dari hutan."
Lalu Senopati pun bergegas menuju teras pondokan Candra.
Sementara itu Dirgantara murid Candra ternyata dari tadi mendengar percakapan guru dan tamunya itu, dan perkiraannya tentang tamu gurunya itu ternyata memang tidak salah.
'Wah, ternyata betul, beliau ini adalah Senopati Bagaskara punggawa Kerajaan Mulyajaya yang pernah diceritakan oleh Tuan Guru Candra, Oh.. ternyata ini orangnya pendekar sakti itu,' ucap batinnya sambil mengangguk-angguk pelan.
Tidak lama kemudian Candra yang telah selesai bersih-bersih itu langsung menemui sahabat lamanya.
"Gimana Senopati, ada berita apa?" tanya Candra.
"Jadi gini aku ini sebenarnya sedang mendapatkan tugas khusus dari Gusti Ratu Dewisinta untuk mencari mayat seorang pertapa sakti, namun aku sendiri juga belum tau di mana keberadaan mayat sakti itu?"
"Mencari mayat sakti? Apakah seperti yang ada di sayembara itu?" tanya Candra.
"Benar Candra ... dan itulah yang aku sendiri juga tidak tahu, kenapa Gusti Ratu Dewisinta mengadakan sayembara kalau sudah menugaskannya kepadaku?"
"Ya mungkin Gusti Ratu Dewisinta merasa panik dengan keselamatan Paduka Raja Damantara, jadi di samping sudah menugaskan khusus kepadamu beliau juga mengadakan sayembara," balas Candra dengan nada bijak.
"Tapi Candra dengan adanya sayembara dari Gusti Ratu, tentu itu akan mengundang kedatangan orang-orang dari golongan pendekar yang belum tentu mereka itu baik."
"Maksudmu kamu khawatir akan ada pendekar-pendekar jahat yang masuk menjadi pejabat Kerajaan Mulyajaya?"
"Betul sekali Candra, dan kekhawatiran ku ini ternyata memang benar adanya, karena tadi pas aku baru keluar dari batas Kota Raja aku mampir ke sebuah warung, dan di situ ada segerombolan pendekar yang membicarakan tentang sayembara itu, dan merekapun telah merencanakan untuk menggulingkan Raja Damantara dan keluarganya dari tahta kerajaan."
"Yah ... apa yang kamu khawatirkan itu memang benar, tapi itu kayaknya belum tentu bisa terjadi."
"Maksud kamu gimana Candra?" kejar Senopati penasaran.
"Mayat sakti itu tidak bisa sembarangan diambil dari tempatnya, hanya orang yang memiliki kuncinya sajalah yang bisa mengambil."
"Memang mayat sakti itu tempatnya di mana Candra?"
"Di sebuah Goa yang ada di pegunungan patipura tepatnya di daerah Lamayang, dan Goa itu telah dipagari gaib," terang Candra.
"Oh, tepat sekali, tidak sia-sia jauh-jauh aku kemari," sahut Senopati terlihat semangat.
"Maukah kamu menemani aku mengambil mayat sakti itu Candra? Ini demi kesembuhan Sang Prabu Damantara," bujuk Senopati.
"Aku tidak yakin bisa mengambil mayat sakti itu Senopati, karena aku tidak tahu siapa yang memegang kuncinya?"
"Tapi bukankah kita bisa mencarinya?"
"Maaf Senopati Bagaskara ... bukannya aku tidak mau membantumu atau tidak perduli dengan keselamatan paduka Raja Damantara, akan tetapi mencari seseorang yang belum kita kenal dan ketahui tempatnya itu akan memakan waktu yang cukup lama, sedangkan aku disini memiliki banyak murid yang tidak bisa seenaknya aku tinggal, dan kamu juga lihat sendiri, jadi sekali lagi mohon maaf aku tidak bisa ikut denganmu untuk mencari mayat sakti itu."
Merasa tidak bisa membujuk sahabatnya itu Senopati Bagaskara pun akhirnya bisa memahami dengan keadaan Candra.
"Baiklah Candra, aku tidak akan memaksamu untuk ikut terlibat dalam urusan ini, tapi bagaimanapun juga aku mengucapkan banyak-banyak terimakasih kepadamu karena telah memberikan petunjuk kepadaku, kemana aku harus mencarinya."
"Ya sama-sama, aku hanya bisa mendoakan semoga kamu bisa bertemu dengan orang yang bisa membuka pintu gaib Goa itu."
Sementara itu di lain tempat Jaka yang merupakan satu-satunya orang yang pernah melihat bahkan jadi penunggu mayat sakti itu nampak juga telah mengetahui dengan adanya Sayembara ...
Bersambung ...