"Baiklah Gusti Ratu kalau begitu saya akan berangkat sekarang untuk mencari mayat sakti seperti yang Gusti Ratu Dewisinta maksud."
"Bagus Senopati Bagaskara, aku percaya padamu, doaku menyertaimu semoga kamu berhasil."
"Sendiko dawuh Gusti."
"Berangkatlah ...!"
Lalu kemudian Senopati Bagaskara pun langsung bergegas ke rumahnya untuk sekedar mengambil beberapa perlengkapan yang mesti dibawanya, dan karena dia memang masih hidup sendiri alias masih belum punya istri maka dia hanya berpamitan kepada pelayan dan prajurit penjaga saja.
"Hei, prajurit dan pelayan ... kemarilah ...!"
Lalu prajurit penjaga yang berjumlah tiga orang dan dua pelayan perempuan itupun bergegas mendekat memenuhi panggilan Sang Senopati.
"Iya Gusti Senopati ... ada titah apa yang harus kami lakukan?" jawab prajurit sembari menundukkan kepalanya.
"Aku akan memberi tahu kepada kalian, bahwa untuk beberapa hari ke depan aku akan pergi meninggalkan Mulyajaya, ada tugas dari Gusti Ratu Dewisinta yang harus aku laksanakan, maka dari itu aku minta kalian tetap bekerja menjalankan tugas masing-masing seperti biasa," ujar Senopati Bagaskara dengan menatap kepada prajuritnya.
"Dan kalau ada tamu yang mencari aku bilang kalau aku sedang menjalankan tugas khusus Kerajaan, dan jangan lupa tanyakan juga siapa namanya? Dan apa keperluannya? Terus catat! Mengerti?!"
"Iya Gusti Senopati ... hamba mengerti ..."
"Bagus, sudah cukup. Sekarang kembalilah kalian bekerja, dan selesaikan tugas dengan baik."
"Hamba Gusti Senopati ..." sahut sang prajurit.
Dan setelah selesai berpamitan dengan prajurit dan para pelayan Senopati Bagaskara pun berangkat dan langsung menggebrak kudanya menuju ke rumah sahabatnya.
"Heya ... heya ... heya ..."
Memang Senopati Bagaskara tidak membawa pasukan dari Kerajaan, akan tetapi dia sudah memilih teman yang akan diajaknya pergi mencari mayat sakti seperti yang perintahkan oleh paduka Ratu Dewisinta, ya ... Senopati Bagaskara telah memilih sahabatnya yang bernama Candrawangi.
Candrawangi adalah teman seperguruan Bagaskara sebelum dia menjabat sebagai seorang Senopati, sebenarnya dia juga pernah diajak Senopati Bagaskara untuk ikut mengabdi di Kerajaan, akan tetapi Candrawangi menolaknya dan lebih memilih hidup di desa sambil mendirikan sebuah Padepokan Perguruan Silat.
Setelah menempuh perjalanan hampir setengah hari akhirnya Senopati Bagaskara pun keluar dari batas Kota Mulyajaya, karena merasa sudah agak penat lalu dia pun memilih untuk istirahat dulu di warung yang ada di pinggiran kota.
"Sebaiknya aku istirahat dulu di warung itu, sekalian kudaku biar istirahat juga, karena desa Andongsari tempat tinggal Candrabanyu masih separuh perjalanan lagi. Hep. Hep ...!" tutur Senopati Bagaskara sambil menghentikan kudanya di halaman warung.
Dan ketika dia mau menambatkan kudanya di pohon yang ada di depan Warung, tiba-tiba Senopati melihat ada sebuah pengumuman sayembara dari Kerajaan yang ditempelkan di pohon itu.
"Oh, ternyata Gusti Ratu Dewisinta juga membuat sayembara untuk mendapatkan mayat sakti itu, saya kira tugas ini hanya diberikan kepadaku," ujarnya terlihat agak sedikit kecewa.
Dengan wajah yang terlihat agak kesal dia pun langsung masuk ke dalam warung itu.
Dan begitu dia masuk nampak suasana di dalam warung terlihat cukup ramai, lalu kemudian Senopati Bagaskara melihat-lihat untuk mencari bangku yang masih kosong.
Hingga akhirnya Senopati pun menemukan meja yang masih kosong dan kemudian langsung menghampirinya, tidak lama setelah Senopati Bagaskara duduk nampak pelayan warung datang menghampiri.
"Mau makan apa Den ... ayam goreng? Bebek goreng? atau merpati goreng?"
"Saya minta yang dibakar saja Bik, bisa?" tanya Senopati Bagaskara.
"Oiya bisa ... lalu minumnya apa Den? Ada air kelapa? Teh hangat? Atau Sari Temu Lawak?"
"Saya minta air kelapanya saja."
"Baik Den ... tunggu sebentar ya ...?"
"Baik Bik."
Disaat Senopati Bagaskara masih menunggu makanan yang dipesannya itu, tiba-tiba terdengar oleh sang Senopati ada segerombolan pendekar yang sedang membicarakan tentang sayembara pencarian mayat sakti.
"Pokoknya kita harus bisa mendapatkan mayat sakti itu, karena kalau kita bisa mendapatkannya maka kita akan menjadi orang penting dalam istana ... hahaha ..." ujar salah satunya
"Dan Tuan Ketua bisa diangkat menjadi Patih Kerajaan dan kita-kita akan jadi Senopatinya ... hahaha."
"Yahh ... betul sekali, dan kalau aku benar-benar bisa menjadi Patih Kerajaan maka itu akan lebih mudah bagiku untuk menyusun kekuatan dari dalam ..." ujar pendekar yang ternyata sebagai kepala gerombolan itu.
"Menyusun gimana maksudnya Tuan Ketua?" tanya salah satu anak buahnya.
"Goblok kamu! Ya menyusun kekuatan dari dalam! Dengan cara ... akan aku pengaruhi para punggawa Kerajaan untuk tidak percaya lagi dengan Raja dan keluarganya ..."
"Caranya gimana Tuan Ketua?"
"Akan aku buat fitnah kepada Raja dan keluarganya ... lalu kalau mereka para punggawa sudah terpengaruh dengan fitnah ku, maka tinggal aku tumbangkan Raja dan keluarganya! Aku usir mereka dari dalam istana! Bahkan kalau perlu mereka semua akan aku bunuh!"
"Dan Tuan Ketua yang jadi Raja?"
"Yah, benar sekali Aku akan menjadi Raja! Pemegang kekuasaan di Kerajaan Mulyajaya ini, Hahaha ... aku akan jadi Raja ... Hahaha."
Mendengar omongan para rombongan pendekar itu, Senopati Bagaskara pun merasa geram, niat hati merasa ingin menghajar mereka namun dia tahan, karena dia tidak ingin membuat keributan di warung orang yang tentunya akan membuat kerugian bagi pemiliknya.
'Kurang ajar sekali mereka ini! Andai saja ini tidak sedang berada di dalam warung warga pasti akan aku hajar mereka semua!' gerutu Senopati dalam hatinya.
'Dan ini sebenarnya juga akibat dari sayembara yang diadakan oleh Gusti Ratu, kenapa beliau mesti bikin sayembara segala? Bikin gaduh saja! Sebenarnya aku juga jadi malas untuk mencari mayat sakti itu kalau ada sayembara kaya gini, kenapa Gusti Ratu Dewisinta tidak bilang kalau dia telah membuat sayembara?' tanya Sang Senopati dalam hati.
'Dan saya juga yakin kalau di luar sana masih banyak gerombolan-gerombolan seperti mereka ini, karena memang sangat banyak musuh-musuh istana yang berkeliaran yang ingin merongrong dan mengambil alih kekuasaan. Untung saja saat ini aku tidak menggunakan pakaian istana, jadi mereka para musuh-musuh itu tidak mengetahui siapa aku sebenarnya.' lanjut gumam Senopati Bagaskara dalam hati.
Memang Senopati Bagaskara kalau keluar sering tidak mengenakan pakaian kebesarannya sebagai seorang senopati, dia lebih sering berpenampilan menyamar, karena dengan begitu dia tidak akan mudah dikenali oleh warga maupun musuh.
"Mari Den ... silahkan dimakan ..." ujar Pelayan warung membuyarkan lamunan Sang Senopati.
"Oiya Bik, terimakasih ..." jawab Senopati terlihat agak kaget.
Setelah beberapa saat Sang Senopati pun telah selesai menghabiskan makannya, dan kemudian langsung membayarnya.
"Berapa harganya semua Bik?" tanya Senopati.
"Tiga setengah kepeng Tuan," jawab pemilik warung.
"Oh iya, ini Bik uangnya dan kembaliannya buat Bibik saja," jawab Senopati sambil memberikan uang empat kepeng.
"Oiya Den ... terimakasih ..."
Dan setelah itu Senopati Bagaskara pun langsung bergegas menuju ke rumah sahabatnya si Candrabanyu.
"Heya, heya, heya ...!" suara Senopati kembali menggebrak kudanya.
Sambil terguncang-guncang di atas punggung kuda, Senopati nampak masih terus memikirkan sayembara yang dibuat oleh Ratu Dewisinta.
'Setibanya di kediaman Candrabanyu sahabatku nanti, aku akan menceritakan ini semua, dan kalau dia masih terus mendukungku untuk mencari mayat sakti itu, ya aku akan terus berangkat, tapi kalau sampai tidak ... bisa jadi aku pun tak segan-segan untuk balik lagi ke istana meskipun dengan tangan kosong,' lamun Senopati sambil terus menghentak kudanya.
"Heya, heya, heya ..."
Setelah menjelang sore hari akhirnya Senopati Bagaskara pun sampai di padepokan sahabatnya itu.
Dan setelah berhenti di depan pintu Padepokan dia melihat para murid Candrabanyu nampak sedang melakukan latihan.
Bersambung ...