Awan terkulai dan terbuai. Dia yang menentang perasaan ini yang timbul membuncah, tetapi justru Awan sendiri yang meminta kenikmatan itu tersaji di hadapannya. Dia terbenam dalam jurang pekat yang selama ini Awan hindari, hanya di imingi sebuah kata manis yang membawa candu. Menarik dirinya untuk menentang logika dan mengedepankan rasa.
Mungkin Awan telah menahannya sekian lama dan dia baru menyadari baru-baru ini. Rasa berdebar di dadanya, dan perasaan senang membuncah saat melihatnya. Mungkin juga rasa itu memang sudah ada, tetapi Awan baru memberinya nama.
Cinta.
"Riksa,
"Awan, ada apa?" Sain bertanya meletakkan ke dua telapak tangannya pada lutut Awan yang menekuk.
Awan tersentak dari lamunannya, dia semakin beringsut menekan tubuhnya pada kursi. Menatap jemarinya yang berada di pangkuan. Bibir Awan membentuk garis tipis, dia ragu untuk memberi tahu Sain tentang apa yang dia lihat kemarin. Takut, jika nanti Sain akan membencinya.
"Kamu nggak perlu ragu buat cerita."