"Nggak kayak biasanya Awan di hukum." Laki-laki yang barusan berbicara menyuarakan isi pikiran temannya yang fokus menatap ke lapangan.
Sementara temannya masih diam memperhatikan arah yang sama. Lewat kaca transparan pada jendela di samping tempat dia duduk. Menatap seseorang di lapangan berdiri sendiri, sambil menutupi kepalanya dengan buku. Di bawah terik sinar matahari yang cukup menyengat pagi ini.
"Langit, kita keluar aja." Faiz sudah berdiri, ia menopang tubuhnya pada satu kaki. Menatap Langit yang masih belum memberikan respon. "Langit?"
Langit mengalihkan pandangannya ke Faiz, raut bingung mulai terlukis di wajahnya. Dia bertanya, "Apa?"
"Kita ke kantin, bentar lagi masuk." Faiz mulai menunggu tak sabar. Benar dugaannya Langit sama sekali tak memperhatikan ia bicara seolah berbicara dengan tembok. Sementara temannya sibuk dengan dunianya sendiri.
"Oke." Langit mulai berjalan lebih dulu, menyeret kakinya keluar dari bangku. Faiz langsung menyusul Langit, yang malah meninggalkannya dengan langkah lebar.
Langit berjalan ke kantin sengaja mengambil jalur yang menyebrangngi lapangan upacara, alasan yang masuk akal bagi Langit adalah jalan ini yang paling dekat. Mata coklat gelapnya menyipit tertimpa cahaya matahari pagi, ia berusaha agar matanya tetap menatap lurus ke depan. Faiz mendengus, sangat mengerti tujuannya.
"Langit! Pelan-pelan dong." Faiz melangkah cepat menyusul Langit. Kaki Langit yang panjang sehingga Faiz sulit untuk menyamai langkah Langit yang lebar.
"Eh, Langit!" Seseorang berteriak ke arah Langit. Faiz seketika menoleh ke arah suara. Ah, seseorang yang berdiri di sebelah tiang bendera dengan buku di kepalanya, menjadi alasan bagaimana Langit yang tiba-tiba membeku sesaat. Bukan karena dia berteriak seperti orang bodoh di tengah lapangan yang sepi. Bukan.
"Itu kembaranmu manggil." Faiz berbisik lumayan keras, sambil menyenggol lengan Langit dengan sikunya. Tapi Langit sepertinya tidak peduli dia masih tetap melangkah, namun dengan langkah yang lebih pelan. Faiz berdecak namun dia tetap ikut berjalan mengikuti Langit.
"Langit!" Seseorang itu masih berteriak memanggil Langit.
"Apa!" Langit berhenti, ia berbalik menatap orang itu. Faiz ingin sekali memukul kepala Langit karena kekeras kepalaannya.
Nyali orang itu menciut ketika melihat Langit memelototinya. "Yaudah, gak jadi."
Lalu Langit langsung melangkah pergi. Setelah cukup jauh Faiz bertanya, "Sampai kapan kamu mau pura-pura kayak gini?"
"Sampai dia ingat."
"Awan, nggak akan ingat. Makanya kamu bantu ingatkan." Faiz kesal, pasalnya temannya ini tidak melakukan usaha apa-apa untuk mengingatkan Awan, kembarannya. Usahanya hanya satu, muncul di hadapan Awan sesering mungkin. Langit bahkan bersikap seolah membenci Awan.
"Aku nggak punya cara lain. Ayah mungkin bakalan melakukan sesuatu dengan Awan saat tau Aku nggak nepatin janji." Faiz diam. Dia mengerti.
Saat sampai di kantin, Langit sepertinya tidak bernapsu untuk makan, ia hanya memesan minuman. Beberapa orang mulai bergegas ke kelas mereka masing-masing setelah mendengar bel masuk yang berbunyi nyaring.
Faiz dan Awan tidak ingin beranjak, mereka memiliki ratusan alasan yang akan mereka berikan kepada guru atas keterlambatannya. Dan yang mengajar kali ini tipe guru yang hanya memberikan tugas tanpa peduli pada muridnya. Tapi seperti biasa Faiz selalu ingin cepat-cepat masuk, mendudukan dirinya dalam ruang tertutup itu.
"Aku kadang berpikir, Awan hanya berpura-pura." Langit mengatakannya sambil mengaduk minuman berwarna hijau dengan sedotannya. Nada bicaranya terdengar tak yakin, membuat Faiz juga hampir berpikir demikian.
"Aku ingin tanya."
"Tanya aja kali, ribet," ketus Langit, membuat Faiz menginjak sepatu Langit. Dasar, Labil.
"Pernah nggak Awan berbohong sama kamu?" Faiz menunggu jawaban Langit. Bakso yang tadi dia pesan sudah mulai mendingin, Faiz harus cepat menghabiskannya dan kembali ke kelas. Faiz melihat Langit berpikir sejenak.
"Dulu saat kita masih sama-sama, dia kadang berbohong pada ibu terkadang dengan ayah. Itu juga karena Aku yang selalu bikin ulah. Tapi untuk membohongi Aku, rasanya dia belum pernah. Dia selalu cerita semuanya, hanya padaku." Langit meneguk minumannya hingga tandas dan sedikit menumpahi kemeja putihnya.
"Untuk alasan apa dia berpura-pura lupa. Jika dia melakukan itu, kamu pasti orang pertama yang dia beritahu. Cukup percaya. Bila perlu buat dia ingat, mungkin kita tidak tau apa penyebabnya. Hidup Awan sudah berat, sejak kamu dan ibumu pergi. Aku yakin itu." Faiz menyendok potongan terakhir baksonya. Dia menatap Langit untuk melihat apakah Langit mulai meninggalkan sifat kekanakannya.
"Lalu, kenapa dia mencoba akrab?" tanya Langit sambil mengangkat alisnya.
Faiz mengusap wajahnya. "Aku sudah bilang, kamu muncul di sekitar Awan di setiap waktu luangnya di sekolah. Seolah-olah kamu membencinya. Dia orang yang baik, jelas dia mencoba untuk bersahabat."
"Aku nggak berpikir kesana." Langit menunduk dia mengusap jari-jarinya.
Faiz menghembuskan napas, lalu dia berdiri. "Ayo kita ke kelas."
"Aku malas. Kamu aja." Satu persatu orang di dalam kantin sudah mulai pergi.
"Kalau mau bolos jangan di coba, Langit."
"Kamu duluan aja." Langit memberikan senyuman menyebalkan bagi Faiz yang langsung membuatnya pergi.
***
Langit kembali ke kelas lewat jalan yang sama. Berjalan pelan, dengan tubuh yang ia tegapkan. Matanya bergulir ke tiang bendera untuk melihat eksistensi yang tadi mengusik pikirannya. Namun mata coklat gelapnya tak menemukan apa yang dia cari. Langit mengangkat bahu, bersikap seolah tidak peduli.
Langit beralih tujuan ia melangkah ke toilet yang berbeda arah dari kelasnya. Di jam belajar saat ini tidak ada murid selain dirinya yang berkeliaran di luar kelas. Membuat Langit bersyukur.
Saat membuka pintu toilet Langit mendapati banyak asap berwarna abu yang berlomba keluar dari pintu yang ia buka. Perasaan Langit mulai tak enak, karena ia belum bisa melihat apa yang terjadi di dalam sana. Langit menyingkirkan rasa ragunya, ia menerobos masuk. Memikirkan kemungkinan seseorang memerlukan pertolongan di dalam sana. Napas Langit sedikit terasa sesak dan terbatuk kecil, pandangannya perlahan terlihat jelas seiiring asap yang mulai menipis.
Langit melihat teman satu kelasnya berdiri di depan kaca wastafel, namun hal yang membuat Langit bertanya adalah sebuah senyum aneh yang mengembang ketika matanya bersitatap dengan mata coklat Langit.
"Kamu, oke" Langit bertanya disela hening di antara mereka. Ia masih tidak lepas menatap temannya ini. Walau dia tidak terlalu akrab di kelas, tapi Langit tahu temannya ini adalah orang yang pendiam.
Davi. Nama teman Langit yang sekarang berbalik membelakangi cermin menghadap Langit yang masih menatapnya khawatir.
Senyumnya belum luntur, membuat Langit sedikit bergidik. Langit masih diam menunggu jawaban, dia bahkan lupa apa tujuannya kemari.
"Aku sangat baik-baik saja. Kamu lihat sesuatu tadi?" Davi bertanya dengan nada terdengar riang. Sangat tidak cocok berpadu pada seorang introver seperti Davi.
"Hanya asap. Kenapa?" Kali ini Langit benar-benar penasaran, matanya tidak melihat sesuatu atau apapun bekas terbakar di dalam toilet. Hanya sisa-sisa asap entah dari mana yang mulai menipis, melayang di sekitar Langit dan Davi. Untuk asap rokok, tidak mungkin sebanyak itu dan tak berbau.
"Aku habis melenyapkan seseorang." Davi kembali berbicara riang, nampak janggal di pendengaran Langit. Langit merasakan keringat dingin di telapak tangannya, Langit tidak takut apapun. Namun terkadang tubuhnya memiliki reaksi kebalikan dari apa yang dia rasa. Untuk kata-kata Davi barusan seperti tidak terdengar main-main.
"Melenyapkan?" tanya Langit hati-hati. Mungkin ini hanya sebuah lelucon bagi Davi. Tapi leluconnya terdengar tidak lucu.
Davi mengangguk kuat. "Aku melenyapkannya dalam suatu permainan yang sudah lama Aku rencanakan."
Langit tidak tahu kemana arah pembicaraannya, dia tidak mengerti. Permainan apa? Ini aneh.
Sebelum Langit menanggapi, Davi berjalan kesampingnya menepuk bahu Langit. "Aku ke kelas dulu. Kamu juga harus cepat ke kelas, sebelum guru mengurangi nilaimu."
Davi berlalu di hadapan Langit dan hilang di balik pintu. Langit diam sejenak.
Mengurangi nilai?
Sejak kapan gurunya mengurangi nilai hanya karena lama ke luar kelas. Bahkan membolos pun tidak akan mengurangi nilai. Apakah yang tadi lelucon juga? Humor Langit memang rendah.
Langit melangkah mendekat ke wastafel. Dia memutar keran dan menampung air di kedua telapak tangannya lalu membasuh ke wajah. Air yang terasa dingin membasahi permukaan kulitnya, ia melakukannya berulang. Langit suka.
Dia mengeringkan wajahnya dengan tisu yang di letakkan di dalam wadah yang menempel di dinding. Langit melirik ke arah cermin untuk melihat pantulan wajahnya. Mata Langit menyipit dia melihat cermin yang sedikit retak dengan perlahan menjadi halus tanpa retakan. Ia mengedarkan pandangannya ke sisi yang lain, Langit menangkap hal yang sama.
Jari panjang Langit mengusap pelan retakan itu. Langit langsung terkaget, karena retakan itu semakin cepat menjadi halus dan hilang. Langit menarik tangannya.
Ada apa dengan hari ini?
Langit mencoba untuk tidak peduli, dia memilih meninggalkan toilet untuk pergi ke kelas. Mengabaikan semua yang baru saja terjadi. Tentang asap dan cermin.
Ketika langkah Langit mendekat ke arah satu kelas sebelum kelas dirinya. Ia sengaja melirik ke dalam lewat kaca transparan yang menempel di jendela. Ia melihat Awan yang tertidur di dalam kelas. Di saat guru sedang menerangkan pelajaran di papan tulis. Sinar matahari yang menyorot tepat ke arah Awan, membuat Langit ingin sekali datang menutup tirainya rapat-rapat.
Sampai kapan Langit harus berpura-pura tidak peduli. Pada kakaknya sendiri. Kembarannya. Awan lupa dirinya bahkan ibunya, jadi bagaimana Langit harus bertindak. Dia yang seharusnya menemani Awan di masa-masa sulitnya. Bahkan Langit tidak tahu bagaimana Awan bisa melupakan semuanya.
Lima tahun mereka berpisah dan satu tahun belakangan ini Langit harus berpura-pura tak mengenal. Hanya sebuah janji bodoh ayahnya, yang seharusnya dia ingkari sejak lama.
Langit melihat punggung Awan bergerak. Lalu wajahnya terangkat dari lipatan tangannya di atas meja. Langit kaget ketika manik mata Awan tiba-tiba beradu dengan matanya. Ada orang bilang bahwa seseorang akan merasakan jika dirinya sedang di tatap walaupun tidak melihatnya. Langit tidak memutuskan kontak pandang, begitu pun Awan yang masih diam.
Namun sedetik kemudian Langit melihat Awan melambaikan tangannya ke arahnya lalu ia berteriak kencang, "Langit!"
Mata Langit melebar, ia bisa merasakan semua pasang mata di dalam kelas itu menoleh ke arah Awan lalu ke dirinya, tak terkecuali guru yang sedang mengajar di dalam.
Langit rasanya ingin memecahkan kaca dan melemparkan sepatunya tepat ke wajah Awan yang merasa tak bersalah itu.
Tak ingin menciptakan momen yang semakin aneh, Langit beranjak dari sana dengan berjalan cepat. Ia merasa telinganya memanas.
Memalukan. Dasar bodoh!
***
Langit terus berjalan menuju kelasnya, lalu sesuatu menghantam kepalanya dengan keras. Disusul dengan rasa sakit yang menyengat di kepalanya. Tangannya menyentuh kening sesuatu yamg basah terasa pada indra perabanya. Darah.
Langit dengan cepat menoleh ke atas pada lantai dua, pandangannya tiba-tiba mengabur menyesuaikan dengan cahaya yang terang. Namun perlahan pulih, dia tidak bisa percaya siapa yang dia lihat. Itu, Davi. Menyeringai sambil mengajungkan jari tengahnya lalu pergi begitu saja.
Bersambung...