Selamat membaca.
"Biasanya kamu suka olahraga, kok lemes banget," kata Faiz sambil melempar bola basket ke arah Langit yang di tangkap oleh Langit dengan setengah hati. Ia memutar-mutar bola dengan malas dan melemparkan kembali kepada Faiz.
Badan Langit terasa dihantam dengan sesuatu yang membuatnya lelah padahal dia tidak melakukan apapun di malam atau pun pagi hari ini. Di tambah kelasnya di jam olahraga bercampur dengan kelas di sebelahnya, membuat Langit terasa semakin sesak. Langit kali ini tidak suka keramaian, rasanya ingin sendiri saja. Suara orang-orang, langkah, tawa dan teriakan bersemangat membuat Langit semakin tak nyaman. Langit merasa tidak seharusnya Langit di sini.
Maka dia berjalan menuju tribun untuk duduk sementara waktu sampai jam olahraga habis atau Langit bisa membolos ke atap sekolah nanti. Panggilan-panggilan Faiz yang menusuk telinganya Langit abaikan, ia hanya ingin sendiri. Maka setelah duduk di tribun Langit menghembuskan napasnya kasar. Di tempatnya duduk ia bisa melihat jelas segerombolan orang bermain di lapangan, mereka seolah menikmati sekali permainan yang mereka mainkan seolah tak ingin berakhir.
Mata Langit berkeliling mencari seseorang yang selalu mencolok dalam pandangannya di kelas lain yang berolahraga, namun dia tidak menemukannya. Langit menyipitkan matanya sekali lagi mencari, lagi-lagi dia tidak menemukan. Kemana?
"Langit!" Suara seorang gadis memanggil, hingga Langit tersadar dari lamunannya. Langit hanya menoleh sebagai respon memperhatikan wajahnya di penuhi dengan guratan cemas, dia berpakaian olahraga yang sering Langit lihat bersama Awan.
"Lihat Awan?" tanyanya. Sebagai jawaban Langit menggeleng. Sekaligus bertanya-tanya dalam hati ke mana Awan, dia biasanya selalu bersama gadis ini. Bahkan tadi pagi pun Langit masih melihatnya.
"Yaudah, makasih." Gadis itu hendak pergi, namun di Langit segera memanggilnya.
"Memangnya Awan kemana?"
Gadis itu mengerutkan keningnya sambil mengamati wajah Langit dengan seksama namun dia tetap menjawab, "Dia nggak masuk, padahal tadi pagi dia kirim pesan kalo dia ke sekolah lagi naik bus. Di telpon pun dia nggak jawab sampai sekarang."
Setelah mengatakannya gadis itu diam dengan wajah yang khawatir menunggu respon dari Langit yang terdiam membisu. Napas Langit menjadi tidak teratur dan jantung Langit berdebar mendengar hal itu. Jelas saja tadi pagi ketika Awan menolongnya terhindar dari motor, Awan masih ada di belakangnya.
Ketika dia sudah memasuki gerbang, Langit melihat lewat ujung matanya dia tidak menemukan Awan di belakangnya. Karena rasa penasaran, Langit membalikkan badannya dan dia melihat Awan masih di depan gerbang, namun gerbang telah tertutup. Awan diam saja di sana. Langit menjadi khawatir, Awan pasti tidak baik-baik saja. Perasaan Langit sejak pagi berubah menjadi tidak enak. Jemari Langit yang sedingin es meremat dengkulnya tanpa sadar.
"Tadi pagi, Aku liat dia di depan gerbang saat gerbang itu di tutup," kata Langit pelan dia masih memikirkan kemungkinan di mana Awan berada. "Kamu sudah cari ke mana aja?"
"Aku udah cari hampir ke semua ruang sekolah dan tempat-tempat di mana Awan sering datangi tapi nggak ada. Aku juga udah tanya sana-sini dan Aku pikir kamu tau," katanya cepat.
Langit menghela napas tangan kanannya memijat kening menghilangkan rasa sakit yang datang tiba-tiba. "Kita harus cari keluar, Aku punya firasat nggak enak dari tadi."
Gadis itu mengangguk dan mulai mengikuti Langit namun dia berhenti. "Langit, kita nggak bisa keluar dari sekolah gitu aja."
"Lewat jalan belakang."
Gadis itu menggeleng. "Nggak bisa. Sedang ada pembersihan di sana."
"Benar, kita bisa tunggu sampai pulang sekolah. Mungkin dia pergi pulang ke rumah." Langit meyakinkan dirinya sendiri. Gadis itu hanya mengangguk namun masih terlihat tidak yakin, tangannya memelintir ujung bajunya dengan gelisah dan matanya menjelajah ke segala arah menjauhi pandangan Langit.
"Baik, Aku akan menunggumu di gerbang setelah bel pulang."
***
Di sepanjang sisa pelajaran Langit sama sekali tidak dapat fokus, dia sesekali di tegur oleh Faiz karena melamun di kelas. Pikirannya selalu membuat bayangan-bayangan yang berkemungkinan terjadi pada Awan. Semakin lama Awan duduk diam di kelas, semakin firasatnya memburuk. Mungkin saja Langit yang berlebihan menanggapi sesuatu tentang Awan. Mungkin saja Awan pulang atau sedang bersenang-senang di suatu tempat. Namun Langit ragu tentang Awan yang bersenang-senang, sementara temannya mencari ke sana dan kemari.
Waktu terasa berjalan lambat, dan Langit makin tidak sabar. Dia ingin pelajaran ini cepat selesai hingga dia bisa keluar mencari kakaknya berada.
***
Sekarang mereka sedang berada di depan rumah Awan, lebih tepatnya rumah di mana Langit pernah tinggal dulu dengan bahagia. Sebelum Langit mencari Awan sampai ke sini, gadis tadi yang Langit ketahui bernama Michelia mendapat telpon dari Awan ketika hendak bertanya ponselnya mati tapi sebelum itu ia mendengar bahwa Awan tampak kesakitan. Saat hendak menelponnya kembali, tapi tidak bisa tersambung lagi.
Jadi Langit terpaksa harus datang lagi ke sini, di mana dia telah berjanji untuk tidak datang kembali. Langit mengetuk pintu besar itu, mereka berdua berdiri dengan gelisah. Tidak ada jawaban datang dari dalam rumah, membuat Langit mengetuk pintu lebih kencang lagi.
"Aku rasa nggak ada orang di dalam. Ayahnya biasa belum pulang jam segini dan Awan sepertinya nggak ada di dalam," kata Michelia.
"Michelia kamu pulang aja," kata Langit ketika dia melihat Michelia yang mondar-mandir dengan gelisah.
"Tapi Awan? dia belum pulang. Aku tahu Awan nggak baik-baik aja. Aku tahu Langit, ini nggak seperti biasa." Michelia menolak pulang, dia terus melirik pintu besar.
"Dia baik-baik saja." Langit memotong perkataan apapun yang akan keluar dari mulut Michelia lagi.
"Ini udah sore. Aku anter?" tanya Langit. Pasalnya ia ingin menemui ayahnya sendiri. Bagaimanapun Langit bersyukur Awan memiliki teman seperti Michelia yang peduli padanya. Langit terus membujuk Michelia untuk pulang, karena sudah terlalu sore untuk seoarang gadis di luar rumah.
"Aku bisa pulang sendiri. Kalau kamu sudah bertemu Awan, tolong kirim pesan ya." Michelia akhirnya terpaksa pulang dengan sudut bibirnya yang turun. Mata Michelia tampak berkaca-kaca, sambil memberikan nomornya dan Awan pada Langit dengan secarik kertas.
Michelia melanjutkan. "Aku tau kamu nggak benar-benar membenci Awan. Dan juga Aku merasa kalian seperti, ya seperti saudara. "
Dia melihat pintu besar itu sekali lagi lalu beranjak untuk pergi. Langit memanggil Michelia yang langsung menoleh.
"Aku dan Awan memang saudara. Saudara kembar. Kamu melihatnya dengan jelas kan." Langit menunjuk wajahnya sendiri sambil mendesah berat. Dia lalu terkejut dengan reaksi Michelia selanjutnya.
Michelia tersenyum kecil sambil mengangguk. "Aku tahu."
***
Terima Kasih banyak telah membaca.